Dalam strategi pemasaran, packaging atau pengemasan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap laris tidaknya suatu produk. Dan begitupun halnya dalam pemasaran produk maksiat dan bid’ah, seringkali packagingnya dibuat semenarik mungkin hingga berhasil mengelabui pelanggan, atau mantan pelanggan yang tadinya sudah tak mengkonsumsi produk maksiat itu, agar kembali menjadi pelanggan.
Musik islami
Ambil contoh saja, musik yang –jika kita mau jujur- hukumnya adalah haram, namun jika musik itu dikemas dengan lagu-lagu yang syairnya islami, penyanyinya memakai baju koko (laki-laki) dan berjilbab (perempuan) –dengan jilbab ala kadarnya tentu- mereka2 yang tak tahu hukum musik akan menggandrunginya. Dan seakan-akan jadilah jenis hiburan yang satu ini menjadi halal.
Bukan hanya status haramnya musik ini yang menjadi masalah, tak jarang dalam “musik islami” ini syair2nya mengandung bidah, sebut saja contohnya lagu2 shalawatan –yang lafadz shalawatnya tidak pernah diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam-, atau bahkan yang isi syairnya menyimpang.
Adapun nasyid –syair saja tanpa diiringi musik- boleh2 saja sebenarnya jika memenuhi syarat2nya, yaitu:
- Tanpa musik
- Isinya tidak menyimpang
Isinya mengajak mengingat Allah, mencintai Islam de es be. Dan tidak mengajak kepada kemaksiatan dan penyimpangan.
- Dibawah Al quran
Tidak berlebihan, cukuplah sesekali ketika jenuh atau untuk penyemangat, serta jangan sampai kegemaran pada nasyid melebihi kegemaran pada Al Qur‘an
- Cara penyampaiannya tidak seperti orang2 fasiq, misalnya dengan joget2 ga jelas.
Para sahabat pun pernah menyenandungkan syair, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak melarangnya. Bahkan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam pun menyenandungkan nasyid ketika sedang membangun masjid nabawi. Juga ketika menggali parit untuk perang khandaq, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu anhum saling bersahut-sahutan nasyid.
Produk riba -dan turunannya- beserta kawan2nya.
Kalu dulu produk2 riba dijual dengan menggunakan wajah dan nama aslinya, transparan tanpa ditutup2i. Namun seiring meningkatnya kesadaran umat akan agamanya, mereka pun semakin selektif, termasuk dalam hal2 yang berbau riba.
Dan kini marak beredar produk2 “ekonomi“ yang berlabel syariah, tapi apa benar label itu mewakili substansi
sesungguhnya? Kalau kita mau menelusuri produk2 (berlabel) syariah tersebut, ternyata banyak sekali yang hanya merubah nama menjadi nama2 islami, sedangkan secara esensi akadnya tak beda dengan sebelumnya, tanaman uang yang berbunga riba.
Sebut saja diantaranya adalah produk2 perbankan berlabel syariah, yang secara nama akadnya (mudharabah, musyarakah, murabahah) adalah benar ada dalam sistem ekonomi islam, dibahas panjang lebar oleh para ulama, dan ada tuntunannya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Namun yang jadi masalah adalah jika nama itu hanya sekedar nama, tanpa penerapan yang benar. Begitupun halnya dengan KPR, asuransi, de el el yang seringkali hanya memasang label syariah.
Perayaan2 islami
Umat islam sekarang punya banyak sekali perayaan2 yang diabadikan dalam kalender dan dijadikan hari libur nasional, padahal hari raya kita sebenarnya hanya ada dua; idul fitri dan idul adha.
Sebut saja diantaranya; tahun baru hijriyah, maulid nabi, isra’mi’raj, nuzulul qur’an, de el el. Yang oleh para penggemarnya, mereka mengklaim seorang tokoh besar Islam sebagai pelopor salah satu perayaan itu. Tapi apakah benar demikian?? Kalau seandainya benar pun, bukankah semua perkataan manusia bisa diterima dan ditolak, kecuali perkataan Rasulullah shalallahu ‚alaihi wasallam??
_____
Thus, kita benar2 harus jeli dalam memilih, nama yang isami saja tak cukup, perlu kita telusuri hakikat “produk“ itu sesungguhnya. Apakah benar islami ataukah islami bohongan. Untuk itu kita perlu ilmu dan kacamata yang jernih agar tidak mudah dikelabui.
Namun jangan juga apatis terhadap segala yang berlabel syariah, jika memang benar2 syariah ya kita konsumsi, jika tidak ya buang saja.
Jangan sampai kita mengikuti jejak yahudi yang mencoba mengelabui Allah dengan mengutak-atik syariat, sehingga seakan2 yang haram tampak menjadi haram.
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal;-hal yang diharamkan Allah dengan sedikit tipu muslihat." (Riwayat Ibnu Batthah dan dihasankan oleh Ibnu Katsir serta disetujui oleh al-Albani)
Segala yang marak dan ladzim di masyarakat bukanlah dalil bahwa sesuatu itu benar menurut syariat, karena dalil benar tidaknya sesuatu adalah sesuai atau tidaknya dengan Al Qur’an dan sunnah. Sehingga ketika kebenaran sesungguhnya terungkap dihadapan kita, walaupun terasa aneh dan asing (karena kedangkalan ilmu kita) kita harus menerimanya dengan lapang dada.
Bukankah jika kita berselisih, harus dikembalikan pada Al Qur‘an dan sunnah?? Dan jika kita mengaku beriman harus menjadikan rasul sebagai pemutus perkara?? Jadi, seharusnya ada lagi alasan untuk ngeyel.
Allahu a’lam, semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar