Hmm, dari mana ya memulainya?
Dari sini aja deh, he3...
Sebuah ini cerita tentang “kesombongan terselubung” kalau boleh saya istilahkan begitu. Mungkin terkadang kita lupa bahwa yang disebut dengan sombong, selain merendahkan orang lain, juga tidak mau menerima kebenaran.
Dan seharusnya kita bisa menerima kebenaran, dari manapun datangnya kebenaran itu. Dari orang yang paling “buruk”, dari seorang pendusta atau bahkan dari setan sekalipun. Jika perkataannya benar maka tak ada alasan untuk menolaknya. Kebencian kita padanya tidak boleh menghalangi kita menerima kebenaran yang disampaikannya.
Seperti kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang mencuri harta zakat, setan tersebut berkata,
“Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah memberimu manfaat dengannya. Jika engkau berangkat tidur, bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”
Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata,
“Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-Bukhari no. 2187)
Dan berdakwah atau menyampaikan kebenaran, tidaklah mensyaratkan kesempurnaan si da’i. Berdakwah adalah satu hal dan mengerjakan (atau tidak) apa yang si da’i dakwahkan adalah hal lain. Berdakwah adalah baik, sedangkan tidak mengerjakan apa yang dia dakwahkan adalah buruk, 2 hal yang berbeda. Seseorang yang belum mengerjakan (perintah) atau meninggalkan (larangan), bukan berarti lantas dia dilarang berdakwah. Bahkan pun sesama pelaku maksiat tetap harus saling menasehati.
Karena di pelosok dunia manapun, kita tak akan menemukan orang yang sempurna tanpa cela. Karena kita hanyalah manusia biasa yang tak luput dari dosa, bukan Nabi atau Rasul yang ma’shum –terpelihara dari dosa-. Dan kalau hanya orang yang sempurna yang boleh berdakwah, maka tidak akan ada amar ma’ruf nahy munkar. Kita bersaudara untuk saling mengisi, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Hingga jadilah masing2 kita adalah cermin bagi lainnya. Sifat cermin adalah jujur, jika dandanan kita sudah bagus maka dia akan mengatakan bagus, jika dandanan kita masih berantakan dia pun akan memberitahukannya pada kita. Dan setelah itu dia pun tak membeberkan keburukan dandanan kita pada orang yang bercermin setelah kita.
Hingga tak perlulah kita mencari-cari kesalahan atau ketidakkonsistenan si da’i terhadap apa yang dia dakwahkan. Walaupun memang, idealnya seseorang yang berdakwah juga mengerjakan apa yang dia dakwahkan.
Dan semoga kita tidak hanya bersemangat mendakwahi orang lain, tapi juga bersemangat didakwahi -menerima kritikan atas kesalahan2 kita-. Seperti filosofi sebuah gelas, agar airnya tidak tumpah ada kalanya si gelas perlu menuangkan isinya, dan agar tidak kosong ada kalanya juga ia perlu menerima air dari gelas lain.
Seharusnya jika memang kita belum mampu mengerjakan suatu perintah atau meninggalkan larangan, lebih baik mengaku saja salah tanpa mencari-cari alasan atau dalil sebagai pembenaran kesalahan kita. Bukankah bermaksiat saja sudah dosa? Maka bagaimana pula jika kita tambahi dengan merekayasa agar kesalahan kita mendapat justifikasi, sehingga kesalahan kita seakan-akan tampak benar? Hendak menipu Allah, orang lain atau diri kita sendiri? Apalagi jika kita adalah orang yang paham atau bahkan mengaku sebagai da’i.
Semoga kita tidak lupa bahwa orang yang dihatinya ada kesombongan sekecil apapun tidak akan bisa masuk surga. Dan kesombonganlah yang membuat iblis merasa “lebih” dari nabi Adam ‘alaihissalam, sebab ia diciptakan dari api, sedangkan nabi Adam ‘alaihissalam dari tanah. Kesombongan pulalah yang menjadi sebab terusirnya iblis dari surga dan menjadi makhluk terkutuk.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi kesombongan.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya bagaimana jika seseorang menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)
Semoga hati-hati kita dilapangkan untuk bisa menerima kebenaran dari manapun datangnya, semoga kita diselamatkan dari sifat sombong, dan semoga kita tidak menjadi orang yang suka merekayasa kesalahan sehingga tampak benar, amin.
Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar