240312
Rasanya sudah lama sekali aku tidak menulis –tulisan yang berbobot- paling2 Cuma curhat2 ga penting gitu. Tapi memang tak bisa dipaksakan menulis jika tidak ada kejadian yang menimbulkan inspirasi untuk menulis.
Ah coba saja kutulis tentang pekerjaan baruku. Hampir 3 bulan ini aku menjalani profesi baruku; menjadi “pengamat” di kantorku. Pengamat? Yah karena memang itulah yang kukerjakan, hanya diam mengamati sekeliling. Rasanya potensiku tak tersalurkan, jadi “eman2” dulu aku sekolah tinggi2 en belajar capek2.
Kalau boleh diistilahkan pekerjaan utama dikantorku adalah menjadi “jasus” alias mencari2 kesalahan orang lain. What?? Iya karena aku bekerja di kantor pengawas daerah, yang kerjanya mengawasi pekerjaan para pegawai di tiap2 instansi pemerintah.
Apakah dana yang mereka pakai sudah digunakan sebagaimana mestinya? Apakah uang rakyat itu dialokasikan pada tempatnya? Apakah hasil pekerjaan mereka sudah sesuai yang seharusnya? De el el lah. Memastikan tidak terjadi pemborosan uang Negara, memastikan mereka tak menyelipkan uang itu ke kantong mereka, memastikan mereka becus melaksanakan tugasnya.
Caranya, masing2 pihak disuruh membuat laporan pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan selama 1 tahun. Dokumen itulah yang kemudian kami periksa, tak cukup dokumen kami pun akan terjun langsung ke instansi2 tersebut untuk mencari tahu. Juga akan turun ke lapangan melihat pekerjaan “fisik” yang mereka lakukan.
Dan hasilnya, memang seringkali mereka2 itu melakukan pemborosan uang rakyat, mulai dari kompensasi yang dibayarkan sedikit lebih besar dari yang seharusnya, yang mungkin saja terjadi karena mereka tak memahami aturan (ini kalau memakai praduga tak bersalah) . Atau bahkan pengeluaran2 besar yang bidah he3 (baca: diada2kan) yang kelihatan banget disengaja untuk memperkaya diri sendiri. Mulai dari memark up pengeluaran2 sepele yang kecil2 sampai yang jumlahnya besar. Atau membuat pengeluaran2 fiktif. Atau juga pengeluaran yang diindikasi untuk suap, de el el lah. Tapi tetap saja terlihat tak cerdas, pencuri yang bodoh.
Pekerjaan ini cukup beresiko kalau boleh dikatakan begitu, tidak berada di comfort zone. Karena, jika kami tak becus memeriksa pekejaan orang2 itu, dan menyatakan semua baik2 saja. Di kemudian hari, jika orang2 itu diperiksa oleh “pengawas” diatas kami dan ditemukan ada yang tidak beres, maka kami akan kena juga.
Sebaliknya jika orang2 yang kami periksa kami nyatakan bermasalah, mungkin saja orang2 tersebut tak terima dan mungkin saja mentelor kami, ups meneror maksudnya, (h03, imajinasi terlalu tinggi) kayak di film2 tu. Kami pun harus bisa mempertahankan argumen kami secara ilmiah atas hasil temuan kami, karena kami jadi “saksi ahli” istilah kerennya. Disini juga sangat mungkin terjadi persekongkolan antara kami si pemeriksa dan orang yang diperiksa, sangat mungkin kan kami menyatakan mereka tak bermasalah –padahal sebenarnya bermasalah- asalkan ada kompensasi yang kami terima. Dan memang harus benar2 jeli jangan sampai menerima uang2 yang tidak seharusnya diterima (yang diindikasi suap misal), yang tidak jelas statusnya (syubhat) atau bahkan haram. Memang auditor itu harus benar2 amanah, independen bahasa kerennya.
---------------------------------
NB: sebenarnya mengidentikkan pekerjaan ini dengan jasus alias mencari2 kesalahan itu agak lebay sih, agaknya yang lebih tepat adalah mengawasi, memeriksa salah atau benarnya, dan jika ada yang salah maka dibenarkan.
Kesimpulannya adalah: KEJUJURAN itu sangat mahal, lebih2 di jaman ini. Jadilah orang jujur agar nilai dirimu mahal, ^^
Hmm, tak heran mengapa banyak orang ingin jadi pejabat. Karena jadi pejabat itu enak punya kedudukan, bakal banyak yang menjilat, walaupun setelah tak menjabat dia pun akan didepak oleh mereka2 yang dulunya mengaku teman. Selain itu gajinya besar tanpa perlu susah payah memeras keringat seperti kuli. En yang terpenting, berada di lahan basah yang sangat memungkinkan memperkaya diri dengan cara mencuri (aku tak mau menggunakan kata korupsi, terlalu halus, intinya kan tetep aja nyolong)
lifsyifa
blog ini berisi curhatan, keresahan hati atau cuma sekedar celotehan penulis
Sabtu, 12 Mei 2012
Kamis, 15 Maret 2012
ETIKA HARUS KURELAKAN JARI TELUNJUK KAKIKU (YANG MANIS) BABAK BELUR DEMI SEBUAH AMBISI
090212
Awal mula ceritanya ayahnya lelah karena tiap hari harus mengantar jemputku pulang pergi kerja tiap hari. Hingga akhirnya tanpa kuminta –walaupun sebenarnya aku juga pengen- dibelikanlah aku sepeda motor baru, dengan sedikit subsidi dari tabunganku. Hari jumat aku pulang lebih cepat dari biasanya dan setelah jumatan pergilah kami membeli motor.
Sabtu, ahad, dan senin akupun mulai belajar mengendarai sepeda motor, menggunakan motor ayahku dan di instrukturi oleh beliau. Karena mungkin aku lamban dan belajarnya di lapangan yang jalannya ga mulus, selama tiga hari itu aku masih belajar nyetir, mulanya tanpa dilepas hingga terkadang dilepas tapi masih dipegang dengan 1 tangan, di bagian gasnya.
Hari selasanya aku belajar dengan paklekku di jalanan yang sudah aspal, tepatnya di sisi jalanan menuju airport yang disampingnya membujur danau yang lumayan bagus lah ditambah sepoi2 semilir angin, mataharipun tak bersinar terik kala itu. Tak hanya aku rupanya yang belajar, ada juga beberapa orang yang sedang belajar, di sisi2 jalan orang2 sedang lari sore, juga ada keluarga yang tampaknya sengaja datang untuk menikmati pemandangan danau. Intinya suasananya menyenangkan untuk belajar.
Tak hanya diajari nyetir tapi juga diberi tahu fungsi dan cara menambah n mengurangi gigi –tapi sampai sekarang aku belum paham betul fungsi gigi2 itu dan untuk apa ditambah n dikurangi, tuing2-, menambah n mengurangi gas, tangan tak boleh terlalu tegang, harus rileks de el el. Kami belajar cukup lama mungkin -/+ 1 jam lah, dan selama 1 jam itu aku sudah mengalami banyak kemajuan, mulanya setirnya masih dipegang juga oleh paklekku, kemudian dipegang 1 saja, dan lama2 dilepas keduanya dan aku bisa nyetir sendiri. Tak hanya bisa menjaga keseimbangan ketika menyetir sendiri, aku juga sudah bisa mengendalikan gas –menambah n menguranginya kecepatan-. Sudah banyak kemajuanlah.
Tau ga sih ketika nyetir itu jika kulihat orang berlari atau duduk di pinggir jalan rasanya pengen nabrak aja? –hmm, bener2 sinting-. Lama kami belajar kemudian hp paklekku berbunyi, dan kami berhenti sejenak, ternyata telpon dari ayahku menanyakan keberadaan kami, karena ayahku akan nyusul. Setelah pembicaraan berakhir kami pun menaiki motor lagi, masih akan berbalik arah dan kemudian selesai.
Dan peristiwa itu terjadi. Pertama kali aku yang menaiki motor dan memegang setirnya, kemudian ketika paklekku naik, karena aku tak mampu menjaga keseimbangan langsung ja motornya limbung, beliau pun tak sempat menahan motornya. Karena motornya jatuh ke sebelah kiri, kaki kananku tertindih motor, ketika kucoba menarik kakiku hanya kaos kakiku yang molor sementara kakiku tetap tak bisa terangkat. Ketika motor sudah diangkat baru terasa jari kakiku cenat cenut tapi kupikir hanya luka biasa –memar gt-. Hingga ketika kulihat mulai muncul bercak2 darah di kaos kakiku –sampai disini aku belum percaya kakiku berdarah- baru aku sadar ternyata lukanya cukup lumayan –sampai berdarah segala- en sakitnya jadi makin cenut2. Ketika kaos kakinya dibuka darahnya pun mengucur (baca: menetes,he3) makin terasa sakit.
Hmm, emang penglihatan itu mempengaruhi rasa ya? Mungkin kalau ga melihat darah ga terasa sakit2 banget. Kayak di film2 ketika kepala si aktris terbentur dia tak bereaksi apa2, hingga ketika dipegangnya kepalanya dan dilihatnya berdarah barulah dia pingsan.
Selama perjalanan pulang aku meringis menahan sakit dan berusaha tak menangis. Sesampainya dirumah sudah tak terbendung lagi, menangislah aku. Huhuuhuu
Kenapa ya jika tubuh atau perasaan kita sedang sakit, secara otomatis air mata akan tumpah?
Tenyata ketika tertindih motor itu, jari telunjukku kegencet rem –pinggiran rem kan tajam tuh- jadilah sisi kiri jari telunjukku tersayat –nampaknya lumayan dalam- hingga kulit disekitanya terkelupas dan sisi kanannya memar serta kukunya juga memar dan sedikit berdarah.
Seketika itu juga -saat melihat kakiku itu- aku teringat Mauas, muridku ketika aku sempat mengajar selama 1 semester tahun lalu. Ketika itu kakinya –seingatku juga jari telunjuk kanannya- ketiban kursi hingga berdarah2, hebatnya dia tak menangis hanya meringis menahan sakit. Udah gitu besoknya –apa lusa- kakinya keinjak/kesenggol temannya lagi. En besoknya lagi kakinya kembali ketiban kursi, kali ini yang jadi korban jari lainnya.
Jari telunjukku harus menjadi korban atas ambisiku; bisa mengendarai motor. Tapi aku tak boleh menyerah, aku tetap harus berjuang, semangat!!!. Meski aku terbilang lamban tapi pasti bisa jika bertekad kuat.
Walaupun sementara ini aku masih belum bisa berlatih lagi, kasian jariku kalau ntar kesenggol bisa2 berdarah lagi. Rabu n hari ini –kamis- aku masih harus istirahat dari berlatih, aku juga tak masuk kerja, ho3 –senang sekali rasanya tak pergi kerja-.
Ketika kuliah jika akan bepergian yang agak jauh atau tak kuketahui alamatnya aku biasanya dibonceng kakakku. Ketika sudah lulus dan bekerja, kemana2 dibonceng bapakku –sampai2 ada yang mengira bapakku itu suamiku, aku yang ketuaan atau bapakku yang kemudaan ya?-. Entah kapan aku dibonceng oleh orang lain yang bukan anggota keluargaku namun menjadi mahramku? Sebenarnya aku juga inginnya dilatih naik motor olehnya, namun berhubung dianya tak kunjung muncul, yah aku latihan duluan deh.
Awal mula ceritanya ayahnya lelah karena tiap hari harus mengantar jemputku pulang pergi kerja tiap hari. Hingga akhirnya tanpa kuminta –walaupun sebenarnya aku juga pengen- dibelikanlah aku sepeda motor baru, dengan sedikit subsidi dari tabunganku. Hari jumat aku pulang lebih cepat dari biasanya dan setelah jumatan pergilah kami membeli motor.
Sabtu, ahad, dan senin akupun mulai belajar mengendarai sepeda motor, menggunakan motor ayahku dan di instrukturi oleh beliau. Karena mungkin aku lamban dan belajarnya di lapangan yang jalannya ga mulus, selama tiga hari itu aku masih belajar nyetir, mulanya tanpa dilepas hingga terkadang dilepas tapi masih dipegang dengan 1 tangan, di bagian gasnya.
Hari selasanya aku belajar dengan paklekku di jalanan yang sudah aspal, tepatnya di sisi jalanan menuju airport yang disampingnya membujur danau yang lumayan bagus lah ditambah sepoi2 semilir angin, mataharipun tak bersinar terik kala itu. Tak hanya aku rupanya yang belajar, ada juga beberapa orang yang sedang belajar, di sisi2 jalan orang2 sedang lari sore, juga ada keluarga yang tampaknya sengaja datang untuk menikmati pemandangan danau. Intinya suasananya menyenangkan untuk belajar.
Tak hanya diajari nyetir tapi juga diberi tahu fungsi dan cara menambah n mengurangi gigi –tapi sampai sekarang aku belum paham betul fungsi gigi2 itu dan untuk apa ditambah n dikurangi, tuing2-, menambah n mengurangi gas, tangan tak boleh terlalu tegang, harus rileks de el el. Kami belajar cukup lama mungkin -/+ 1 jam lah, dan selama 1 jam itu aku sudah mengalami banyak kemajuan, mulanya setirnya masih dipegang juga oleh paklekku, kemudian dipegang 1 saja, dan lama2 dilepas keduanya dan aku bisa nyetir sendiri. Tak hanya bisa menjaga keseimbangan ketika menyetir sendiri, aku juga sudah bisa mengendalikan gas –menambah n menguranginya kecepatan-. Sudah banyak kemajuanlah.
Tau ga sih ketika nyetir itu jika kulihat orang berlari atau duduk di pinggir jalan rasanya pengen nabrak aja? –hmm, bener2 sinting-. Lama kami belajar kemudian hp paklekku berbunyi, dan kami berhenti sejenak, ternyata telpon dari ayahku menanyakan keberadaan kami, karena ayahku akan nyusul. Setelah pembicaraan berakhir kami pun menaiki motor lagi, masih akan berbalik arah dan kemudian selesai.
Dan peristiwa itu terjadi. Pertama kali aku yang menaiki motor dan memegang setirnya, kemudian ketika paklekku naik, karena aku tak mampu menjaga keseimbangan langsung ja motornya limbung, beliau pun tak sempat menahan motornya. Karena motornya jatuh ke sebelah kiri, kaki kananku tertindih motor, ketika kucoba menarik kakiku hanya kaos kakiku yang molor sementara kakiku tetap tak bisa terangkat. Ketika motor sudah diangkat baru terasa jari kakiku cenat cenut tapi kupikir hanya luka biasa –memar gt-. Hingga ketika kulihat mulai muncul bercak2 darah di kaos kakiku –sampai disini aku belum percaya kakiku berdarah- baru aku sadar ternyata lukanya cukup lumayan –sampai berdarah segala- en sakitnya jadi makin cenut2. Ketika kaos kakinya dibuka darahnya pun mengucur (baca: menetes,he3) makin terasa sakit.
Hmm, emang penglihatan itu mempengaruhi rasa ya? Mungkin kalau ga melihat darah ga terasa sakit2 banget. Kayak di film2 ketika kepala si aktris terbentur dia tak bereaksi apa2, hingga ketika dipegangnya kepalanya dan dilihatnya berdarah barulah dia pingsan.
Selama perjalanan pulang aku meringis menahan sakit dan berusaha tak menangis. Sesampainya dirumah sudah tak terbendung lagi, menangislah aku. Huhuuhuu
Kenapa ya jika tubuh atau perasaan kita sedang sakit, secara otomatis air mata akan tumpah?
Tenyata ketika tertindih motor itu, jari telunjukku kegencet rem –pinggiran rem kan tajam tuh- jadilah sisi kiri jari telunjukku tersayat –nampaknya lumayan dalam- hingga kulit disekitanya terkelupas dan sisi kanannya memar serta kukunya juga memar dan sedikit berdarah.
Seketika itu juga -saat melihat kakiku itu- aku teringat Mauas, muridku ketika aku sempat mengajar selama 1 semester tahun lalu. Ketika itu kakinya –seingatku juga jari telunjuk kanannya- ketiban kursi hingga berdarah2, hebatnya dia tak menangis hanya meringis menahan sakit. Udah gitu besoknya –apa lusa- kakinya keinjak/kesenggol temannya lagi. En besoknya lagi kakinya kembali ketiban kursi, kali ini yang jadi korban jari lainnya.
Jari telunjukku harus menjadi korban atas ambisiku; bisa mengendarai motor. Tapi aku tak boleh menyerah, aku tetap harus berjuang, semangat!!!. Meski aku terbilang lamban tapi pasti bisa jika bertekad kuat.
Walaupun sementara ini aku masih belum bisa berlatih lagi, kasian jariku kalau ntar kesenggol bisa2 berdarah lagi. Rabu n hari ini –kamis- aku masih harus istirahat dari berlatih, aku juga tak masuk kerja, ho3 –senang sekali rasanya tak pergi kerja-.
Ketika kuliah jika akan bepergian yang agak jauh atau tak kuketahui alamatnya aku biasanya dibonceng kakakku. Ketika sudah lulus dan bekerja, kemana2 dibonceng bapakku –sampai2 ada yang mengira bapakku itu suamiku, aku yang ketuaan atau bapakku yang kemudaan ya?-. Entah kapan aku dibonceng oleh orang lain yang bukan anggota keluargaku namun menjadi mahramku? Sebenarnya aku juga inginnya dilatih naik motor olehnya, namun berhubung dianya tak kunjung muncul, yah aku latihan duluan deh.
mungil lagi
170212
Pagi2 ketika kubuka lemari kulihat ada cicak disana, lemaripun ke pukul2 dari luar agar si cicak keluar, ternyata tikuslah yang keluar. Tikus itu berlari ke belakang lemari dan keluar dari kamar lewat lubang yang dia buat, didepan lubang itu sudah diletakkan lem tikus, tapi aku tak mau terlalu berharap dia terperangkap karena beberapa malam lalu dia pernah berlari melewati lem –waktu itu lemnya masih sedikit- itu tanpa terperangkap. Beberapa saat kemudian kucoba melihat jebakan lem itu dan ternyata dia sudah lengket disana, keadaannya mengenaskan dia sedang meregang nyawa, nafasnya sudah putus2 dan matanya melotot. Aku merasa menang dan senang karena itu berarti terornya sudah berakhir, tapi sekaligus kasihan tak tega melihat keadaannya.
Baru beberapa saat aku merasakan euforia kemenangan, kubuka kembali lemari dan sontak muncul sosok hitam berlari, aku kaget setengah mati, ternyata hidupku belum bisa tenang karena masih ada sosok lain yang harus kubunuh.
Sejak kehadiran tikus itu yang belakangan ini membuat hidupku tak tenang, selalu menerorku, bahkan seakan2 mempermalukanku karena tak kujung bisa mengatasinya, aku benar2 ingin menjadi pembunuh; pembunuh tikus.
Jelas saja kamarku tak pernah bersih, karena selalu dipake “obak” tikus itu, bahkan yang lebih mengerikan pakaianku pun “diibal-ibal”nya. Jijay bgt..
Pagi2 ketika kubuka lemari kulihat ada cicak disana, lemaripun ke pukul2 dari luar agar si cicak keluar, ternyata tikuslah yang keluar. Tikus itu berlari ke belakang lemari dan keluar dari kamar lewat lubang yang dia buat, didepan lubang itu sudah diletakkan lem tikus, tapi aku tak mau terlalu berharap dia terperangkap karena beberapa malam lalu dia pernah berlari melewati lem –waktu itu lemnya masih sedikit- itu tanpa terperangkap. Beberapa saat kemudian kucoba melihat jebakan lem itu dan ternyata dia sudah lengket disana, keadaannya mengenaskan dia sedang meregang nyawa, nafasnya sudah putus2 dan matanya melotot. Aku merasa menang dan senang karena itu berarti terornya sudah berakhir, tapi sekaligus kasihan tak tega melihat keadaannya.
Baru beberapa saat aku merasakan euforia kemenangan, kubuka kembali lemari dan sontak muncul sosok hitam berlari, aku kaget setengah mati, ternyata hidupku belum bisa tenang karena masih ada sosok lain yang harus kubunuh.
Sejak kehadiran tikus itu yang belakangan ini membuat hidupku tak tenang, selalu menerorku, bahkan seakan2 mempermalukanku karena tak kujung bisa mengatasinya, aku benar2 ingin menjadi pembunuh; pembunuh tikus.
Jelas saja kamarku tak pernah bersih, karena selalu dipake “obak” tikus itu, bahkan yang lebih mengerikan pakaianku pun “diibal-ibal”nya. Jijay bgt..
si mungil
110212
Si mungil itu berlari kesana kemari, mungkin dia merasa dirinya begitu lucu dan menggemaskan. Membuatku tercenung, hingga tak mampu berbuat apa2. Yang ini baru, lebih mungil dari yang kemarin dan lebih agresif, tidak seperti sebelumnya yang pemalu.
Di penghujung malam, akupun terpaksa harus tidur dengan backsound suara si mungil “ngerikiti” lemari. Semoga saja nyenyak.
Keesokan harinya, karena masih ada celah sangat kecil diantara dinding, -padahal dulu celah2 sudah ditutup hingga pendahulunya tak bisa lagi masuk- celah itu pun ditutup.
Semua celah telah ditutup, namun ternyata si mungil masih bisa masuk lewah celah yang lebih kecil lagi di bawah pintu. Tak tanggung2 dia masuk ketika aku sedang berdiri sholat, berlari di dekat kakiku, untung saja aku tak berkata2 atau menjerit, kalau tidak batallah sholatku. Setelah sholat ku obrak-abrik belakang lemari, dia tak bergeming. Perasaanku tak enak, kubuka lemari ternyata dia sedang berdiri tepat diatas sprei dalam lemari, matanya menatapku, seakan2 dia sedang menyeringai mengejekku.
Memang bawah pintu lemari ada celah kecil. Memang si mungil ini benar2 super mungil hingga dia begitu lincah melewati celah2 yang sangat2 kecil. Pantas saja rok dan bajuku robek kecil, padahal perasaan tak pernah “kecantol” apapun.
Setelah lemari digeledah diapun lari keluar.
Menjelang tidur, celah dibawah pintu pun ditutup plus diberi pengaman di belakang pintu. “Akhirnya aku bisa tidur nyenyak juga” pikirku. Tapi, tengah malam aku dibangunkan oleh suara si mungil “ngerikiti” pintu, tadinya kupikir dia didepan pintu didepan kamarku. Ketika kunyalakan hp, seperti ada bayang2 sosok kecil, kuarahkan sinarnya ke sosok itu dia pun berpindah. Ah mungkin mataku saja, karena belum sadar betul. Kunyalakan lampu, dia sudah bertengger di dahan pintu dibelakang sarung yang kugantung dipintu. Dan dilantai sudah berserakan remahan2 kayu yang entah dia “kerikiti” dari mana, karena kuperhatikan pintunya tidak “kroak”. Dia pun berlari ke belakang lemari.
Tak habis pikir, celah mana lagi yang dia jadikan jalan masuk, padahal semua celah sudah ditutup. Dia benar2 gigih, hingga tak pernah kehabisan cara untuk masuk ke kamarku. Entahlah, apa dia memang bertekad untuk merongrong hidupku?
O ya, suatu ketika aku membuka pintu kamar dan dia langsung berlari masuk, sepertinya dia sudah bersiap2 menunggu kesempatan untuk masuk, ckckck.
*si mungil dalam cerita diatas adalaah tikus hitam kecil, sangat kecil dan gesit.
Sebelumnya memang ada tikus hitam kecil yang suka sekali berada di kamar, tapi ukurannya lebih besar dan tidak seagresif yang baru. Ketika celah2 ditutup hidupku mulai tenang, namun beberapa saat kemudian muncullah si mungil itu. Aku curiga jangan2 si mungil ini adalah keponakan atau mungkin anak tikus sebelumnya.
Si mungil itu berlari kesana kemari, mungkin dia merasa dirinya begitu lucu dan menggemaskan. Membuatku tercenung, hingga tak mampu berbuat apa2. Yang ini baru, lebih mungil dari yang kemarin dan lebih agresif, tidak seperti sebelumnya yang pemalu.
Di penghujung malam, akupun terpaksa harus tidur dengan backsound suara si mungil “ngerikiti” lemari. Semoga saja nyenyak.
Keesokan harinya, karena masih ada celah sangat kecil diantara dinding, -padahal dulu celah2 sudah ditutup hingga pendahulunya tak bisa lagi masuk- celah itu pun ditutup.
Semua celah telah ditutup, namun ternyata si mungil masih bisa masuk lewah celah yang lebih kecil lagi di bawah pintu. Tak tanggung2 dia masuk ketika aku sedang berdiri sholat, berlari di dekat kakiku, untung saja aku tak berkata2 atau menjerit, kalau tidak batallah sholatku. Setelah sholat ku obrak-abrik belakang lemari, dia tak bergeming. Perasaanku tak enak, kubuka lemari ternyata dia sedang berdiri tepat diatas sprei dalam lemari, matanya menatapku, seakan2 dia sedang menyeringai mengejekku.
Memang bawah pintu lemari ada celah kecil. Memang si mungil ini benar2 super mungil hingga dia begitu lincah melewati celah2 yang sangat2 kecil. Pantas saja rok dan bajuku robek kecil, padahal perasaan tak pernah “kecantol” apapun.
Setelah lemari digeledah diapun lari keluar.
Menjelang tidur, celah dibawah pintu pun ditutup plus diberi pengaman di belakang pintu. “Akhirnya aku bisa tidur nyenyak juga” pikirku. Tapi, tengah malam aku dibangunkan oleh suara si mungil “ngerikiti” pintu, tadinya kupikir dia didepan pintu didepan kamarku. Ketika kunyalakan hp, seperti ada bayang2 sosok kecil, kuarahkan sinarnya ke sosok itu dia pun berpindah. Ah mungkin mataku saja, karena belum sadar betul. Kunyalakan lampu, dia sudah bertengger di dahan pintu dibelakang sarung yang kugantung dipintu. Dan dilantai sudah berserakan remahan2 kayu yang entah dia “kerikiti” dari mana, karena kuperhatikan pintunya tidak “kroak”. Dia pun berlari ke belakang lemari.
Tak habis pikir, celah mana lagi yang dia jadikan jalan masuk, padahal semua celah sudah ditutup. Dia benar2 gigih, hingga tak pernah kehabisan cara untuk masuk ke kamarku. Entahlah, apa dia memang bertekad untuk merongrong hidupku?
O ya, suatu ketika aku membuka pintu kamar dan dia langsung berlari masuk, sepertinya dia sudah bersiap2 menunggu kesempatan untuk masuk, ckckck.
*si mungil dalam cerita diatas adalaah tikus hitam kecil, sangat kecil dan gesit.
Sebelumnya memang ada tikus hitam kecil yang suka sekali berada di kamar, tapi ukurannya lebih besar dan tidak seagresif yang baru. Ketika celah2 ditutup hidupku mulai tenang, namun beberapa saat kemudian muncullah si mungil itu. Aku curiga jangan2 si mungil ini adalah keponakan atau mungkin anak tikus sebelumnya.
MY LOVELY AZZA
Anak2 usia 2-4 tahun itu kritis banget ya? Mungkin tak semua, tapi itulah yang kulihat dari adik sepupuku yang berumur 3,5 tahun.
Di usia balita ini, dia sudah mulai memilih. Misalnya baju mana yang ingin dikenakannya, maka dia akan menunjuk mana yang ingin dipakainya. Dalam hal makan pun, dia akan meminta, mau makan dengan apa dan lauk apa, tapi sayangnya dia sangat suka makan mie instan padahal itu adalah junk food.
Dia juga sangat suka bertanya. Ketika orang2 dewasa sedang membicarakan sesuatu yang kurang diketahui atau dipahaminya, dia akan bertanya “apa”, “siapa” de es be. Begitupun ketika orang dewasa sedang melakukan sesuatu –masak misalnya- dia akan bertanya ini itu dan selalu ingin bias.
Ketika dia bertanya tentang suatu hal yang ingin diketahuinya, dia tidak akan puas jika dijawab sekali, dia akan terus bertanya sampai akar2nya hingga dia puas.
Dan –lucu- ketika itu dia berkata dia mau makan supaya cepat besar, dan bisa masak, he3. Tapi dia sangat tidak suka bau bawang, kalau mencium baunya dia ingin muntah.
Sebelum minum bisanya dia akan mencium gelas itu, jika bau makanan –karena habis dipakai kakanya misal- dia tak akan mau memakainya, dia akan meminta gelas yang baru.
Dia pun sudah pandai berargumen. Ketika suatu ketika dikatakan padanya sesuatu hal maka dia pun bisa menjawab dan meyatakan argumen2nya –saya lupa apa “sesuatu”nya itu-.
Selama ini kami memanggilnya langsung dengan nama panggilannya “azza” namun belakangan ini dia selalu minta dipanggil “adik azza”. Jadi ketika aku lupa memanggilnya hanya dengan “azza” saja, dia selalu menginterupsi “adik azza”.
Dia akan mengkritik apa2 yang dilihatnya tidak tepat. Seperti ketika aku makan, dan tidak didengarnya aku mengucapkan “bismillah” maka dia pun menegurku. Kurang lebih begini “baca bismillah dulu” ketika kukatakan sudah, balik dijawab “azza ga dengar”
Atau ketika seorang kakak tanpa sadar bersenandung, yang didalamnya ada kata “cinta”. Dia pun langsung bertanya “anong nyanyi apa”,si kakak: “tidak”, “cinta iyo?”. Telinganya betul2 peka, dan dia akan mengingat apa2 yang didengarnya, jadi jangan sampai telinganya mendengar sesuatu yang kurang baik.
Ketika dia melihat atau mengalami sesuatu, suatu saat dia bisa menceritakan lagi dengan detail apa yang terjadi.
Dia juga sudah mulai bisa ngambek, ketika suatu ketika pakdenya memarahi atau membentaknya (aku lupa, dan entah karena apa). Dia pun menangis sampai sesenggukan dan lama tak berhenti2, nampaknya dia sangat terluka –kayak orang2 gede kalau lagi sakit hati-. Setelah iti pun dia ngambek tak bicara pada pakdenya.
Intinya; anak ini benar2 cerdas dan cerewet, lucu deh. Menyenangkan bisa bermain dan bercengkrama dengannya.
Di usia balita ini, dia sudah mulai memilih. Misalnya baju mana yang ingin dikenakannya, maka dia akan menunjuk mana yang ingin dipakainya. Dalam hal makan pun, dia akan meminta, mau makan dengan apa dan lauk apa, tapi sayangnya dia sangat suka makan mie instan padahal itu adalah junk food.
Dia juga sangat suka bertanya. Ketika orang2 dewasa sedang membicarakan sesuatu yang kurang diketahui atau dipahaminya, dia akan bertanya “apa”, “siapa” de es be. Begitupun ketika orang dewasa sedang melakukan sesuatu –masak misalnya- dia akan bertanya ini itu dan selalu ingin bias.
Ketika dia bertanya tentang suatu hal yang ingin diketahuinya, dia tidak akan puas jika dijawab sekali, dia akan terus bertanya sampai akar2nya hingga dia puas.
Dan –lucu- ketika itu dia berkata dia mau makan supaya cepat besar, dan bisa masak, he3. Tapi dia sangat tidak suka bau bawang, kalau mencium baunya dia ingin muntah.
Sebelum minum bisanya dia akan mencium gelas itu, jika bau makanan –karena habis dipakai kakanya misal- dia tak akan mau memakainya, dia akan meminta gelas yang baru.
Dia pun sudah pandai berargumen. Ketika suatu ketika dikatakan padanya sesuatu hal maka dia pun bisa menjawab dan meyatakan argumen2nya –saya lupa apa “sesuatu”nya itu-.
Selama ini kami memanggilnya langsung dengan nama panggilannya “azza” namun belakangan ini dia selalu minta dipanggil “adik azza”. Jadi ketika aku lupa memanggilnya hanya dengan “azza” saja, dia selalu menginterupsi “adik azza”.
Dia akan mengkritik apa2 yang dilihatnya tidak tepat. Seperti ketika aku makan, dan tidak didengarnya aku mengucapkan “bismillah” maka dia pun menegurku. Kurang lebih begini “baca bismillah dulu” ketika kukatakan sudah, balik dijawab “azza ga dengar”
Atau ketika seorang kakak tanpa sadar bersenandung, yang didalamnya ada kata “cinta”. Dia pun langsung bertanya “anong nyanyi apa”,si kakak: “tidak”, “cinta iyo?”. Telinganya betul2 peka, dan dia akan mengingat apa2 yang didengarnya, jadi jangan sampai telinganya mendengar sesuatu yang kurang baik.
Ketika dia melihat atau mengalami sesuatu, suatu saat dia bisa menceritakan lagi dengan detail apa yang terjadi.
Dia juga sudah mulai bisa ngambek, ketika suatu ketika pakdenya memarahi atau membentaknya (aku lupa, dan entah karena apa). Dia pun menangis sampai sesenggukan dan lama tak berhenti2, nampaknya dia sangat terluka –kayak orang2 gede kalau lagi sakit hati-. Setelah iti pun dia ngambek tak bicara pada pakdenya.
Intinya; anak ini benar2 cerdas dan cerewet, lucu deh. Menyenangkan bisa bermain dan bercengkrama dengannya.
Assalamu'alaikum
180112
Teringat sebuah penggalan kalimat “jika kita menyukai suatu pekerjaan, maka bekerja akan terasa bermain”. Dan kalimat ini memang benar, sebelum ini –ketika menjadi guru- aku benar2 merasa hanya sedang bermain –meskipun cukup melelahkan- dan ujung2nya aku digaji. Berbeda dengan sekarang, ketika kerjaku hanya duduk2 saja –makan gaji buta- tapi terasa sangat membosankan dan berat –karena memang ada banyak hal yang tak kusepakati-.
Setelah setengah bulanan aku di tempat kerja baru, baru kali ini aku diberi ucapan salam “assalamu’alaikum”, biasanya paling2 “selamat pagi”. Alhamdulillah, rasanya sejuk sekali dan terasa begitu berharga.
Hal2 yang membuatku tak sreg antara lain:
Bercampur dengan orang kafir yang tentunya akan menuntut lebih banyak toleransi, ucapan salam saja diganti “selamat pagi” itu contoh kecilnya. Ketika mereka merayakan hari raya mereka biasanya orang2 akan memberi ucapan selamat, walau tak betul sebenarnya. Begitupun ketika satu hari yang dirayakan oleh kebanyakan manusia di muka bumi ini –tahun baru-.
Ketika kita sebagai seorang muslim berusaha untuk istiqomah, misalnya saja tak bersalaman dengan selain mahram kemungkinan mereka akan bingung.
Ada kejadian lucu di hari pertama, seorang ibu ketika memasuki ruangan langsung menyalami semua orang disana kecuali aku, mungkin dia melihat jilbabku yang lebar, lantas dia bertanya “boleh pegang ga?” ha3. Lantas bumil di sebelahku menjelaskan “kalau perempuan boleh, kalau laki2 ga”.
Selain itu juga, ikhtilath alias campur baur yang tak mungkin terhindarkan.
Belum lagi obrolan2 diantara mereka; ada yang leluconnya berbau cabul. Bahkan yang lebih parah leluconnya mengarah kepada perkataan kekufuran, bergidik aku mendengarnya.
Full musik, mending kalau syair dan musiknya biasa, ada yang syairnya sangat2 ga bermutu, musik2 disco2 gitu, bahkan yang terparah pernah juga disetel lagu rohani orang kafir.
Juga tak lupa asap rokok, ini namanya bunuh diri ngajak2 orang lain.
Yang Muslim pun nampaknya tak ada yang sholat, karena ku lihat tempat yang digunakan untuk sholat –hanya berupa hamparan karpet di sudut belakang ruangan- nampaknya tak pernah terjamah, bahkan yang nampak nyata jumatan pun ada yang tetap ditempat tak bergeming.
Pengen keluar secepatnya ee....
Teringat sebuah penggalan kalimat “jika kita menyukai suatu pekerjaan, maka bekerja akan terasa bermain”. Dan kalimat ini memang benar, sebelum ini –ketika menjadi guru- aku benar2 merasa hanya sedang bermain –meskipun cukup melelahkan- dan ujung2nya aku digaji. Berbeda dengan sekarang, ketika kerjaku hanya duduk2 saja –makan gaji buta- tapi terasa sangat membosankan dan berat –karena memang ada banyak hal yang tak kusepakati-.
Setelah setengah bulanan aku di tempat kerja baru, baru kali ini aku diberi ucapan salam “assalamu’alaikum”, biasanya paling2 “selamat pagi”. Alhamdulillah, rasanya sejuk sekali dan terasa begitu berharga.
Hal2 yang membuatku tak sreg antara lain:
Bercampur dengan orang kafir yang tentunya akan menuntut lebih banyak toleransi, ucapan salam saja diganti “selamat pagi” itu contoh kecilnya. Ketika mereka merayakan hari raya mereka biasanya orang2 akan memberi ucapan selamat, walau tak betul sebenarnya. Begitupun ketika satu hari yang dirayakan oleh kebanyakan manusia di muka bumi ini –tahun baru-.
Ketika kita sebagai seorang muslim berusaha untuk istiqomah, misalnya saja tak bersalaman dengan selain mahram kemungkinan mereka akan bingung.
Ada kejadian lucu di hari pertama, seorang ibu ketika memasuki ruangan langsung menyalami semua orang disana kecuali aku, mungkin dia melihat jilbabku yang lebar, lantas dia bertanya “boleh pegang ga?” ha3. Lantas bumil di sebelahku menjelaskan “kalau perempuan boleh, kalau laki2 ga”.
Selain itu juga, ikhtilath alias campur baur yang tak mungkin terhindarkan.
Belum lagi obrolan2 diantara mereka; ada yang leluconnya berbau cabul. Bahkan yang lebih parah leluconnya mengarah kepada perkataan kekufuran, bergidik aku mendengarnya.
Full musik, mending kalau syair dan musiknya biasa, ada yang syairnya sangat2 ga bermutu, musik2 disco2 gitu, bahkan yang terparah pernah juga disetel lagu rohani orang kafir.
Juga tak lupa asap rokok, ini namanya bunuh diri ngajak2 orang lain.
Yang Muslim pun nampaknya tak ada yang sholat, karena ku lihat tempat yang digunakan untuk sholat –hanya berupa hamparan karpet di sudut belakang ruangan- nampaknya tak pernah terjamah, bahkan yang nampak nyata jumatan pun ada yang tetap ditempat tak bergeming.
Pengen keluar secepatnya ee....
INI HIDUPMU NAK, JALANILAH SESUKAMU!
050111
Kalau hidup itu semudah di film2, di novel2 n cerita2 fiksi lainnya, enak kali y?
(sebenarnya cerita2 dalam film atau novel pun tidak mudah, hanya saja sebagai pembaca yang mengetahui akhir ceritanya happy ending, jadi menilai demikian)
Entahlah mengapa terkadang –kalau tak boleh dikatakan seringkali- keinginan orang tua tak sejalan dengan keinginan anak.
Misalnya saja orang tua sangat berharap anak2nya menjadi orang kantoran yang pergi kerja dengan baju rapi dan keren. Tapi anak2nya malah menginginkan hal lain, anak pertama ingin berwiraswasta –baca: jualan- karena ingin bebas, tak terikat dan tak diperintah. Tentu saja orang tua tak sepakat, selain pekerjaannya yang tak jelas prospeknya juga karena ilmu kuliahnya tak terpakai.
Anak kedua yang menjadi kebanggaan karena baru saja menjadi cpns, sebenarnya pun tak menyukai pekerjaannya, hanya saja ia ta mampu mengutarakan keinginannya. Kalau disuruh memilih dia lebih senang pekerjaannya sebelumnya, menjadi guru yang gajinya boleh dibilang memperihatinkan, tapi dia senang hingga baginya dia tak sedang bekerja melainkan sedang bermain. Walau keinginan terbesarnya setelah menikah adalah menjadi ibu rumah tangga, pekerjaan yang tentu sangat tidak keren menurut orang2.
Anak pertama setidaknya lebih beruntung, bisa menjalani hidupnya seperti kemauannya walau selalu ditentang, anak kedua bahkan tak mampu hanya sekedar menyuarakan isi hatinya. Tak bisa dibayangkan bagaimana reaksi ortunya jika dia benar2 memperjuangkan keinginannya. Ortunya begitu bangga dengan statusnya sekarang, terlebih dialah satu2nya yang menyandang status itu dari orang2 sekampungnya yang tinggal di kota kecil tempatnya merantau sekarang.
Dan wajar sebenarnya, karena memang keluarga ini adalah keluarga dari kalangan menengah kebawah, sehingga begitu membanggakan jika anak2nya menjadi lulusan kuliahan dan menjadi pegawai. Menjadi orang yang memiliki kedudukan terpandang, hidupnya mapan, berkecukupan, hingga tidak perlu bersusah payah hanya untuk sekedar mendapatkan sesuap nasi.
Tapi, sekali lagi tapi, kemauan ortu tak sejalan dengan keinginan anak.
Kita beralih dulu ke adegan sebuah film (diadaptasi);
Latar tempat: kampus
Sahabat si anak berkata;
“jika kita menyukai suatu pekerjaan, maka bekerja akan terasa bermain.”
“bekerjalah sesuai keinginanmu”
“kamu hanya tinggal 1 langkah lagi, katakan pada orang tuamu tentang keinginanmu dan buat mereka yakin”
Latar tempat: rumah.
Dan ketika si anak mencoba meyakinkan ortunya, walau awalnya ditentang namun akhirnya disetujui, dan berkatalah si ayah:
“jadilah apa yang kau suka Nak”
“ini hidupmu, jalanilah sesukamu”
Dan film berakhir dengan happy ending, ortu dan anak bisa saling memahami.
Dan TAMAT.
Tapi, ini bukan film, ini kisah nyata, dan lagi2 –entah untuk keberapa kalinya- si anak harus menyerah dan menjadi sesuai keinginan ortunya.
Aah, mungkin karena si anak memang tak punya nyali, terlalu takut walau hanya sekedar berbicara. Hingga uneg2nya hanya menjadi bisul di pikirannya.
Ketakutannya bukan tanpa sebab sebenarnya, karena memang pernah beberapa kali dia “melawan” keinginan ortunya, pernah berhasil memang dan pernah juga gagal. Namun pertikaian itu sungguh sangat tidak mengenakkan baginya, terlebih jika dia mau
berulah lagi kali ini, sepertinya pertikaiannya akan lebih sengit dari sebelum2nya.
Biarlah -pikirnya- kali ini dia menjadi anak penurut untuk menyenangkan hati ortunya, nanti bila dia sudah tak lagi berada di bawah otoritas ortunya dia akan menjadi apa yang dia inginkan, tentunya setelah bertemu seseorang yang bisa memahaminya.
Hmm, semoga saja tak lama lagi.
Kalau hidup itu semudah di film2, di novel2 n cerita2 fiksi lainnya, enak kali y?
(sebenarnya cerita2 dalam film atau novel pun tidak mudah, hanya saja sebagai pembaca yang mengetahui akhir ceritanya happy ending, jadi menilai demikian)
Entahlah mengapa terkadang –kalau tak boleh dikatakan seringkali- keinginan orang tua tak sejalan dengan keinginan anak.
Misalnya saja orang tua sangat berharap anak2nya menjadi orang kantoran yang pergi kerja dengan baju rapi dan keren. Tapi anak2nya malah menginginkan hal lain, anak pertama ingin berwiraswasta –baca: jualan- karena ingin bebas, tak terikat dan tak diperintah. Tentu saja orang tua tak sepakat, selain pekerjaannya yang tak jelas prospeknya juga karena ilmu kuliahnya tak terpakai.
Anak kedua yang menjadi kebanggaan karena baru saja menjadi cpns, sebenarnya pun tak menyukai pekerjaannya, hanya saja ia ta mampu mengutarakan keinginannya. Kalau disuruh memilih dia lebih senang pekerjaannya sebelumnya, menjadi guru yang gajinya boleh dibilang memperihatinkan, tapi dia senang hingga baginya dia tak sedang bekerja melainkan sedang bermain. Walau keinginan terbesarnya setelah menikah adalah menjadi ibu rumah tangga, pekerjaan yang tentu sangat tidak keren menurut orang2.
Anak pertama setidaknya lebih beruntung, bisa menjalani hidupnya seperti kemauannya walau selalu ditentang, anak kedua bahkan tak mampu hanya sekedar menyuarakan isi hatinya. Tak bisa dibayangkan bagaimana reaksi ortunya jika dia benar2 memperjuangkan keinginannya. Ortunya begitu bangga dengan statusnya sekarang, terlebih dialah satu2nya yang menyandang status itu dari orang2 sekampungnya yang tinggal di kota kecil tempatnya merantau sekarang.
Dan wajar sebenarnya, karena memang keluarga ini adalah keluarga dari kalangan menengah kebawah, sehingga begitu membanggakan jika anak2nya menjadi lulusan kuliahan dan menjadi pegawai. Menjadi orang yang memiliki kedudukan terpandang, hidupnya mapan, berkecukupan, hingga tidak perlu bersusah payah hanya untuk sekedar mendapatkan sesuap nasi.
Tapi, sekali lagi tapi, kemauan ortu tak sejalan dengan keinginan anak.
Kita beralih dulu ke adegan sebuah film (diadaptasi);
Latar tempat: kampus
Sahabat si anak berkata;
“jika kita menyukai suatu pekerjaan, maka bekerja akan terasa bermain.”
“bekerjalah sesuai keinginanmu”
“kamu hanya tinggal 1 langkah lagi, katakan pada orang tuamu tentang keinginanmu dan buat mereka yakin”
Latar tempat: rumah.
Dan ketika si anak mencoba meyakinkan ortunya, walau awalnya ditentang namun akhirnya disetujui, dan berkatalah si ayah:
“jadilah apa yang kau suka Nak”
“ini hidupmu, jalanilah sesukamu”
Dan film berakhir dengan happy ending, ortu dan anak bisa saling memahami.
Dan TAMAT.
Tapi, ini bukan film, ini kisah nyata, dan lagi2 –entah untuk keberapa kalinya- si anak harus menyerah dan menjadi sesuai keinginan ortunya.
Aah, mungkin karena si anak memang tak punya nyali, terlalu takut walau hanya sekedar berbicara. Hingga uneg2nya hanya menjadi bisul di pikirannya.
Ketakutannya bukan tanpa sebab sebenarnya, karena memang pernah beberapa kali dia “melawan” keinginan ortunya, pernah berhasil memang dan pernah juga gagal. Namun pertikaian itu sungguh sangat tidak mengenakkan baginya, terlebih jika dia mau
berulah lagi kali ini, sepertinya pertikaiannya akan lebih sengit dari sebelum2nya.
Biarlah -pikirnya- kali ini dia menjadi anak penurut untuk menyenangkan hati ortunya, nanti bila dia sudah tak lagi berada di bawah otoritas ortunya dia akan menjadi apa yang dia inginkan, tentunya setelah bertemu seseorang yang bisa memahaminya.
Hmm, semoga saja tak lama lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)