Selasa, 08 November 2011

TENTANG KACAMATA DAN GAJAH

Ingin sejenak merebahkan tubuh ini, ku coba tuk memejamkan mata namun tak sepicingpun mata ini mau terpejam. Dada ini masih sesak rasanya. Akhirnya kuputuskan menyalakan netbook baruku –he3- dan seperti yang kau baca saat ini, aku mulai memijit tuts keyboard si netbook yang sudah beberapa hari belakangan ini tak kusentuh (hmm, rupanya sampai saat ini aku belum memberinya nama, kira2 apa ya nama yang cocok? “_”? ).



Aih, prolog yang melankolis sekali nampaknya. Tapi tenang kawan, aku tidak sedang ingin menceritakan kisah seseorang yang sedang patah hati karena ditinggal nikah -atau yang lebih tragis- ditinggal mati kekasihnya, seseorang yang sedang kasmaran, atau segala yang berbau merah jambu.



101011
Tapi aku akan sedikit berbicara tentang “kacamata”. Hmm apa ya? Jadi bingung.


Aku sadar aku hidup dalam masyarakat yang majemuk, yang berasal dari latar belakang, pemahaman, sudut pandang atau kacamata yang berbeda. Selama tidak bersinggungan –selama lo kagak nyenggol gue, bahasa gaulnya- dan tidak ada sesuatu yang salah i’ts ok lah. Walaupun akan lebih bagus jika kami memiliki kacamata yang sama, sehingga dapat melihat objek yang sama dengan sudut pandang yang sama pula.



Seperti kisah gajah yang dilihat (baca: dipegang) dengan sudut pandang yang berbeda. Yang oleh beberapa orang yang ditutup matanya dan memang sebelumnya belum pernah melihat gajah, masing2 disuruh memegang gajah. Seorang memegang hanya ekor, seorang lainnya memegang belalai, seorang memegang kaki, seorang memegang gading dan seorang memegang telinganya. Jika disuruh mendeskripsikan tentang gajah, tentu masing2 akan mendeskripsikan hal yang berbeda dan hanya bersifat parsial. Akan berbeda hasilnya jika seseorang yang tidak ditutup matanya disuruh memegang sekaligus melihat si gajah, tentu dia akan dapat mendeskripsikan gajah dengan lengkap, detail dan utuh, tidak sepotong2. Duh jadi ngelantur tentang gajah nih.





Namun, jika ada sesuatu yang tidak sesuai –menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya misalnya- tentu menjadi tugas sesama muslim untuk mengingatkan hal itu. Bukankah tidak mungkin peran itu diserahkan pada orang kafir? Apakah bisa dibenarkan jika aku diam saja melihat seorang ibu yang mengenakan baju yang sedemikian kedodoran pada anak bungsunya yang ceking dan di sisi lain mengenakan baju yang begitu kekecilan pada si sulung yang tambun? Tentu tidak bukan.



Tapi memang tak semua orang suka mendengarkan, kebanyakan lebih suka berbicara. Padahal kita diciptakan dengan 2 telinga dan 1 mulut, yang kalau mau dipikir dengan akal-akalan yang dangkal sekalipun kita akan bisa menyimpulkan bahwa semestinya kita lebih banyak mendengar daripada berbicara.





Ketika aku berusaha mengingatkan dengan bahasa yang sehalus mungkin, dia malah berkomentar “menurut bapaknya; baju si bungsu tidak kedodoran dan baju si sulung juga tidak kekecilan kok”. Hingga aku hanya bisa bergumam “itu kan kata bapaknya, jelas aja matanya bermasalah”. Dan ketika aku baru berucap sepatah dua patah kata, dia langsung menceramahiku panjang lebar, dan mencercaku dengan menyebutkan kesalahan2ku (menurut versi dia tentunya) dan membeberkan semua citra buruk tentangku (yang entah dia kumpulkan dari mana). Hingga seakan2 akulah yang menjadi si bersalah. Akulah yang menjadi si terdakwa yang duduk di kursi pesakitan.



Dan memang katanya seperti yang pernah kudengar; mereka yang masih “bersih” lebih mudah untuk menerima kebenaran jika kebenaran itu disampaikan padanya, bahkan mereka akan berterima kasih sudah ditunjukkan. Berbeda halnya dengan mereka yang sudah terkontaminasi dengan “ideologi” tertentu, mereka akan merasa tahu pdahal salah paham, sehingga ketika disampaikan kebenaran padanya pun mereka akan kekeuh dengan pendiriannya. Dan berdasarkan penelitian kecil-kecilanku itu terbukti!! Yah seperti kisah si ibu tadi yang lebih percaya pada pendapat suaminya, padahal jelas2 suaminya rabun.



Yah begitulah, setidaknya aku sudah menyampaikan apa yang seharusnya kita sampaikan. Karena hanya itu yang bisa ku lakukan, karena aku tak mampu menukar baju si bungsu dengan si sulung, sebab mereka tak berada dalam “kekuasaan”ku, melainkan dalam “kekuasaan” ibunya.



Dan cukup lega sudah bisa mengungkapkan apa yang sudah beberapa bulan ini kupendam, yah daripada jadi bisul (kata orang kalau terlalu lama memendam “rasa” bisa jadi bisul, tapi sepertinya perlu pembuktian lebih lanjut deh, kalau bisul di pikiran mungkin iya sampai mengakar malah), dan walaupun hasilnya tidak memuaskan. Rasanya seperti berhasil mengeluarkan sebongkah batu yang sudah lama mencekat kerongkongan –lebay.com-



Semoga saja si ibu dibuka hatinya untuk bisa segera mengganti kacamatanya yang sudah rusak itu dengan kacamata yang pas agar bisa melihat dengan jelas bahwa baju yang dikenakan pada kedua anaknya tidaklah pas. Dan tak begitu saja percaya pada “pandangan” si bapak yang memang penglihatannya sudah rabun.



Allahu a’lam



NB: kisah tentang si ibu dan aku diatas hanya sekedar ilustrasi, entahlah sepertinya ilustrasi itupun masih belum benar2 mengena.



(Sebenarnya ini nulis ulang, yang harusnya sudah selesai sejak sebelum maghrib (cape’ deh “-_- ) setelah tadi entah bagaimana ceritanya note yang kutulis di ms word langsung ku cut dan ku paste ke catatan di FB en karena loadingnya yang lambat ga ke posting2, di simpan di draft pun tak tersimpan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar