oleh Lif Syifa pada 2 November 2011 jam 8:29
“Tembok pun dapat berbicara”, ku rasa penggalan peribahasa itu tidaklah berlebihan. Dari pengamatanku memang demikianlah adanya –tentu yang kumaksud bukan temboknya bisa bicara beneran-.
Misalnya saja dari pengalamanmu atau orang lain, ketika kau berkeluh kesah pada seorang temanmu, mengghibah atau sekedar celetukan2 tanpa makna, bukan tidak mungkin suatu saat –bahkan segera setelah kau berlalu dari hadapannya- temanmu akan membeberkannya pada orang lain, dengan atau tanpa disadarinya. Terlebih jika temanmu adalah orang yang gemar “bersiul”. Dan ketika pembicaraan itu sampai pada orang ke3 pun, masih sangat mungkin “kabar” itu akan berlanjut ke orang ke 4, 5, 6 dst, hingga jadilah ia “kabar berantai”.
Apalagi jika sudah berantai dari orang ke 2 ke orang ke 3 dst, sangat mungkin ada tambahan “bumbu2 penguat rasa” dengan ataupun tanpa disengaja. Contoh mudahnya saja jika kau pernah melakukan permainan bisik2 berantai, dari orang pertama sampai ke2 mungkin kalimatnya masih sama, tapi jika sudah berlanjut sampai orang ke 4 dst biasanya akan berbeda bukan?
Dan tiba2 kau mendapati dirimu terkaget2 ketika rahasiamu akhirnya menjadi rahasia umum.
Apalagi jika “curhatmu” menyangkut orang lain, maka akan menjadikan keadaaan yang tak nyaman antara kau dan dia, bisa jadi menimbulkan salah paham, atau jika sebelumnya hubunganmu sudah tak baik bisa2 tambah runyam.
Itu jika curhatmu kau dilakukan pada 1 orang, maka bagaiman pula jika keluh kesah atau ghibah itu dilakukan dalam bentuk forum curhat bebas di forum umum dan terbuka semacam FB?
Kegemaran berkeluh kesah pada manusia pun bukanlah suatu hal yang baik, karena seringkali didalamnya kita mengadukan takdir Allah pada kita, yang secara tidak langsung menunjukkan ketidak-ridho-an kita akan takdir itu. Saya jadi teringat sebuah kalimat bijak dari seorang salafus sholeh –saya lupa orangnyna-, yang begini kurang lebih bunyinya: “orang bodoh adalah orang yang mengadukan Allah pada manusia, sedangkan orang bijak adalah orang yang mengadukan manusia pada Allah”
Yuk curhat pada Allah!! Sebab manusia ada kalanya bosan jika terus menerus kita curhati (curhat yang tidak mengandung unsur2 buruk tentu), kalaupun perlu curhat mari selektif memilih objek yang kita jadikan “tempat sampah” (baca: tempat curhat).
Jika kita dalam posisi “tempat sampah”, kita pun harus benar2 bisa menjaga rahasia si “klien”, bahkan pun tanpa ada instruksi darinya untuk menjaganya, sebab memang tidak semua hal yang kita tahu atau dengar perlu untuk diceritakan. Seperti sebuah perkataan bahwa orang yang tak bisa menjaga rahasia adalah budak, sebaliknya yang bisa menjaga rahasia adalah orang merdeka.
Memang benar bahwa perkataan seseorang itu mencerminkan siapa dirinya. Seperti filosofi sebuah teko dia hanya akan menuangkan apa yang ada di dalamnya, jika dia berisi susu maka diapun hanya akan menuangkan susu, tidak mungkin teh.
Hingga untuk bisa mengenali seseorang, tak perlu kau bersusah payah mencari tahu kesana kemari, cukuplah kau kumpulkan tiap serpihan kata2nya, dengan begitu tampaklah wujudnya secara utuh, siapa dia, orang macam apa dia de el el.
Karena itu kita harus menjaga lisan kita dari mengucapkan hal2 tak berguna apalagi perkataan buruk. Apalagi ada 2 makhluk yang selalu mencatat setiap perbuatan, termasuk perkataan kita. Coba kita bayangkan jika ada yang merekam semua perkataan kita, tentu kita akan berusaha sebisa mungkin untuk berkata hanya yang baik2, apalagi jika rekaman itu akan diputar ulang di kemudian hari dimana hari itu seluruh orang akan turut menyaksikannya.
Allahu a’lam. Semoga saya menjadi orang yang pandai menasehati diri sendiri.
Rabu, 30 November 2011
LASKAR LEBAH
oleh Lif Syifa pada 10 Oktober 2011 jam 22:12
Sekedar ingin berbagi tentang “warna-warni” anak-anak didikku, para laskar lebah. Mengapa lebah? karena lebah adalah makhluk yang mengajarkan filosofi hidup yang indah, memakan hanya yang baik2 –sari bunga, itupun tidak asal bunga- dan mengeluarkan yang baik pula –madu-, tahu balas budi –menyerbukkan bunga2 yang dia ambil sarinya-, juga menebarkan manfaat bagi makhluk2 disekitarnya –manusia salah satunya-. Dan aku berharap anak-anakku bisa mengambil filosofi itu.
Anak-anak yang polos, apa adanya dan masih bersih. Merekalah aset berharga jika disepuh dengan benar, oleh orang yag tepat. Aku seperti melihat serpihan2 diriku ada pada mereka.
Anak-anak kelas 2 Habasyah, inilah mereka:
Ihsan si si gendut n temperamen; lantang suaranya sangat cocok disuruh menertibkan teman2nya untuk memimpin doa dan baris berbaris, cocok menjadi pemimpin walaupun sepertinya ia akan memimpin secara otoriter dan dengan cara militer, emosional memang jika marah suka berteriak dan memukul. Namun suatu ketika aku bertanya tentang cita2, rupanya ia ingin menjadi ustadz, karena itu ketika ia mulai temperamen ku katakan padanya “katanya mau jadi ustadz, ga boleh pukul temannya”. (dari sisi emosionalnya dia seperti aku, walaupun caraku mengekspresikan tak sama)
Nabila si cerewet dan hiperaktif; cerewetnya minta ampun, kalau sudah bicara ga ada titik koma dan sangat panjang. Sangat hiperaktif kayak cacing kepanasan, sukanya nggelibet dan sangat suka tampil. Juga cengeng; gampang menangis tapi cepat redanya, walaupun juga cerdas terutama masalah mengaji en hafalan surat serta doa2. Nakal tapi manja. (tadinya aku berpikir anak yang nakal itu tidak manja dan suka menangis, ternyata sebaliknya, justru anak2 yang pendiam atau standar2 malah yang jarang atau bahkan tak pernah menangis di sekolah)
Mukhlis si pemalu; disuruh memimpin doa saja tidak pernah mau, padahal teman-temannya seringkali berebut jika tak ditunjuk. Jika diibaratkan pria dewasa, dia adalah pria tampan yang pemalu namun cerdas. Tapi juga masih cengeng, kalau sudah nangis bisa seharian –lebih tepatnya setengah hari- ga berhenti.
Aji si proporsional; cerdas (baik akademik maupun agama), kritis; suka bertanya dan rasa ingin tahunya tinggi terutama masalah2 agama, berani tampil, juga cakap berbicara.
Abid si mr R; tak bisa melafalkan huruf R dengan jelas, ditambah suaranya yang pelan hingga ketika berbicara suaranya terdengar lucu. (he3, akupun tak bisa melafalkan huruf itu dengan jelas). Melihat sorot matanya pun membuatku merasa iba, dan memang dia sering dijadikan kalah2an oleh ihsan.
Shinta; si cerdas yang tak terlalu menonjolkan diri, lucu rambutnya seringkali menyembul dari balik jilbabnya dan suka memakai gelang warna-warni, ditambah lagi kalau tersenyum –karena memang dia murah senyum- gigi2nya yang tak lagi utuh karena karies gigi berebut menampakkan diri.
Devina si pendiam; tak banyak bicara dan tak banyak tingkah.
Lutfia si lamban; suaranya sangat pelan, tubuhnya juga ringkih tidak seenerjik teman-temannya, juga lamban. Menatap matanya membuat ku merasa iba. (dari sisi ketidak energikannya, aku seperti melihat sepotong diriku padanya)
Afi si cerewet; 11 12 lah dengan nabila, kalau bicara medok banget dan mimik wajahnya lucu ketika bercerita karena bibirnya sampai monyong-monyong kalau bercerita. Juga cukup cengeng, jika bertengkar dengan temannya ujung-ujungnya nangis.
Wahyu si lucu, wajahnya benar2 polos khas anak2, pipinya tembem, kalau berbicara mimiknya lucu, dan masih sering ingusan. (pertama melihatnya saya pikir dia agak “kurang cerdas”, ternyata tidak). Kalau sudah menangis –misalnya ketika diejek temannya saat dia BAB di celana- maka dia akan ngambek dan susah sekali didiamkan.
Mauas, jika sudah dibuat jengkel temannya muncul sifat ngambeknya, hingga dia akan memunculkan aksi manyunnyaj sambil matanya memicing melihat orang yang membuatnya jengkel. Sebenarnya mauas itu adalah singkatan dari namanya yang panjang bak kereta api, nama panjangnya adalah Muhammad Abu Bakar Umar Usman Ali Abdus Salam.
Faiz sosok yang sedang2 saja menurutku, tidak terlalu nakal dan tidak terlalu pendiam.
Ian sosok yang paling bongsor di kelas, karena memang dia sempat tidak naik kelas, kalau lagi ga mood bisa2 dia hanya akan menulis sebaris dua baris.
Deva anak baru pindahan dari sekolah negeri; dalam hal kecepatan menerima pelajaran dia setali tiga uang dengan ian. Mungkin karena background sekolah asalnya, dia tidak begitu familiar dengan doa2 de es be. Dia bahkan belum hafal bacaan sholat sebagaimana teman lainnya, begitu pula dengan mengaji dan hafalan surat pendeknya.
Vickar si medok, asli jawa banget. Dia baru 2 minggu ini masuk, setelah 2 bulan cuti ke jawa. Wajahnya juga lucu apalagi jika dia memulai aksi mangapnya, mulutnya membulat dan tampangnya polos banget. Entah wajahnya seperti tokoh kartun yang mana, atau kalau wajahnya dijadikan kartun pasti lucu. (jika melihat wajah anak2 seringkali aku merasa beberapa dari mereka mirip tokoh2 kartun, ha3 mungkin ini sedikit kesintinganku)
Hikma si kalem, tidak cerewet dan juga tidak pendiam, jika sedang menulis atau mengerjakan tugas mimik mukanya sangat serius sampai berkerut jidatnya (ha3, dari sisi ini dia sepertiku, bahkan salah seorang temanku sampai heran melihat ekspresiku ketika sedang serius mengerjakan sesuatu. Bahkan ketika itu ada yang berceloteh “lihat! Ustadzah serius!!”, ketika aku sedang asyik bernetbookria).
Bagaimanapun adanya mereka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kurasa mereka semua berpotensi, berpotensi untuk menjadi baik. Dan bukankah memang kita diciptakan berwarna-warni untuk kemudian memanfaatkan potensi masing2 untuk kebaikan? Dan bukankah sejarah mereka belum berakhir? Hingga tak boleh dan tak perlu kita memvonis mereka yang saat ini tampak tak berbakat suatu saat tak akan menjadi sukses, mereka yang saat ini tampak nakal suatu saat tak akan menjadi baik, begitupun sebaliknya. Akupun dulu ketika masih kelas 2 SD –seingatku- aku bahkan belum pandai membaca dan menulis, hingga ketika guruku mencatat di papan tulis, ditambah lagi tulisannya yang bersambung, kuikuti saja tulisan itu dan kuukir di buku tulisku, setiba dirumah ketika ditanya itu tulisan apa dan bagaimana bacanya, aku akan menjawab tak tahu, bodoh sekali ya? Ho3
Melihat dan berkumpul dengan mereka adalah hiburan tersendiri, semoga aku bisa mendidik mereka dengan baik, menjadikan mereka anak-anak yang shaleh-shalehah dan cerdas. Walau terkadang cukup geram juga dibuatnya, apalagi jika mereka mulai berulah; ribut, bertengkar, berkelahi, “baku pukul”, menangis de el el. Butuh kesabaran ekstra memang untuk mendidik mereka.
Namun bahagia sekali rasanya ketika melihat mereka bisa melafalkan doa, bisa berwudhu dengan benar dan sangat antusias jika dijelaskan tentang din ini. Seringkali harus menyamakan frekuensi dengan cara berpikir mereka jika ingin memahamkan mereka, seringkali harus menjadi anak-anak agar bisa menyatu dengan mereka. Walau masih perlu banyak belajar agar bisa benar-benar memahami mereka dan bisa
Aku juga malu pada mereka yang masih kelas 2 tapi hafalan surat pendeknya sudah banyak, mungkin karena mereka masih bersih, untuk membuat mereka hafal satu surat pun tak butuh waktu lama. Berbeda sekali dengan gurunya yang tumpul sekali kalau disuruh menghafal dan mungkin juga faktor banyaknya dosa.
Juga satu hal yang kupelajari dari mereka; bagaimanapun tadinya mereka berkelahi, memukul, atau saling mengejek, tapi setelah itu mereka akan kembali akur seperti tak pernah terjadi apa-apa, tidak ada dendam. Tidak seperti orang dewasa yang sangat suka memendam kesumat, indah sekali jika kita bisa menjadi anak kecil dalam beberapa hal, termasuk dalam hal memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain.
______________________
Kalau ini anak-anak 2 Thoif, kelas sebelah yang juga ku ajar dalam beberapa pelajaran;
Imron; kalau sudah ngambek dia akan diam mematung tak berkedip dan tak mau beranjak dari tempat dia berdiri, aku dan rekanku sempat bingung ketika pertama kali menghadapi aksinya, kami pikir dia kesurupan sampai diruqyah segala dan ga mempan –karena memang dia ga kesurupan, ha3-. Dia juga cerdas dalam hal mengaji dan hafalan doa serta surat2 pendek. Di sela2 waktu senggangnya, ketika teman2nya asyik bermain, beberapa kali aku memergokinya –emangnya maling? He3- sedang membaca Al Qur’an. Dan ketika kudekati dan kukatakan aku ingin mendengarnya mengaji, dia malah berhenti.
Teguh; wajahnya lucu khas anak2 banget, sangat suka melihatnya, kadang masih ingusan dan sangat suka nggelibet –mungkin karena itu pernah temannya berceloteh kalau aku suka padanya, ha3 ada-ada saja- . Dia juga yang pernah menegurku saat kakiku terlihat.
Ariel si bongsor; hingga tadinya ku sempat berfikir dia lebih tua dari teman-temannya.
Abel si cantik dan kalem, juga cerdas.
Fajri wajahnya polos sekali dan ketika dewasa nanti ku pikir dia akan menjadi pria yang tampan, sangat suka ekspresinya ketika sedang serius sampai mangap dan membulat mulutnya dan membulat matanya.
Fidhal sosok yang cerdas juga cakap.
Hira si tembem; pipinya sangat tembem dan wajahnya sangat lucu, cara bicaranya pun masih sangat anak-anak, sifatnya pun lebih kekanakkanakan dibanding teman-temannya. Dia juga seringkali bertengkar dengan teman-temannya. Kalau menulis sangat lamban, tapi ternyata dia cukup cerdas dalam hal hitung2an –asal ga usah nulis soalnya dulu- (hmm, orang yang lamban dalam satu hal, memang tak selalu lamban dalam hal lain)
Dewi si vokal; sangat suka bercerita atau menanggapi hal-hal yang berhubungan dengan apa yang sedang aku jelaskan. Dia tak bisa menyebutkan huruf “s” dengan jelas, dan akan terdengar seperti “ts” atau ﺚ
Andini si kalem, tidak banyak bicara dan tak banyak tingkah, namun juga cukup cerdas.
Nashwa n nashita si kembar yang tidak identik sebenarnya, namun aku masih sering salah membedakan keduanya.
Ola, cukup besar dibanding teman2nya, namun rada lamban.
Dzikra, ekspresinya lucu ketika mengerjakan tugas.
Farid, diwajahnya ada bekas luka –sepertinya- yang tampak seperti tompel (ternyata setelah kuklarifikasi lebih lanjut, itu adalah bekas terkena obat nyamuk bakar, hmm waktu kecil aku juga pernah terkena obat nyamuk bakar), lucu, sosok yang tampak biasa2 saja namun cukup cerdas ternyata.
Kifli sosok yang sedang2 saja.
Akmal si bengal, tak pernah mau disuruh maju memimpin doa.
__________________
Kisah anak2ku yang lain, yang rata2 masih kelas 1;
Meskipun setingkat, namun mereka berbeda2 tingkat kedewasaannya (dan ternyata orang dewasa pun demikian, orang yang lebih tua belum tentu lebih dewasa, seperti kata orang: menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa belum tentu) ada yang sudah “ngerti” bisa disuruh mengerjakan tugas de es be, ada yang masih “sangat anak2” hingga perlu perhatian lebih agar mereka tidak kabur ketika sibuk mengurusi yang lain.
Ada yang ketika mengaji saat dia sedang berusaha mengingat2 huruf yang dibaca atau lupa, dia akan berekspresi sangat lucu, tangannya akan bergerak2 ga jelas atau memukul2 bukunya.
Ada yang sangat kesusahan mengucapkan suatu huruf, dan ekspresinya jadi lucu ketika sedang bersusah payah berusaha mengucapkan huruf itu.
Ada yang suaranya sangat pelan, hingga aku harus memasang telingaku baik2 ketika giliran dia membaca. Juga masih berjiwa TK, kabarnya dia sering keluyuran pada jam pelajaran untuk menangkap kodok. Ketika aku “ngetes” bertanya tentang perburuan kodoknya, dia tampak sangat antusias.
Ada yang rada tulalit walau badannya sangat bongsor.
Ada yang wajahnya lucu, pipinya tembem dan di pinggir bibirnya selalu nampak seperti orang “berengen” walaupun tidak sebenarnya. Namun juga cukup cerdas dan dewasa.
Ada yang ketika mengaji lancar2 saja, bisa mengucapkan huruf dengan benar tanpa bersusah payah.
Ada yang wajahnya lucu sekaligus melas.
_________________
De el el deh, udah puanjang banget, hmm mungkin lain kali ku sambung lagi.
Love U all deh ^^b
Moga jadi anak sholeh sholehah
Belum nikah aja udah punya anak segini banyak, he3
Allahu a’lam
Sekedar ingin berbagi tentang “warna-warni” anak-anak didikku, para laskar lebah. Mengapa lebah? karena lebah adalah makhluk yang mengajarkan filosofi hidup yang indah, memakan hanya yang baik2 –sari bunga, itupun tidak asal bunga- dan mengeluarkan yang baik pula –madu-, tahu balas budi –menyerbukkan bunga2 yang dia ambil sarinya-, juga menebarkan manfaat bagi makhluk2 disekitarnya –manusia salah satunya-. Dan aku berharap anak-anakku bisa mengambil filosofi itu.
Anak-anak yang polos, apa adanya dan masih bersih. Merekalah aset berharga jika disepuh dengan benar, oleh orang yag tepat. Aku seperti melihat serpihan2 diriku ada pada mereka.
Anak-anak kelas 2 Habasyah, inilah mereka:
Ihsan si si gendut n temperamen; lantang suaranya sangat cocok disuruh menertibkan teman2nya untuk memimpin doa dan baris berbaris, cocok menjadi pemimpin walaupun sepertinya ia akan memimpin secara otoriter dan dengan cara militer, emosional memang jika marah suka berteriak dan memukul. Namun suatu ketika aku bertanya tentang cita2, rupanya ia ingin menjadi ustadz, karena itu ketika ia mulai temperamen ku katakan padanya “katanya mau jadi ustadz, ga boleh pukul temannya”. (dari sisi emosionalnya dia seperti aku, walaupun caraku mengekspresikan tak sama)
Nabila si cerewet dan hiperaktif; cerewetnya minta ampun, kalau sudah bicara ga ada titik koma dan sangat panjang. Sangat hiperaktif kayak cacing kepanasan, sukanya nggelibet dan sangat suka tampil. Juga cengeng; gampang menangis tapi cepat redanya, walaupun juga cerdas terutama masalah mengaji en hafalan surat serta doa2. Nakal tapi manja. (tadinya aku berpikir anak yang nakal itu tidak manja dan suka menangis, ternyata sebaliknya, justru anak2 yang pendiam atau standar2 malah yang jarang atau bahkan tak pernah menangis di sekolah)
Mukhlis si pemalu; disuruh memimpin doa saja tidak pernah mau, padahal teman-temannya seringkali berebut jika tak ditunjuk. Jika diibaratkan pria dewasa, dia adalah pria tampan yang pemalu namun cerdas. Tapi juga masih cengeng, kalau sudah nangis bisa seharian –lebih tepatnya setengah hari- ga berhenti.
Aji si proporsional; cerdas (baik akademik maupun agama), kritis; suka bertanya dan rasa ingin tahunya tinggi terutama masalah2 agama, berani tampil, juga cakap berbicara.
Abid si mr R; tak bisa melafalkan huruf R dengan jelas, ditambah suaranya yang pelan hingga ketika berbicara suaranya terdengar lucu. (he3, akupun tak bisa melafalkan huruf itu dengan jelas). Melihat sorot matanya pun membuatku merasa iba, dan memang dia sering dijadikan kalah2an oleh ihsan.
Shinta; si cerdas yang tak terlalu menonjolkan diri, lucu rambutnya seringkali menyembul dari balik jilbabnya dan suka memakai gelang warna-warni, ditambah lagi kalau tersenyum –karena memang dia murah senyum- gigi2nya yang tak lagi utuh karena karies gigi berebut menampakkan diri.
Devina si pendiam; tak banyak bicara dan tak banyak tingkah.
Lutfia si lamban; suaranya sangat pelan, tubuhnya juga ringkih tidak seenerjik teman-temannya, juga lamban. Menatap matanya membuat ku merasa iba. (dari sisi ketidak energikannya, aku seperti melihat sepotong diriku padanya)
Afi si cerewet; 11 12 lah dengan nabila, kalau bicara medok banget dan mimik wajahnya lucu ketika bercerita karena bibirnya sampai monyong-monyong kalau bercerita. Juga cukup cengeng, jika bertengkar dengan temannya ujung-ujungnya nangis.
Wahyu si lucu, wajahnya benar2 polos khas anak2, pipinya tembem, kalau berbicara mimiknya lucu, dan masih sering ingusan. (pertama melihatnya saya pikir dia agak “kurang cerdas”, ternyata tidak). Kalau sudah menangis –misalnya ketika diejek temannya saat dia BAB di celana- maka dia akan ngambek dan susah sekali didiamkan.
Mauas, jika sudah dibuat jengkel temannya muncul sifat ngambeknya, hingga dia akan memunculkan aksi manyunnyaj sambil matanya memicing melihat orang yang membuatnya jengkel. Sebenarnya mauas itu adalah singkatan dari namanya yang panjang bak kereta api, nama panjangnya adalah Muhammad Abu Bakar Umar Usman Ali Abdus Salam.
Faiz sosok yang sedang2 saja menurutku, tidak terlalu nakal dan tidak terlalu pendiam.
Ian sosok yang paling bongsor di kelas, karena memang dia sempat tidak naik kelas, kalau lagi ga mood bisa2 dia hanya akan menulis sebaris dua baris.
Deva anak baru pindahan dari sekolah negeri; dalam hal kecepatan menerima pelajaran dia setali tiga uang dengan ian. Mungkin karena background sekolah asalnya, dia tidak begitu familiar dengan doa2 de es be. Dia bahkan belum hafal bacaan sholat sebagaimana teman lainnya, begitu pula dengan mengaji dan hafalan surat pendeknya.
Vickar si medok, asli jawa banget. Dia baru 2 minggu ini masuk, setelah 2 bulan cuti ke jawa. Wajahnya juga lucu apalagi jika dia memulai aksi mangapnya, mulutnya membulat dan tampangnya polos banget. Entah wajahnya seperti tokoh kartun yang mana, atau kalau wajahnya dijadikan kartun pasti lucu. (jika melihat wajah anak2 seringkali aku merasa beberapa dari mereka mirip tokoh2 kartun, ha3 mungkin ini sedikit kesintinganku)
Hikma si kalem, tidak cerewet dan juga tidak pendiam, jika sedang menulis atau mengerjakan tugas mimik mukanya sangat serius sampai berkerut jidatnya (ha3, dari sisi ini dia sepertiku, bahkan salah seorang temanku sampai heran melihat ekspresiku ketika sedang serius mengerjakan sesuatu. Bahkan ketika itu ada yang berceloteh “lihat! Ustadzah serius!!”, ketika aku sedang asyik bernetbookria).
Bagaimanapun adanya mereka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kurasa mereka semua berpotensi, berpotensi untuk menjadi baik. Dan bukankah memang kita diciptakan berwarna-warni untuk kemudian memanfaatkan potensi masing2 untuk kebaikan? Dan bukankah sejarah mereka belum berakhir? Hingga tak boleh dan tak perlu kita memvonis mereka yang saat ini tampak tak berbakat suatu saat tak akan menjadi sukses, mereka yang saat ini tampak nakal suatu saat tak akan menjadi baik, begitupun sebaliknya. Akupun dulu ketika masih kelas 2 SD –seingatku- aku bahkan belum pandai membaca dan menulis, hingga ketika guruku mencatat di papan tulis, ditambah lagi tulisannya yang bersambung, kuikuti saja tulisan itu dan kuukir di buku tulisku, setiba dirumah ketika ditanya itu tulisan apa dan bagaimana bacanya, aku akan menjawab tak tahu, bodoh sekali ya? Ho3
Melihat dan berkumpul dengan mereka adalah hiburan tersendiri, semoga aku bisa mendidik mereka dengan baik, menjadikan mereka anak-anak yang shaleh-shalehah dan cerdas. Walau terkadang cukup geram juga dibuatnya, apalagi jika mereka mulai berulah; ribut, bertengkar, berkelahi, “baku pukul”, menangis de el el. Butuh kesabaran ekstra memang untuk mendidik mereka.
Namun bahagia sekali rasanya ketika melihat mereka bisa melafalkan doa, bisa berwudhu dengan benar dan sangat antusias jika dijelaskan tentang din ini. Seringkali harus menyamakan frekuensi dengan cara berpikir mereka jika ingin memahamkan mereka, seringkali harus menjadi anak-anak agar bisa menyatu dengan mereka. Walau masih perlu banyak belajar agar bisa benar-benar memahami mereka dan bisa
Aku juga malu pada mereka yang masih kelas 2 tapi hafalan surat pendeknya sudah banyak, mungkin karena mereka masih bersih, untuk membuat mereka hafal satu surat pun tak butuh waktu lama. Berbeda sekali dengan gurunya yang tumpul sekali kalau disuruh menghafal dan mungkin juga faktor banyaknya dosa.
Juga satu hal yang kupelajari dari mereka; bagaimanapun tadinya mereka berkelahi, memukul, atau saling mengejek, tapi setelah itu mereka akan kembali akur seperti tak pernah terjadi apa-apa, tidak ada dendam. Tidak seperti orang dewasa yang sangat suka memendam kesumat, indah sekali jika kita bisa menjadi anak kecil dalam beberapa hal, termasuk dalam hal memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain.
______________________
Kalau ini anak-anak 2 Thoif, kelas sebelah yang juga ku ajar dalam beberapa pelajaran;
Imron; kalau sudah ngambek dia akan diam mematung tak berkedip dan tak mau beranjak dari tempat dia berdiri, aku dan rekanku sempat bingung ketika pertama kali menghadapi aksinya, kami pikir dia kesurupan sampai diruqyah segala dan ga mempan –karena memang dia ga kesurupan, ha3-. Dia juga cerdas dalam hal mengaji dan hafalan doa serta surat2 pendek. Di sela2 waktu senggangnya, ketika teman2nya asyik bermain, beberapa kali aku memergokinya –emangnya maling? He3- sedang membaca Al Qur’an. Dan ketika kudekati dan kukatakan aku ingin mendengarnya mengaji, dia malah berhenti.
Teguh; wajahnya lucu khas anak2 banget, sangat suka melihatnya, kadang masih ingusan dan sangat suka nggelibet –mungkin karena itu pernah temannya berceloteh kalau aku suka padanya, ha3 ada-ada saja- . Dia juga yang pernah menegurku saat kakiku terlihat.
Ariel si bongsor; hingga tadinya ku sempat berfikir dia lebih tua dari teman-temannya.
Abel si cantik dan kalem, juga cerdas.
Fajri wajahnya polos sekali dan ketika dewasa nanti ku pikir dia akan menjadi pria yang tampan, sangat suka ekspresinya ketika sedang serius sampai mangap dan membulat mulutnya dan membulat matanya.
Fidhal sosok yang cerdas juga cakap.
Hira si tembem; pipinya sangat tembem dan wajahnya sangat lucu, cara bicaranya pun masih sangat anak-anak, sifatnya pun lebih kekanakkanakan dibanding teman-temannya. Dia juga seringkali bertengkar dengan teman-temannya. Kalau menulis sangat lamban, tapi ternyata dia cukup cerdas dalam hal hitung2an –asal ga usah nulis soalnya dulu- (hmm, orang yang lamban dalam satu hal, memang tak selalu lamban dalam hal lain)
Dewi si vokal; sangat suka bercerita atau menanggapi hal-hal yang berhubungan dengan apa yang sedang aku jelaskan. Dia tak bisa menyebutkan huruf “s” dengan jelas, dan akan terdengar seperti “ts” atau ﺚ
Andini si kalem, tidak banyak bicara dan tak banyak tingkah, namun juga cukup cerdas.
Nashwa n nashita si kembar yang tidak identik sebenarnya, namun aku masih sering salah membedakan keduanya.
Ola, cukup besar dibanding teman2nya, namun rada lamban.
Dzikra, ekspresinya lucu ketika mengerjakan tugas.
Farid, diwajahnya ada bekas luka –sepertinya- yang tampak seperti tompel (ternyata setelah kuklarifikasi lebih lanjut, itu adalah bekas terkena obat nyamuk bakar, hmm waktu kecil aku juga pernah terkena obat nyamuk bakar), lucu, sosok yang tampak biasa2 saja namun cukup cerdas ternyata.
Kifli sosok yang sedang2 saja.
Akmal si bengal, tak pernah mau disuruh maju memimpin doa.
__________________
Kisah anak2ku yang lain, yang rata2 masih kelas 1;
Meskipun setingkat, namun mereka berbeda2 tingkat kedewasaannya (dan ternyata orang dewasa pun demikian, orang yang lebih tua belum tentu lebih dewasa, seperti kata orang: menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa belum tentu) ada yang sudah “ngerti” bisa disuruh mengerjakan tugas de es be, ada yang masih “sangat anak2” hingga perlu perhatian lebih agar mereka tidak kabur ketika sibuk mengurusi yang lain.
Ada yang ketika mengaji saat dia sedang berusaha mengingat2 huruf yang dibaca atau lupa, dia akan berekspresi sangat lucu, tangannya akan bergerak2 ga jelas atau memukul2 bukunya.
Ada yang sangat kesusahan mengucapkan suatu huruf, dan ekspresinya jadi lucu ketika sedang bersusah payah berusaha mengucapkan huruf itu.
Ada yang suaranya sangat pelan, hingga aku harus memasang telingaku baik2 ketika giliran dia membaca. Juga masih berjiwa TK, kabarnya dia sering keluyuran pada jam pelajaran untuk menangkap kodok. Ketika aku “ngetes” bertanya tentang perburuan kodoknya, dia tampak sangat antusias.
Ada yang rada tulalit walau badannya sangat bongsor.
Ada yang wajahnya lucu, pipinya tembem dan di pinggir bibirnya selalu nampak seperti orang “berengen” walaupun tidak sebenarnya. Namun juga cukup cerdas dan dewasa.
Ada yang ketika mengaji lancar2 saja, bisa mengucapkan huruf dengan benar tanpa bersusah payah.
Ada yang wajahnya lucu sekaligus melas.
_________________
De el el deh, udah puanjang banget, hmm mungkin lain kali ku sambung lagi.
Love U all deh ^^b
Moga jadi anak sholeh sholehah
Belum nikah aja udah punya anak segini banyak, he3
Allahu a’lam
MENGENDUS BAU
oleh Lif Syifa pada 10 Oktober 2011 jam 21:09
Alhamdulillah meskipun hanya beberapa –lebih dari 1 sudah bisa disebut beberapa kan? Meski hanya 2- orang (yang aku tahu), setidaknya ada yang mengendus juga “bau”ku sebenarnya. Walaupun aku tidak pernah menproklamirkan pada mereka, apalah artinya pengakuan, yang hanya sekedar pengakuan tanpa bukti. Salah seorang narasumber menyatakan dia bisa mengendus “bau”ku karena memperhatikan gerak-gerikku, wah berasa dimata-matai nih. Bahkan narasumber lain, tanpa basa-basi langsung main tuding.
Yah, memang perlu penciuman yang tajam agar bisa mengendus dengan benar “bau” seseorang, juga kacamata yang jernih agar tidak salah menilai karena seringkali orang tertipu oleh kemasan atau packaging, padahal tidak selalu kemasan mewakili substansi sebenarnya.
Sebagai contoh saja, jika dulu anda adalah preman, namun sekarang sudah bertaubat dengan taubat nasuha. Tentu anda tidak akan suka jika masih ada yang mengendus “bau” preman pada tubuh anda.
Atau misalnya (hanya contoh, tanpa ada maksud rasisme) anda berasal dari suku jawa, tentu anda pun merasa kurang nyaman jika orang2 mengendus anda sebagai orang papua hanya karena anda berkulit gelap dan tinggal di lingkungan serta berteman dengan orang2 Papua.
Contoh konkretnya; kisah seorang kakak yang diberi buku oleh adiknya, mungkin karena hanya melihat sampulnya sekilas, dia pun buru2 menyimpulkan, kira2 begini dialognya “mambu2 ***** iki (dia menyebut sebuah manhaj)”. Padahal dia salah mengendus tuh.
240911
NB: mungkin aku yang terlalu naif menyangka tak banyak yang mencium, sepertinya memang “bau”ku sudah sedemikian menyengat.
Alhamdulillah meskipun hanya beberapa –lebih dari 1 sudah bisa disebut beberapa kan? Meski hanya 2- orang (yang aku tahu), setidaknya ada yang mengendus juga “bau”ku sebenarnya. Walaupun aku tidak pernah menproklamirkan pada mereka, apalah artinya pengakuan, yang hanya sekedar pengakuan tanpa bukti. Salah seorang narasumber menyatakan dia bisa mengendus “bau”ku karena memperhatikan gerak-gerikku, wah berasa dimata-matai nih. Bahkan narasumber lain, tanpa basa-basi langsung main tuding.
Yah, memang perlu penciuman yang tajam agar bisa mengendus dengan benar “bau” seseorang, juga kacamata yang jernih agar tidak salah menilai karena seringkali orang tertipu oleh kemasan atau packaging, padahal tidak selalu kemasan mewakili substansi sebenarnya.
Sebagai contoh saja, jika dulu anda adalah preman, namun sekarang sudah bertaubat dengan taubat nasuha. Tentu anda tidak akan suka jika masih ada yang mengendus “bau” preman pada tubuh anda.
Atau misalnya (hanya contoh, tanpa ada maksud rasisme) anda berasal dari suku jawa, tentu anda pun merasa kurang nyaman jika orang2 mengendus anda sebagai orang papua hanya karena anda berkulit gelap dan tinggal di lingkungan serta berteman dengan orang2 Papua.
Contoh konkretnya; kisah seorang kakak yang diberi buku oleh adiknya, mungkin karena hanya melihat sampulnya sekilas, dia pun buru2 menyimpulkan, kira2 begini dialognya “mambu2 ***** iki (dia menyebut sebuah manhaj)”. Padahal dia salah mengendus tuh.
240911
NB: mungkin aku yang terlalu naif menyangka tak banyak yang mencium, sepertinya memang “bau”ku sudah sedemikian menyengat.
PANEN SEMANGKA
oleh Lif Syifa pada 10 Oktober 2011 jam 20:39
Catatan ini ditulis dengan sudut pandang seorang anak kelas 2 SD berumur 7 tahun.
Hari jumat lalu (300911) aku bersama teman2 dan ustadz ustadzah pergi ke kebun, tak lupa kami memakai kostum petani lengkap dengan aksesorisnya, seperti caping dan pacul dari kardus, kayu de es be. Setiba disana kami pun mendengarkan instruksi cara menanam bibit semangka yang benar dari Pak Lukito sang empunya kebun. Setelah itu mulailah kami melepas daun yang digunakan membungkus bibit, kemudian menanamnya dengan memasukkan bagian akar bibit itu ke tanah yang sudah dilubangi dan meratakan tanah di sekitarnya. Tangan kami belepotan tanah, bagitupun halnya dengan kaki kami belepotan lumpur. Bahkan ada teman kami yang sendalnya terendam di lumpur.
Selang beberapa menit kemudian kami langsung bisa memanen semangka, hebat bukan? He3, tapi tentunya yang kami panen bukanlah bibit yang barusan kami tanam, melainkan yang sudah ditanam sendiri oleh pak tani beberapa minggu atau bulan yang lalu. Kami memilih dan memanen sendiri semangka yang kami mau, karena kami kecil kami pun memilih semangka yang kecil agar tak keberatan. Seorang temanku –yang memang ringkih- bahkan sampai keberatan dan meminta ustadzah membawakan untuknya, tapi kemudian ustadzah menyuruhnya membawa sendiri karena beliau keberatan sudah membawa semangkanya sendiri yang juga berat. Setelah itu semangka kami timbang dan langsung kami bayar. Ada yang semangkanya 2 kg, 3 kg, bahkan sampai 5 kg dan 6 kg.
Setelah memanen ria kami mencuci tangan di sumur yang berada di area kebun, sebagian berganti pakaian karena bajunya sudah sangat kotor. Jadi seperti kata iklan, “berani kotor itu baik”. Ada juga yang kemudian memakan bekal yang tadi dibawa, ada yang memotong semangkanya dan dimakan ramai-ramai.
Selanjutnya kami bersiap2 melanjutkan perjalanan menuju masjid terdekat untuk sholat jumat. Semangka kami, kami masukkan ke dalam tas hingga berat sekali tas kami dibuatnya. Selepas sholat kami pun mulai kelaparan n kehausan, apalagi bekal kami sudah habis sejak tadi. Dan senang sekali ketika akhirnya makanan kami datang, kami pun makan siang dengan lahapnya. Setelah kenyang, kami membersihkan area masjid dan bersiap2 pulang.
Hari yang melelahkan tapi sekaligus menyenangkan. Sampai berpeluh2, kata upin & ipin ^_^
Catatan ini ditulis dengan sudut pandang seorang anak kelas 2 SD berumur 7 tahun.
Hari jumat lalu (300911) aku bersama teman2 dan ustadz ustadzah pergi ke kebun, tak lupa kami memakai kostum petani lengkap dengan aksesorisnya, seperti caping dan pacul dari kardus, kayu de es be. Setiba disana kami pun mendengarkan instruksi cara menanam bibit semangka yang benar dari Pak Lukito sang empunya kebun. Setelah itu mulailah kami melepas daun yang digunakan membungkus bibit, kemudian menanamnya dengan memasukkan bagian akar bibit itu ke tanah yang sudah dilubangi dan meratakan tanah di sekitarnya. Tangan kami belepotan tanah, bagitupun halnya dengan kaki kami belepotan lumpur. Bahkan ada teman kami yang sendalnya terendam di lumpur.
Selang beberapa menit kemudian kami langsung bisa memanen semangka, hebat bukan? He3, tapi tentunya yang kami panen bukanlah bibit yang barusan kami tanam, melainkan yang sudah ditanam sendiri oleh pak tani beberapa minggu atau bulan yang lalu. Kami memilih dan memanen sendiri semangka yang kami mau, karena kami kecil kami pun memilih semangka yang kecil agar tak keberatan. Seorang temanku –yang memang ringkih- bahkan sampai keberatan dan meminta ustadzah membawakan untuknya, tapi kemudian ustadzah menyuruhnya membawa sendiri karena beliau keberatan sudah membawa semangkanya sendiri yang juga berat. Setelah itu semangka kami timbang dan langsung kami bayar. Ada yang semangkanya 2 kg, 3 kg, bahkan sampai 5 kg dan 6 kg.
Setelah memanen ria kami mencuci tangan di sumur yang berada di area kebun, sebagian berganti pakaian karena bajunya sudah sangat kotor. Jadi seperti kata iklan, “berani kotor itu baik”. Ada juga yang kemudian memakan bekal yang tadi dibawa, ada yang memotong semangkanya dan dimakan ramai-ramai.
Selanjutnya kami bersiap2 melanjutkan perjalanan menuju masjid terdekat untuk sholat jumat. Semangka kami, kami masukkan ke dalam tas hingga berat sekali tas kami dibuatnya. Selepas sholat kami pun mulai kelaparan n kehausan, apalagi bekal kami sudah habis sejak tadi. Dan senang sekali ketika akhirnya makanan kami datang, kami pun makan siang dengan lahapnya. Setelah kenyang, kami membersihkan area masjid dan bersiap2 pulang.
Hari yang melelahkan tapi sekaligus menyenangkan. Sampai berpeluh2, kata upin & ipin ^_^
Selasa, 08 November 2011
keSOMBONGan terselubung
Hmm, dari mana ya memulainya?
Dari sini aja deh, he3...
Sebuah ini cerita tentang “kesombongan terselubung” kalau boleh saya istilahkan begitu. Mungkin terkadang kita lupa bahwa yang disebut dengan sombong, selain merendahkan orang lain, juga tidak mau menerima kebenaran.
Dan seharusnya kita bisa menerima kebenaran, dari manapun datangnya kebenaran itu. Dari orang yang paling “buruk”, dari seorang pendusta atau bahkan dari setan sekalipun. Jika perkataannya benar maka tak ada alasan untuk menolaknya. Kebencian kita padanya tidak boleh menghalangi kita menerima kebenaran yang disampaikannya.
Seperti kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang mencuri harta zakat, setan tersebut berkata,
“Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah memberimu manfaat dengannya. Jika engkau berangkat tidur, bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”
Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata,
“Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-Bukhari no. 2187)
Dan berdakwah atau menyampaikan kebenaran, tidaklah mensyaratkan kesempurnaan si da’i. Berdakwah adalah satu hal dan mengerjakan (atau tidak) apa yang si da’i dakwahkan adalah hal lain. Berdakwah adalah baik, sedangkan tidak mengerjakan apa yang dia dakwahkan adalah buruk, 2 hal yang berbeda. Seseorang yang belum mengerjakan (perintah) atau meninggalkan (larangan), bukan berarti lantas dia dilarang berdakwah. Bahkan pun sesama pelaku maksiat tetap harus saling menasehati.
Karena di pelosok dunia manapun, kita tak akan menemukan orang yang sempurna tanpa cela. Karena kita hanyalah manusia biasa yang tak luput dari dosa, bukan Nabi atau Rasul yang ma’shum –terpelihara dari dosa-. Dan kalau hanya orang yang sempurna yang boleh berdakwah, maka tidak akan ada amar ma’ruf nahy munkar. Kita bersaudara untuk saling mengisi, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Hingga jadilah masing2 kita adalah cermin bagi lainnya. Sifat cermin adalah jujur, jika dandanan kita sudah bagus maka dia akan mengatakan bagus, jika dandanan kita masih berantakan dia pun akan memberitahukannya pada kita. Dan setelah itu dia pun tak membeberkan keburukan dandanan kita pada orang yang bercermin setelah kita.
Hingga tak perlulah kita mencari-cari kesalahan atau ketidakkonsistenan si da’i terhadap apa yang dia dakwahkan. Walaupun memang, idealnya seseorang yang berdakwah juga mengerjakan apa yang dia dakwahkan.
Dan semoga kita tidak hanya bersemangat mendakwahi orang lain, tapi juga bersemangat didakwahi -menerima kritikan atas kesalahan2 kita-. Seperti filosofi sebuah gelas, agar airnya tidak tumpah ada kalanya si gelas perlu menuangkan isinya, dan agar tidak kosong ada kalanya juga ia perlu menerima air dari gelas lain.
Seharusnya jika memang kita belum mampu mengerjakan suatu perintah atau meninggalkan larangan, lebih baik mengaku saja salah tanpa mencari-cari alasan atau dalil sebagai pembenaran kesalahan kita. Bukankah bermaksiat saja sudah dosa? Maka bagaimana pula jika kita tambahi dengan merekayasa agar kesalahan kita mendapat justifikasi, sehingga kesalahan kita seakan-akan tampak benar? Hendak menipu Allah, orang lain atau diri kita sendiri? Apalagi jika kita adalah orang yang paham atau bahkan mengaku sebagai da’i.
Semoga kita tidak lupa bahwa orang yang dihatinya ada kesombongan sekecil apapun tidak akan bisa masuk surga. Dan kesombonganlah yang membuat iblis merasa “lebih” dari nabi Adam ‘alaihissalam, sebab ia diciptakan dari api, sedangkan nabi Adam ‘alaihissalam dari tanah. Kesombongan pulalah yang menjadi sebab terusirnya iblis dari surga dan menjadi makhluk terkutuk.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi kesombongan.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya bagaimana jika seseorang menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)
Semoga hati-hati kita dilapangkan untuk bisa menerima kebenaran dari manapun datangnya, semoga kita diselamatkan dari sifat sombong, dan semoga kita tidak menjadi orang yang suka merekayasa kesalahan sehingga tampak benar, amin.
Allahu a’lam
Dari sini aja deh, he3...
Sebuah ini cerita tentang “kesombongan terselubung” kalau boleh saya istilahkan begitu. Mungkin terkadang kita lupa bahwa yang disebut dengan sombong, selain merendahkan orang lain, juga tidak mau menerima kebenaran.
Dan seharusnya kita bisa menerima kebenaran, dari manapun datangnya kebenaran itu. Dari orang yang paling “buruk”, dari seorang pendusta atau bahkan dari setan sekalipun. Jika perkataannya benar maka tak ada alasan untuk menolaknya. Kebencian kita padanya tidak boleh menghalangi kita menerima kebenaran yang disampaikannya.
Seperti kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang mencuri harta zakat, setan tersebut berkata,
“Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah memberimu manfaat dengannya. Jika engkau berangkat tidur, bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”
Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata,
“Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-Bukhari no. 2187)
Dan berdakwah atau menyampaikan kebenaran, tidaklah mensyaratkan kesempurnaan si da’i. Berdakwah adalah satu hal dan mengerjakan (atau tidak) apa yang si da’i dakwahkan adalah hal lain. Berdakwah adalah baik, sedangkan tidak mengerjakan apa yang dia dakwahkan adalah buruk, 2 hal yang berbeda. Seseorang yang belum mengerjakan (perintah) atau meninggalkan (larangan), bukan berarti lantas dia dilarang berdakwah. Bahkan pun sesama pelaku maksiat tetap harus saling menasehati.
Karena di pelosok dunia manapun, kita tak akan menemukan orang yang sempurna tanpa cela. Karena kita hanyalah manusia biasa yang tak luput dari dosa, bukan Nabi atau Rasul yang ma’shum –terpelihara dari dosa-. Dan kalau hanya orang yang sempurna yang boleh berdakwah, maka tidak akan ada amar ma’ruf nahy munkar. Kita bersaudara untuk saling mengisi, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Hingga jadilah masing2 kita adalah cermin bagi lainnya. Sifat cermin adalah jujur, jika dandanan kita sudah bagus maka dia akan mengatakan bagus, jika dandanan kita masih berantakan dia pun akan memberitahukannya pada kita. Dan setelah itu dia pun tak membeberkan keburukan dandanan kita pada orang yang bercermin setelah kita.
Hingga tak perlulah kita mencari-cari kesalahan atau ketidakkonsistenan si da’i terhadap apa yang dia dakwahkan. Walaupun memang, idealnya seseorang yang berdakwah juga mengerjakan apa yang dia dakwahkan.
Dan semoga kita tidak hanya bersemangat mendakwahi orang lain, tapi juga bersemangat didakwahi -menerima kritikan atas kesalahan2 kita-. Seperti filosofi sebuah gelas, agar airnya tidak tumpah ada kalanya si gelas perlu menuangkan isinya, dan agar tidak kosong ada kalanya juga ia perlu menerima air dari gelas lain.
Seharusnya jika memang kita belum mampu mengerjakan suatu perintah atau meninggalkan larangan, lebih baik mengaku saja salah tanpa mencari-cari alasan atau dalil sebagai pembenaran kesalahan kita. Bukankah bermaksiat saja sudah dosa? Maka bagaimana pula jika kita tambahi dengan merekayasa agar kesalahan kita mendapat justifikasi, sehingga kesalahan kita seakan-akan tampak benar? Hendak menipu Allah, orang lain atau diri kita sendiri? Apalagi jika kita adalah orang yang paham atau bahkan mengaku sebagai da’i.
Semoga kita tidak lupa bahwa orang yang dihatinya ada kesombongan sekecil apapun tidak akan bisa masuk surga. Dan kesombonganlah yang membuat iblis merasa “lebih” dari nabi Adam ‘alaihissalam, sebab ia diciptakan dari api, sedangkan nabi Adam ‘alaihissalam dari tanah. Kesombongan pulalah yang menjadi sebab terusirnya iblis dari surga dan menjadi makhluk terkutuk.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi kesombongan.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya bagaimana jika seseorang menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)
Semoga hati-hati kita dilapangkan untuk bisa menerima kebenaran dari manapun datangnya, semoga kita diselamatkan dari sifat sombong, dan semoga kita tidak menjadi orang yang suka merekayasa kesalahan sehingga tampak benar, amin.
Allahu a’lam
TENTANG KACAMATA DAN GAJAH
Ingin sejenak merebahkan tubuh ini, ku coba tuk memejamkan mata namun tak sepicingpun mata ini mau terpejam. Dada ini masih sesak rasanya. Akhirnya kuputuskan menyalakan netbook baruku –he3- dan seperti yang kau baca saat ini, aku mulai memijit tuts keyboard si netbook yang sudah beberapa hari belakangan ini tak kusentuh (hmm, rupanya sampai saat ini aku belum memberinya nama, kira2 apa ya nama yang cocok? “_”? ).
Aih, prolog yang melankolis sekali nampaknya. Tapi tenang kawan, aku tidak sedang ingin menceritakan kisah seseorang yang sedang patah hati karena ditinggal nikah -atau yang lebih tragis- ditinggal mati kekasihnya, seseorang yang sedang kasmaran, atau segala yang berbau merah jambu.
101011Tapi aku akan sedikit berbicara tentang “kacamata”. Hmm apa ya? Jadi bingung.
Aku sadar aku hidup dalam masyarakat yang majemuk, yang berasal dari latar belakang, pemahaman, sudut pandang atau kacamata yang berbeda. Selama tidak bersinggungan –selama lo kagak nyenggol gue, bahasa gaulnya- dan tidak ada sesuatu yang salah i’ts ok lah. Walaupun akan lebih bagus jika kami memiliki kacamata yang sama, sehingga dapat melihat objek yang sama dengan sudut pandang yang sama pula.
Seperti kisah gajah yang dilihat (baca: dipegang) dengan sudut pandang yang berbeda. Yang oleh beberapa orang yang ditutup matanya dan memang sebelumnya belum pernah melihat gajah, masing2 disuruh memegang gajah. Seorang memegang hanya ekor, seorang lainnya memegang belalai, seorang memegang kaki, seorang memegang gading dan seorang memegang telinganya. Jika disuruh mendeskripsikan tentang gajah, tentu masing2 akan mendeskripsikan hal yang berbeda dan hanya bersifat parsial. Akan berbeda hasilnya jika seseorang yang tidak ditutup matanya disuruh memegang sekaligus melihat si gajah, tentu dia akan dapat mendeskripsikan gajah dengan lengkap, detail dan utuh, tidak sepotong2. Duh jadi ngelantur tentang gajah nih.
Namun, jika ada sesuatu yang tidak sesuai –menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya misalnya- tentu menjadi tugas sesama muslim untuk mengingatkan hal itu. Bukankah tidak mungkin peran itu diserahkan pada orang kafir? Apakah bisa dibenarkan jika aku diam saja melihat seorang ibu yang mengenakan baju yang sedemikian kedodoran pada anak bungsunya yang ceking dan di sisi lain mengenakan baju yang begitu kekecilan pada si sulung yang tambun? Tentu tidak bukan.
Tapi memang tak semua orang suka mendengarkan, kebanyakan lebih suka berbicara. Padahal kita diciptakan dengan 2 telinga dan 1 mulut, yang kalau mau dipikir dengan akal-akalan yang dangkal sekalipun kita akan bisa menyimpulkan bahwa semestinya kita lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Ketika aku berusaha mengingatkan dengan bahasa yang sehalus mungkin, dia malah berkomentar “menurut bapaknya; baju si bungsu tidak kedodoran dan baju si sulung juga tidak kekecilan kok”. Hingga aku hanya bisa bergumam “itu kan kata bapaknya, jelas aja matanya bermasalah”. Dan ketika aku baru berucap sepatah dua patah kata, dia langsung menceramahiku panjang lebar, dan mencercaku dengan menyebutkan kesalahan2ku (menurut versi dia tentunya) dan membeberkan semua citra buruk tentangku (yang entah dia kumpulkan dari mana). Hingga seakan2 akulah yang menjadi si bersalah. Akulah yang menjadi si terdakwa yang duduk di kursi pesakitan.
Dan memang katanya seperti yang pernah kudengar; mereka yang masih “bersih” lebih mudah untuk menerima kebenaran jika kebenaran itu disampaikan padanya, bahkan mereka akan berterima kasih sudah ditunjukkan. Berbeda halnya dengan mereka yang sudah terkontaminasi dengan “ideologi” tertentu, mereka akan merasa tahu pdahal salah paham, sehingga ketika disampaikan kebenaran padanya pun mereka akan kekeuh dengan pendiriannya. Dan berdasarkan penelitian kecil-kecilanku itu terbukti!! Yah seperti kisah si ibu tadi yang lebih percaya pada pendapat suaminya, padahal jelas2 suaminya rabun.
Yah begitulah, setidaknya aku sudah menyampaikan apa yang seharusnya kita sampaikan. Karena hanya itu yang bisa ku lakukan, karena aku tak mampu menukar baju si bungsu dengan si sulung, sebab mereka tak berada dalam “kekuasaan”ku, melainkan dalam “kekuasaan” ibunya.
Dan cukup lega sudah bisa mengungkapkan apa yang sudah beberapa bulan ini kupendam, yah daripada jadi bisul (kata orang kalau terlalu lama memendam “rasa” bisa jadi bisul, tapi sepertinya perlu pembuktian lebih lanjut deh, kalau bisul di pikiran mungkin iya sampai mengakar malah), dan walaupun hasilnya tidak memuaskan. Rasanya seperti berhasil mengeluarkan sebongkah batu yang sudah lama mencekat kerongkongan –lebay.com-
Semoga saja si ibu dibuka hatinya untuk bisa segera mengganti kacamatanya yang sudah rusak itu dengan kacamata yang pas agar bisa melihat dengan jelas bahwa baju yang dikenakan pada kedua anaknya tidaklah pas. Dan tak begitu saja percaya pada “pandangan” si bapak yang memang penglihatannya sudah rabun.
Allahu a’lam
NB: kisah tentang si ibu dan aku diatas hanya sekedar ilustrasi, entahlah sepertinya ilustrasi itupun masih belum benar2 mengena.
(Sebenarnya ini nulis ulang, yang harusnya sudah selesai sejak sebelum maghrib (cape’ deh “-_- ) setelah tadi entah bagaimana ceritanya note yang kutulis di ms word langsung ku cut dan ku paste ke catatan di FB en karena loadingnya yang lambat ga ke posting2, di simpan di draft pun tak tersimpan)
Aih, prolog yang melankolis sekali nampaknya. Tapi tenang kawan, aku tidak sedang ingin menceritakan kisah seseorang yang sedang patah hati karena ditinggal nikah -atau yang lebih tragis- ditinggal mati kekasihnya, seseorang yang sedang kasmaran, atau segala yang berbau merah jambu.
101011Tapi aku akan sedikit berbicara tentang “kacamata”. Hmm apa ya? Jadi bingung.
Aku sadar aku hidup dalam masyarakat yang majemuk, yang berasal dari latar belakang, pemahaman, sudut pandang atau kacamata yang berbeda. Selama tidak bersinggungan –selama lo kagak nyenggol gue, bahasa gaulnya- dan tidak ada sesuatu yang salah i’ts ok lah. Walaupun akan lebih bagus jika kami memiliki kacamata yang sama, sehingga dapat melihat objek yang sama dengan sudut pandang yang sama pula.
Seperti kisah gajah yang dilihat (baca: dipegang) dengan sudut pandang yang berbeda. Yang oleh beberapa orang yang ditutup matanya dan memang sebelumnya belum pernah melihat gajah, masing2 disuruh memegang gajah. Seorang memegang hanya ekor, seorang lainnya memegang belalai, seorang memegang kaki, seorang memegang gading dan seorang memegang telinganya. Jika disuruh mendeskripsikan tentang gajah, tentu masing2 akan mendeskripsikan hal yang berbeda dan hanya bersifat parsial. Akan berbeda hasilnya jika seseorang yang tidak ditutup matanya disuruh memegang sekaligus melihat si gajah, tentu dia akan dapat mendeskripsikan gajah dengan lengkap, detail dan utuh, tidak sepotong2. Duh jadi ngelantur tentang gajah nih.
Namun, jika ada sesuatu yang tidak sesuai –menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya misalnya- tentu menjadi tugas sesama muslim untuk mengingatkan hal itu. Bukankah tidak mungkin peran itu diserahkan pada orang kafir? Apakah bisa dibenarkan jika aku diam saja melihat seorang ibu yang mengenakan baju yang sedemikian kedodoran pada anak bungsunya yang ceking dan di sisi lain mengenakan baju yang begitu kekecilan pada si sulung yang tambun? Tentu tidak bukan.
Tapi memang tak semua orang suka mendengarkan, kebanyakan lebih suka berbicara. Padahal kita diciptakan dengan 2 telinga dan 1 mulut, yang kalau mau dipikir dengan akal-akalan yang dangkal sekalipun kita akan bisa menyimpulkan bahwa semestinya kita lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Ketika aku berusaha mengingatkan dengan bahasa yang sehalus mungkin, dia malah berkomentar “menurut bapaknya; baju si bungsu tidak kedodoran dan baju si sulung juga tidak kekecilan kok”. Hingga aku hanya bisa bergumam “itu kan kata bapaknya, jelas aja matanya bermasalah”. Dan ketika aku baru berucap sepatah dua patah kata, dia langsung menceramahiku panjang lebar, dan mencercaku dengan menyebutkan kesalahan2ku (menurut versi dia tentunya) dan membeberkan semua citra buruk tentangku (yang entah dia kumpulkan dari mana). Hingga seakan2 akulah yang menjadi si bersalah. Akulah yang menjadi si terdakwa yang duduk di kursi pesakitan.
Dan memang katanya seperti yang pernah kudengar; mereka yang masih “bersih” lebih mudah untuk menerima kebenaran jika kebenaran itu disampaikan padanya, bahkan mereka akan berterima kasih sudah ditunjukkan. Berbeda halnya dengan mereka yang sudah terkontaminasi dengan “ideologi” tertentu, mereka akan merasa tahu pdahal salah paham, sehingga ketika disampaikan kebenaran padanya pun mereka akan kekeuh dengan pendiriannya. Dan berdasarkan penelitian kecil-kecilanku itu terbukti!! Yah seperti kisah si ibu tadi yang lebih percaya pada pendapat suaminya, padahal jelas2 suaminya rabun.
Yah begitulah, setidaknya aku sudah menyampaikan apa yang seharusnya kita sampaikan. Karena hanya itu yang bisa ku lakukan, karena aku tak mampu menukar baju si bungsu dengan si sulung, sebab mereka tak berada dalam “kekuasaan”ku, melainkan dalam “kekuasaan” ibunya.
Dan cukup lega sudah bisa mengungkapkan apa yang sudah beberapa bulan ini kupendam, yah daripada jadi bisul (kata orang kalau terlalu lama memendam “rasa” bisa jadi bisul, tapi sepertinya perlu pembuktian lebih lanjut deh, kalau bisul di pikiran mungkin iya sampai mengakar malah), dan walaupun hasilnya tidak memuaskan. Rasanya seperti berhasil mengeluarkan sebongkah batu yang sudah lama mencekat kerongkongan –lebay.com-
Semoga saja si ibu dibuka hatinya untuk bisa segera mengganti kacamatanya yang sudah rusak itu dengan kacamata yang pas agar bisa melihat dengan jelas bahwa baju yang dikenakan pada kedua anaknya tidaklah pas. Dan tak begitu saja percaya pada “pandangan” si bapak yang memang penglihatannya sudah rabun.
Allahu a’lam
NB: kisah tentang si ibu dan aku diatas hanya sekedar ilustrasi, entahlah sepertinya ilustrasi itupun masih belum benar2 mengena.
(Sebenarnya ini nulis ulang, yang harusnya sudah selesai sejak sebelum maghrib (cape’ deh “-_- ) setelah tadi entah bagaimana ceritanya note yang kutulis di ms word langsung ku cut dan ku paste ke catatan di FB en karena loadingnya yang lambat ga ke posting2, di simpan di draft pun tak tersimpan)
Langganan:
Postingan (Atom)