JANGAN ADA DUSTA DI ANTARA KITA
Asy Syifa’s note: 13 maret 2011
Dusta, satu kata yang sudah jamak dan ladzim di masyarakat kita. Sebuah perkara sering kita lihat, dilakukan baik dengan serius maupun bercanda. Sebuah perkara yang dianggap sepele oleh orang awam maupun orang yang katanya alim/berilmu. Sungguh ironis.
Seringkali kita melihat orang tua membohongi anaknya yang rewel, dengan anggapan dia masih kecil, padahal tetap saja statusnya adalah dusta. Dari Abdullah bin Amir ra dia berkata: “Suatu hari ibuku memanggilku, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di dalam rumah kami. Ibuku berkata, “Hai kemarilah, aku akan memberimu sesuatu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bertanya kepada ibuku, “Apa yang akan engkau berikan kepadanya?” Ibuku menjawab, “Aku akan memberinya kurma.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ibuku, “Ketahuilah, jika kamu tidak jadi memberikan sesuatu kepadanya, maka itu akan ditulis sebagai kebohongan atasmu.” (HR. Abu Daud)
Atau mungkin seringkali kita melihat orang yang suka menceritakan berita apapun yang dia dengar. Padahal belum tentu yang dia dengar adalah berita yang benar, tetapi berita dusta. Dan dengan menyebarkan berita dusta tersebut menjadikan kita terjerumus dalam dusta. Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan.” (HR. Muslim)
Sungguh kawan, dusta bukanlah perkara kecil, bahkan hanya sekedar bercanda –dimana komunikan dan komunikator tahu bahwa yang dibicarakan adalah dusta-. Bahkan Rasulullah sampai mendoakan kecelakaan bagi pelakunya 3 kali ”Celakalah orang yang berbicara dengan suatu pembicaraan dusta untuk membuat orang lain tertawa, celakalah ia, celakalah ia,celakalah ia.” (HR.Imam Ahmad).
Tentu bukan berarti kita tidak boleh bercanda, bercandalah dengan kadar yang wajar dan dengan kata2 yang baik, tanpa dibumbui dusta, seperti Rasulullah yang juga bercanda dengan memanggil seorang sahabat dengan sebutan ”wahai pemilik dua telinga”.
Kawan, mari tinggalkan dusta, dalam bercanda sekalipun, karena Rasul menjanjikan rumah untuk kita, rumah di surga ”Aku pemimpin sebuah rumah di tengah surga yang diperuntukkan bagi siapa yang meninggalkan dusta meski sedang bergurau.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Sedangkan dalam perkara2 serius, mungkin terkadang kita terdesak untuk berdusta. Sebenarnya ada solusinya, gantilah perkataan dusta dengan tauriyah. Tauriyah adalah memilih kata-kata tertentu dengan maksud yang benar dan kata-kata tersebut bukanlah kebohongan jika ditinjau dari niat pembicara. Walaupun pendengar akan memahami perkataan pembicara dengan arti yang berbeda.
Ketika Rasulullah tengah berjalan bersama para shahabat, tiba-tiba mereka bertemu dengan pasukan kaum musyrikin. Mereka bertanya, ‘Dari manakah kalian?”. Nabi menjawab, “Kami dari ma-in” (ma-in bisa berarti nama kampung dan bisa berarti air). Orang-orang musyrik saling memandang lalu mengatakan, “Kampung-kampung di Yaman itu sangat banyak. Memang salah satu mereka berasal dari satu perkampungan di Yaman”. Orang-orang musyrik tersebut akhirnya berlalu. Padahal yang Nabi maksudkan adalah ‘air’ sebagaimana dalam firman Allah di surat Ath Thariq ayat ke-6. ”Manusia itu diciptakan dari air yang dipancarkan”.
Atau misalnya ada seorang muslim yang sedang dicari untuk didzalimi, sedang kita mengetahui keberadaannya, maka geserlah posisi duduk kita dari posisi semula n katakan ”selama aku duduk disini aku tidak melihatnya”. Saudara kita selamat, lisan kita juga selamat.
Atau mungkin ketika kita diundang dalam acara2 maksiat, kita bisa menghindarinya dengan berdalih ”kemarin saya ada perlu – perlu makan, tidur dst- jadi tidak bisa datang”. Dan perkataan2 serupa dengannya.
Mungkin terkadang kita lupa bahwa dusta adalah salah satu ciri orang munafik (nifaq amali, bukan nifaq keyakinan – dosa besar, yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam-). Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, ”Ada empat hal, barangsiapa yang memiliki semuanya, maka dia munafik sejati. Dan barangsiapa memiliki salah satu di antaranya, berarti dia mempunyai satu jenis sifat munafik hingga dia
meninggalkannya. Yaitu bila diberi amanat dia khianat, bila berkata dia dusta,
bila berjanji dia mengingkari, dan jika berselisih dia berkata kotor.”
(Muttafaqun ‘alaih).
Namun Islam ini mudah, berdustapun ada kalanya diperbolehkan. Ibnu Syihab az Zuhri, seorang tabi’in, berkata, “Aku belum pernah mendengar adanya dusta yang diperbolehkan kecuali dalam tiga hal yaitu ketika perang, untuk mendamaikan orang yang berselisih dan ucapan suami untuk menyenangkan istrinya atau sebaliknya.” (HR Muslim no 6799).
Para ulama telah membuat kaedah tentang dusta yang diperbolehkan. Kaedah yang paling bagus adalah perkataan Abu Hamid Al Ghazali.
Seorang muslim yang bersembunyi dari kejaran penjahat, kemudian penjahat itu bertanya kepada kita tentang di manakah keberadaan orang tersebut maka berdusta dalam kondisi semisal ini hukumnya adalah wajib demi menyelamatkannya. Demikian pula jika kita mendapatkan titipan barang dari seseorang lalu ada seorang penjahat yang menanyakan keberadaan barang tersebut dengan tujuan untuk merampasnya maka berdusta dalam kondisi seperti ini hukumnya wajib demi menyelamatkan barang tersebut.
Ini semua dilakukan jika memang suatu tujuan tidaklah mungkin dicapai kecuali dengan berdusta. Upaya hati-hati dalam hal ini adalah menggunakan tauriyah.
Beberapa kalimat mengutip dari http://abangdani.wordpress.com/2010/05/27/jangan-ada-dusta-diantara-kita/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar