Jumat, 30 September 2011

MEMERAM RASA



“memeram rasa yang menyesakkan dada” kata seorang kawan. “ha3, sejak kapan kau jadi melankolis begitu kawan??” jawabku



Dari mana ya saya memulainya. Susah memang jika sudah menyangkut perasaan. Tak perlulah kita “menggangu” orang yang mungkin kita suka atau sekedar “enjoy” jika dekat dengannya, bukannya apa2, bisa jadi niat kita yang hanya sekedar iseng menjadikan dia GR, dan mengakibatkan runtuhnya pertahanan hati seseorang yang mungkin berusaha dengan keras ia jaga.



Tak perlulah kita merecoki hati dan pikirannya, yang mungkin sudah sangat sibuk dengan banyak hal.

Tak perlulah kita memberi harapan2 kosong padanya, karena tak ada seorangpun yang tau siapa yang ditakdirkan untuknya.



Dan belum lagi rentetan2nya yang mungkin terjadi, bukankah terjadinya zina itu -na’udzubillah- mulanya berasal dari hal2 yang dianggap sepele. Kalaupun tidak sampai separah itu, siapa yang bisa menjamin tidak akan timbul “zina2 kecil” lainnya –zina mata misalnya-.



Dan dosa2 lain yang mungkin timbul karenanya, -khalwat terselubung misalnya-.



Dan yang pasti, segala yang dinikmati sebelum waktunya tidak akan terasa nikmat.



Yang diganggupun harus tegas. Waspadai pria2 penebar pesona -bagaimanapun bentuknya- pembuat GeeR kaum hawa. Kalau perlu kampanyekan program GOMBAL WARNING!!!, biar saingan sama slogan global warming sekalian.




Kalaupun terselip “rasa” untuknya, cukuplah cintai ia dalam diam –meminjam istilah seorang kawan-. Seperti Fatimah radhiyallahu anha yang mengagumi sosok Ali radhiyallahu anhu, namun tak pernah ditampakkan dengan ucapan, perbuatan de el el. Yang di kemudian hari, Fatimah radhiyallahu anha menyatakan bahwa di masa lajangnya dia pernah mengagumi seseorang yang tak lain adalah suaminya sendiri. Hmm, so sweet ^^.



Lagipula, apa yang ditulis untuk kita pasti akan sampai pada kita, begitupun sebaliknya apa yang tidak ditulis untuk kita tak akan nyasar ke kita, bagaimanapun besarnya usaha kita.



Dan semestinya kita bersikap “jantan”, kalau memang benar suka dan yakin si dia baik untuk kita, lakukan saja hal yang bisa menghalalkan apa yang tadinya haram, lagi2 seperti kisah Ali radhiyallahu anhu yang memberanikan diri datang ”mengajukan diri” pada Rasulullah shalalllahu ‘alaihi wasallam, padahal sebelumnya sudah ada dua “orang besar” – Abu bakar dan Umar radhiyallahu anhum- datang dan ditolak. Surprise, ternyata Ali-lah pemenangnya.



Wanitapun tak ada salahnya “mengajukan diri” dengan cara2 yang benar tentu, tak ada cela dalam hal ini. Atau inisiatif wali sendiri yang mencarikan pasangan untuk anaknya, seperti Umar radhiyallahu anhu yang mencarikan suami untuk anaknya hafshah radhiyallahu anha yang menjanda ketika itu.



Hmm, saya tutup saja dengan kata2 dari seorang teman:

“Muhasabah cinta: Tak pernah dia Dia perbolehkan cinta kita bersemi sebelum waktunya. Maka, tak perlulah berharap dan memberi harapan pada dia yang belum tentu Dia takdirkan untuk kita. Allah bukan tak punya alasan mengapa hati kita harus terjaga dari cinta sebelum waktunya. Karena Dia tak ingin kita berdosa, kecewa dan terluka. Adakah kita menyadarinya?”



Allahu a’lam, semoga bermanfaat ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar