291111
Entahlah sepertinya aku sedang gundah, aku bingung harus bahagia ataukah harus bersedih. Bagi sebagian orang –atau bahkan kebanyakan- mungkin ini menjadi kabar yang menggembirakan, namun entahlah. Ketika mulai beredar kabar bahwa sebentar lagi aku akan menyandang status, yang menurut orang2 begitu menjanjikan.
Di satu sisi aku senang, karena aku akan bebas dari sebuah sistem yang “memaksa”ku berubah warna, juga banyak hal dalam sistem itu yang tak kusepakati. Namun di sisi lain aku sedih karena harus berpisah dengan mereka2 yang kusayangi dan tak lagi bisa menjalankan fungsi yang menurutku mulia itu.
Juga kekhawatiran jika di tempat baruku nanti aku akan mendapati atmosfer yang lebih buruk dari sekarang, karena bukan hanya sekedar beda paradigma lagi yang akan kutemui tapi juga perbedaan keyakinan, yang otomatis membutuhkan kata “toleransi” yang lebih. Belum lagi pergaulannya (yang sesama akidahpun belum tentu paham, apalagi yang berbeda), perbincangan2 di antara mereka, akses ibadahnya (belum tentu ada mushola lengkap degan tempat wudhu yang tertutup), dan tak lupa campur baurnya.
Sebenarnya –entahlah, aku juga bingung- aku sendiri tidak begitu berharap akan menyandang status baru itu. Dan kurasa status baru itu juga bukanlah jalan keluar bagi masalahku sekarang. Sederhana saja sebenarnya, aku hanya ingin bisa menjadi seorang wanita yang bisa menjalankan tugas dan fungsinya semaksimal mungkin.
Semoga saja ada jalan keluar bagi semua ini, segera.
Kamis, 01 Desember 2011
LEBAH LAGI
Afi yang suka meledekku dengan mengatakan “ustadzah jelek”, ketika Dewi mendengarnya dia mencoba membela dengan mengatakan “ustadzah cantik kok, nanti kalau begitu (membelaku) dapat cium, tapi ustadzah tidak suka sama kita, ustadzah sukanya cuma sama Teguh” ha3, ada2 saja, jadi Dewi rupanya yang menyebarkan isu bahwa aku suka Teguh.
Memang si Teguh itu suka banget nggelibet, nggandoli (narik2), meluk2, juga suka memijitku. Sampai ada yang berkomentar “Teguh ini macam sama mamanya saja”. Hmm, sepertinya aku paham mengapa dia bersikap begitu padaku, sepertinya dia memang merindukan belaian seorang ibu. Dia tinggal bersama neneknya, sementara ibunya tinggal agak jauh darinya.
Hira yang masih kekanak2an dan manja itu, susah sekali disuruh wudhu, dia beralasan “airnya bau” katanya, memang sih air di school kami, kurang bagus, airnya berkarat dan rasa serta baunya tidak tawar. Ketika kusuruh menulis, dan dia salah menulisnya, kusuruh menulis ulang dan kuancam tak boleh istirahat dia malah merengek2. Dia juga suka mengataiku “ustadzah nakal”.
He3, sekarang dia sudah mulai mau wudhu, tapi dengan air yang dibawanya sendiri dari rumah, yang disimpan dalam botol air mineral.
Ihsan kalau di film doraemon dia cocok memerankan tokoh giant, si gendut yang suka memukul temannya. Dari hasil pengamatanku, teman2nya memang takut padanya. Dan ketika dia mulai berulah lagi, kukatakan bahwa namanya berarti baik, jadi anak baik tak boleh memukul teman, kalau memukul teman itu tidak baik. Mau namaya diganti, paijo misal? Dia malah balik bertanya artinya apa. Selidik punya selidik, katanya dia ikut bergabung dalam sebuah geng, hmm mungkin dari situlah dia mendapat ilmu “pukul memukul”.
Aji, ketika masing2 disuruh mengumpul biodata, ternyata dia bercita2 menjadi ustadz, hmm bagus2. Menurut pengakuannya dia ikut gabung dalam suatu geng (katanya sih cuma kumpulan main bola, tak lebih) yang namanya lucu: bocila yang kepanjangannya tak lain adalah bocah cilacap, he3. Pantas saja dia suka sekali mengatakan “kepriben”, meski sepertinya dia sendiri tak begitu paham maknanya.
Mukhlis yang ketika disuruh menjadi imam, setelah sebelumnya tak pernah mau, kali ini bukan hanya tak mau tapi didramatisir dengan tangisnya yang tak kunjung reda dari awal sholat sampai akhir. Jadi sholat yang seharusnya ada berdiri, rukuk, sujud dan duduknya, hanya dihabiskannya dengan berdiri sambil menangis. Dan katanya ketika drama menangisnya itu si mauas mengelus pundaknya untuk menenangkannya, juga selepas sholat –kalau ini kulihat sendiri- si ian mengelus2 punggungnya untuk mendiamkannya, hmm anak2 begitu kepedulian mereka pada temannya yang sedang sedih.
Ian, sosok yang bongsor karena memang sudah 2 kali tak naik kelas, memang lamban membaca saja masih sangat susah. Kasihan sebenarnya, apalagi ketika ihsan mengejeknya karena tak bisa membaca, atau di moment lain ketika kekurangannya itu tampak, dia akan mulai menundukkan wajahnya dan menggigit bibir bawahnya. Sepertinya kepercayaandirinya sudah benar2 down. Seharusnya dia perlu penanganan khusus dari seorang ahli, psikolog mungkin atau sejenisnya.
Si Mauas, sudah dua kali ini jari kakinya mengalami cidera. Awalnya rabu lalu –kalau tidak salah- entah karena kebanyakan tingkah ketika dikelas, jari telunjuknya ketimpa kursi hingga berdarah2 dan kukunya hampir lepas, dan hebatnya ketika menangis hanya air matanya yang berlinang tanpa meraung2. Dan esoknya –atau esoknya lagi- kakinya yang masih sakit tadi, terinjak oleh temannya. Dan hari jumat lalu, kali ini jari kelingkingnya kembali ketimpa kursi, tak sampai berdarah2 memang tapi sedikit bengkak. Dia pun menangis dan akhirnya minta pulang duluan, dijemputlah dia oleh Abinya. Mauas mauas sepertinya minggu ini kakimu benar2 sedang diuji.
Vikar, dia sangat kocak, ditambah lagi wajahnya yang juga kocak. Dia sangat terinspirasi ingin
menjadi berotot seperti nasdem katanya, ada2 saja.
Aji dan abid ketika kuingatkan tak boleh menggambar makhluk bernyawa, sebelumnya sudah sering kuingatkan. Mereka balik bertanya, truz kenapa ini ada gambarnya (mereka menunjuk buku agama yang full gambar), kujawab saja “mungkin mereka tidak tahu”, mereka balik menimpali: “iyo, karena waktu itu ustadzah belum disini, karena ustadzah tidak kasih tau mereka”, ha3, ada2 saja.
Lutfi, sosok yang ringkih dan pendiam itu, yang suaranya sangat lirih serta pemilik sorot mata yang membuat iba siapa saja yang melihatnya. Ternyata ketika sedang ngambek dia akan diam saja dan mengacuhkan orang yang membuatnya ngambek (he3, benar2 sepertiku). Seperti ketika jalan santai, yang entah kenapa dia ngambek pada ibunya dan tak mau diberi minum oleh ibunya. Akhirnya setelah kubujuk2 dan kuberi minum, dia mau meski hanya sedikit. Dari sorot matanya, sepertinya dia menyimpan rasa takut, seperti merasa terancam, tapi entahlah ini hanya teoriku yang tidak berdasar.
-----------------------------------------------------
Walau terkadang aku kesal oleh tingkah mereka, bahkan sampai marah2 hingga keluar tanduknya macam di film2 kartun (he3, emang banteng). Namun sepertinya aku akan sangat merindukan mereka jika harus meninggalkan mereka lebih cepat dari yang kukira. Merindukan wajah2 polos mereka, tawa mereka, tangis mereka, juga kekonyolan dan kenakalan mereka. Rasanya kebersamaan ini singkat sekali.
Dan sebenarnya (aku kurang suka memakai kata jujur, jujur kok bilang2, berarti selama ini ga jujur donk), ketika aku mengajar mereka, aku tidak merasa sedang bekerja, melainkan hanya sedang bermain2 dan mengisi waktu luang, lalu tiba2 di awal bulan aku pun mendapat upah.
Dan rasa2nya selama ini aku belum bisa menjadi sosok pendidik yang baik, belum bisa memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang, belum bisa menjadi sosok “ibu” bagi mereka. Dengan bersama mereka, setidaknya bisa sedikit (hanya sedikit, he3) mengasah jiwa keibuanku.
Rasanya ingin kupeluk dan kuciumi mereka satu persatu. Hhm, mengapa perpisahan itu selalu menyisakan rasa nyeri?
Memang si Teguh itu suka banget nggelibet, nggandoli (narik2), meluk2, juga suka memijitku. Sampai ada yang berkomentar “Teguh ini macam sama mamanya saja”. Hmm, sepertinya aku paham mengapa dia bersikap begitu padaku, sepertinya dia memang merindukan belaian seorang ibu. Dia tinggal bersama neneknya, sementara ibunya tinggal agak jauh darinya.
Hira yang masih kekanak2an dan manja itu, susah sekali disuruh wudhu, dia beralasan “airnya bau” katanya, memang sih air di school kami, kurang bagus, airnya berkarat dan rasa serta baunya tidak tawar. Ketika kusuruh menulis, dan dia salah menulisnya, kusuruh menulis ulang dan kuancam tak boleh istirahat dia malah merengek2. Dia juga suka mengataiku “ustadzah nakal”.
He3, sekarang dia sudah mulai mau wudhu, tapi dengan air yang dibawanya sendiri dari rumah, yang disimpan dalam botol air mineral.
Ihsan kalau di film doraemon dia cocok memerankan tokoh giant, si gendut yang suka memukul temannya. Dari hasil pengamatanku, teman2nya memang takut padanya. Dan ketika dia mulai berulah lagi, kukatakan bahwa namanya berarti baik, jadi anak baik tak boleh memukul teman, kalau memukul teman itu tidak baik. Mau namaya diganti, paijo misal? Dia malah balik bertanya artinya apa. Selidik punya selidik, katanya dia ikut bergabung dalam sebuah geng, hmm mungkin dari situlah dia mendapat ilmu “pukul memukul”.
Aji, ketika masing2 disuruh mengumpul biodata, ternyata dia bercita2 menjadi ustadz, hmm bagus2. Menurut pengakuannya dia ikut gabung dalam suatu geng (katanya sih cuma kumpulan main bola, tak lebih) yang namanya lucu: bocila yang kepanjangannya tak lain adalah bocah cilacap, he3. Pantas saja dia suka sekali mengatakan “kepriben”, meski sepertinya dia sendiri tak begitu paham maknanya.
Mukhlis yang ketika disuruh menjadi imam, setelah sebelumnya tak pernah mau, kali ini bukan hanya tak mau tapi didramatisir dengan tangisnya yang tak kunjung reda dari awal sholat sampai akhir. Jadi sholat yang seharusnya ada berdiri, rukuk, sujud dan duduknya, hanya dihabiskannya dengan berdiri sambil menangis. Dan katanya ketika drama menangisnya itu si mauas mengelus pundaknya untuk menenangkannya, juga selepas sholat –kalau ini kulihat sendiri- si ian mengelus2 punggungnya untuk mendiamkannya, hmm anak2 begitu kepedulian mereka pada temannya yang sedang sedih.
Ian, sosok yang bongsor karena memang sudah 2 kali tak naik kelas, memang lamban membaca saja masih sangat susah. Kasihan sebenarnya, apalagi ketika ihsan mengejeknya karena tak bisa membaca, atau di moment lain ketika kekurangannya itu tampak, dia akan mulai menundukkan wajahnya dan menggigit bibir bawahnya. Sepertinya kepercayaandirinya sudah benar2 down. Seharusnya dia perlu penanganan khusus dari seorang ahli, psikolog mungkin atau sejenisnya.
Si Mauas, sudah dua kali ini jari kakinya mengalami cidera. Awalnya rabu lalu –kalau tidak salah- entah karena kebanyakan tingkah ketika dikelas, jari telunjuknya ketimpa kursi hingga berdarah2 dan kukunya hampir lepas, dan hebatnya ketika menangis hanya air matanya yang berlinang tanpa meraung2. Dan esoknya –atau esoknya lagi- kakinya yang masih sakit tadi, terinjak oleh temannya. Dan hari jumat lalu, kali ini jari kelingkingnya kembali ketimpa kursi, tak sampai berdarah2 memang tapi sedikit bengkak. Dia pun menangis dan akhirnya minta pulang duluan, dijemputlah dia oleh Abinya. Mauas mauas sepertinya minggu ini kakimu benar2 sedang diuji.
Vikar, dia sangat kocak, ditambah lagi wajahnya yang juga kocak. Dia sangat terinspirasi ingin
menjadi berotot seperti nasdem katanya, ada2 saja.
Aji dan abid ketika kuingatkan tak boleh menggambar makhluk bernyawa, sebelumnya sudah sering kuingatkan. Mereka balik bertanya, truz kenapa ini ada gambarnya (mereka menunjuk buku agama yang full gambar), kujawab saja “mungkin mereka tidak tahu”, mereka balik menimpali: “iyo, karena waktu itu ustadzah belum disini, karena ustadzah tidak kasih tau mereka”, ha3, ada2 saja.
Lutfi, sosok yang ringkih dan pendiam itu, yang suaranya sangat lirih serta pemilik sorot mata yang membuat iba siapa saja yang melihatnya. Ternyata ketika sedang ngambek dia akan diam saja dan mengacuhkan orang yang membuatnya ngambek (he3, benar2 sepertiku). Seperti ketika jalan santai, yang entah kenapa dia ngambek pada ibunya dan tak mau diberi minum oleh ibunya. Akhirnya setelah kubujuk2 dan kuberi minum, dia mau meski hanya sedikit. Dari sorot matanya, sepertinya dia menyimpan rasa takut, seperti merasa terancam, tapi entahlah ini hanya teoriku yang tidak berdasar.
-----------------------------------------------------
Walau terkadang aku kesal oleh tingkah mereka, bahkan sampai marah2 hingga keluar tanduknya macam di film2 kartun (he3, emang banteng). Namun sepertinya aku akan sangat merindukan mereka jika harus meninggalkan mereka lebih cepat dari yang kukira. Merindukan wajah2 polos mereka, tawa mereka, tangis mereka, juga kekonyolan dan kenakalan mereka. Rasanya kebersamaan ini singkat sekali.
Dan sebenarnya (aku kurang suka memakai kata jujur, jujur kok bilang2, berarti selama ini ga jujur donk), ketika aku mengajar mereka, aku tidak merasa sedang bekerja, melainkan hanya sedang bermain2 dan mengisi waktu luang, lalu tiba2 di awal bulan aku pun mendapat upah.
Dan rasa2nya selama ini aku belum bisa menjadi sosok pendidik yang baik, belum bisa memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang, belum bisa menjadi sosok “ibu” bagi mereka. Dengan bersama mereka, setidaknya bisa sedikit (hanya sedikit, he3) mengasah jiwa keibuanku.
Rasanya ingin kupeluk dan kuciumi mereka satu persatu. Hhm, mengapa perpisahan itu selalu menyisakan rasa nyeri?
Terobsesi pada angka
Mungkin dunia ini memang dipenuhi dengan orang2 aneh, hmm salah satunya orang ini. Dia selalu terobsesi pada angka, dalam keseharian bahkan dalam lamunannya pun tak luput dari angka. Dalam melakukan aktifitas2 harian tak lupa dia melihat jam awal dia memulai sampai selesainya, hingga dia dapat menghitung berapa lama waktu yang dihabiskannya. Ketika berbelanja di swalayan tak lupa dikalkulatorinya satu per satu barang yang akan dibelinya, sebelum memutuskan membeli barang ukuran besar atau kecil, yang akan dipilih tentu yang satuan rupiahnya terkecil. Bahkan dalam lamunannya dia suka menghitung jumlah huruf dalam tiap kata, hingga ketika ada yang mengucap sebuah kata, otaknya akan otomatis memunculkan angka yang merupakan jumlah dari huruf2 dari kata itu. Misalnya ketika ada yang mengucap kata “daripada” maka dalam imajinasinya akan muncul angka 8, yang diawali dengan setengah lingkaran di bagian atas “(“ yang berisi suku kata “da”, kemudian “)” di bagian bawah yang berisi kata “ri”, dst hingga terbentuk kata “daripada”. Dan tak lupa, angka2 itu seringkali bergelantungan di garis bilangan yang berisi 4 kuadran itu, dan melekat kuat di memorinya, itupun masih dihitung posisi angka itu berada di kuadran positif ataukah negatif beserta nilai angkanya. Misal kata makan yang terdiri dari 5 huruf, maka angka 5 itu akan terletak di kuadran negatif negatif di posisi (-1, -2) yang jumlahnya adalah -3, atau bisa terletak di kuadran positif positif di posisi (1, 2) yang jumlahnya adalah 3. Begitupun dalam hal hitung menghitung -karena memang tak semua perkalian dihafalnya- seringkali dia menghitung dengan cara2 yang berbeda.
Seakan2 angka adalah bagian yang tak terpisah dari dirinya.
Seakan2 angka adalah bagian yang tak terpisah dari dirinya.
Pernahkah kau merasa?
Pernahkah kau merasa dirimu selalu dimata-matai, dan diawasi semua gerak-gerikmu? Jika aku ditanya demikian, akan kujawab dengan mantap: “iya”. Dan menurut feelingku, kegiatan memata2i ala detektif itu dilakukan hanya karena aku disinyalir berbeda dari mereka2 di tempatku berkecimpung. Sampai2 aku merasa seolah2 banyak kamera pengintai di tiap sudut ruangan yang memonitor setiap sepak terjangku, bahkan telepon selulerku pun disadap, hingga setiap kata yang keluar dari mulutku atau tiap pesan singkat yang kukirim lewat hpku akan diketahui. Entahlah, sepertinya semua ini sudah membuatku jadi senewen tingkat tinggi. Bahkan (kalau ini bukan lagi seolah2, tapi nyata) sengaja disewa seorang detektif untuk menyelidikiku, hanya saja caranya bekerja benar2 tak cerdas, menggunakan media yang tak canggih pula. Bagaimana tidak, mengorek2 keterangan tentang seseorang langsung ditanyakan pada orang itu, to the point lagi. Dan mungkin karena disinyalir berbeda itu pula, sepertinya selalu saja ada yang salah padaku. Bahkan ketika hendak memberi buku pada beberapa orang disana yang ku sayangi pun, harus diverifikasi lebih dulu lebih2 jika berkaitan dengan agama. Segitunya, seperti hendak menyebarkan virus menyesatkan saja, rasa2nya hati ini benar2 terenyuh (entah apa kata yang tepat untuk membahasakannya) dibuatnya.
Hmm entahlah, mungkin semua itu tak lain hanyalah paranoidku yang sedikit berlebihan.
Hmm entahlah, mungkin semua itu tak lain hanyalah paranoidku yang sedikit berlebihan.
Pekerjaan dengan tingkat stres tertinggi?
Jika diadakan survei mengenai jenis profesi dengan tingkat stres tinggi mungkin orang2 akan mengajukan jawaban profesi2 yang membutuhkan kecerdasan dan ketelitian tingkat tingkat tinggi plus yang menyita banyak waktu yang biasanya juga bergaji tinggi, seperti; eksekutif, akuntan, broker, de el el lah.
Namun kalau aku yang ditanya, akan kujawab: guru. Mengapa? Jawabannya panjang.
Kalau profesi lain mungkin hanya berhadapan dengan pekerjaan yang njelimet, yang kalau pekerjaannya buruk paling2 membuat rugi perusahaan beberapa rupiah. Namun bagi guru, jika dia gagal mendidik, maka beban moral yang ditanggung cukup berat. Mulai dari beban moral karena siswanya tak pandai2 meski sudah berbusa2 mengajarnya sampai beban moral karena akhlak siswanya yang masih belum islami2 juga, meski selalu dijejali dengan nilai2 islam.
Bagi seorang guru, jika siswa2nya tak kunjung paham apa yang diajarkannya, cukup untuk membuatnya merasa bersalah dan gagal. Dan mungkin semua guru, selalu ingin agar semua siswanya bisa memahami semua materi yang diajarkannya, walau memang kemampuan masing2 siswa berbeda2. Jadi sangat manusiawi jika guru lebih senang pada siswanya yang pandai.
Walaupun demikian guru juga manusia, kemampuannya pun terbatas, jadi ada kalanya ada hal yang tidak terlalu dipahaminya atau dipahaminya namun tak mampu ditransfernya dengan baik.
Jadi merasa bersalah sekali jika ingat dulu pernah meremehkan guru, karena kurang cerdas atau tak mampu membahasakan dengan baik. Bagaimanapun mereka adalah orang2 yang sudah mendidik kita, mengajari kita apa2 yang tadinya tidak kita tahu. Maka apakah pantas setelah menjadi pandai kita meremehkan mereka?
Merasa kasihan pada seorang rekan yang sempat dicomplain siswa2nya karena cara mengajarnya yang njelimet dan ga asyik. Hmm, beruntung yang kuajar masih kelas 2, kalau kelas atas mungkin mereka bakalan banyak complain tentangku.
Jadi, bagi kamu2 yang masih duduk di bangku sekolah or kampus, jangan melawan sama guru ya, ga pantes! Kalaupun ada yang tak benar, sampaikan dengan cara yang baik.
Balik lagi ke beban moral, terkadang aku heran pada siswa2 yang sangat lamban. Entah merekanya yang kurang cerdas ataukah gurunya yang tak komunikatif.
Memang ada jenis2 pelajaran yang bisa diterima jika gurunya menyenangkan dan tidak jika gurunya killer. Sepertiku dulu ketika SMA, ketika kelas 1 aku merasa lumayan bisa dalam pelajaran bahasa inggris karena gurunya menyenangkan, namun ketika kelas 3 berjumpa dengan guru killer -yang matanya suka melotot, kalau dia menjelaskan kita harus diam mematung bahkan sekedar menggerakkan tanganpun tak boleh, dan akan marah besar jika argumennya dibantah- rasanya aku tiba2 menjadi benar2 bodoh dalam pelajaran ini, susah sekali menjejalkannya di otakku.
Namun ada juga pelajaran yang tetap saja sulit, meski gurunya menyenangkan. Contoh aja pelajaran matematika –yang memang menjadi momok bagi kebanyakan siswa-, ketika aku kelas 3, sang guru sudah menampilkan performance yang sangat bagus, namun tetap saja banyak yang tetap susah mencerna pelajarannya. Di jaman aku SMA dulu, ketika kebanyakan guru masih mengajar dengan cara konvensional, beliau sudah menggunakan cara2 yang keren.
Untuk soal2 latihan atau ulangan seringkali soalnya diketikkan di kertas2 berukuran mini (dari ukuran kertasnya yang mini, paling tidak seharusnya otak kita sudah tersugesti bahwa soalnya sedikit dan kecil) , tidak seperti guru lain yang selalu ditulis di papan. Untuk memperjelas penjelasannya pun terkadang menggunakan LCD (barang langka ketika itu) yang disiapkannya sendiri beserta laptopnya. Seperti ketika membahas tentang bangun ruang (yang memang agak susah dipahami jika hanya dengan membaca buku, karena bentuk bangunnya hanya bisa dibayangkan), beliau menampilkannya bangun2 ruang itu dalam bentuk slide yang gambarnya bergerak, sehingga bisa dilihat dari berbagai sisi. Itu pun masih ditambah dengan membawa alat peraga berupa bangun2 ruang yang dibuatnya dari karton, yang dibuat sedemikian rapi dan dengan warna-warni yang menarik.
Ditambah lagi dengan sikapnya yang humoris, dan suka membagi2 oleh2 makanan jika beliau pulang dari melancong, juga suka memberi coklat terutama kepada mereka2 yang berbadan ceking sepertiku, supaya gemuk katanya. Yah, mungkin ketidakmampuan kami mencerna dengan baik pelajarannya semata2 karena IQ kami yang standar.
Saya juga mulai mengerti mengapa guru fisikaku dulu terkadang perlu membawa sapu untuk memukul mereka2 yang tak bisa2 juga mengerjakan soal di papan meski sudah dijelaskan berkali2. Mungkin itu cara yang terkadang efektif, karena ketika kita merasa terancam atau minimal terdesak, biasanya otak yang tadinya beku mendadak jadi encer bukan?
------------------------------------
Dan yang tak kalah berat, adalah beban moral karena akhlak siswa yang tak kunjung islami. Entahlah sepertinya medialah pihak yang perlu dituding pertama kali, selanjutnya lingkungan. Bagaimana tidak, dari kotak ajaib bernama TV, mereka akan menyaksikan bagaimana cara artis2 berpakaian (dari yang paling seksi sampai yang mengenakan penutup kepala yang juga seksi), musik2 dan lagu2 yang sedang in, mulai versi dangdut sampai versi boyband girlband. Jadi jangan heran jika ada remaja yang baru menginjak masa puber atau bahkan yang masih anak2, gemar memakai pakaian ketat atau berjilbab seksi dengan model yang lagi in sekarang. Atau dari bibir2 mungil mereka terlantun berbagai macam lagu yang sepertinya tersave rapi di memori mereka, bahkan tak lupa dengan koreonya. Atau yang menggandrungi dance2. Atau yang suka gabung sama anak2 geng, yang kata seorang anak pimpinannya berotot.
Dan anak jaman sekarang cepat sekali puber, kasihan sebenarnya di usia sehijau itu mereka sudah harus menanggung perbuatannya sendiri, sudah harus memikul beban dosanya sendiri. Apalagi ditambah dengan media dan lingkungan yang tak mendukung, terkadang masih ditambah ortu yang tak peduli, hingga tak sedikit remaja yang bingung mencari jati dirinya.
Kurasa remaja jaman sekarang jauh sekali bedanya dengan jamanku dulu, sepertinya remaja sekarang lebih centil (entah bagaimana membahasakannya). Bahkan kata seorang teman, aku baru puber ketika kuliah, ha3 aja2 ada, eh ada2 aja ding
-------------------------------------
Beban moral berikutnya yang tak kalah berat adalah “keluhan pelanggan” (kayak penggalan kalimat di produk2 makanan aja). Yupz, tak cukup di tempat kerja, di rumahpun terkadang –kalau tak boleh dikatakan sering- para orang tua masih merecoki pikiran para “pahlawan tanpa tanda jasa” dengan bertanya mengenai perkembangan anak2nya di sekolah de el el. Atau bahkan complain atas ketidakbecusan si guru mendidik anak2nya, yang disampaikan langsung kepada pimpinan. Hingga sebagai bawahan, si guru harus siap jika kemudian “diceramahi” akibat ketidakbecusan itu.
-------------------------------------------------------------
Juga tak lupa masalah “birokrasi” (sepertinya kata ini kurang tepat) sekolah yang menuntut para guru agar tidak lagi menggunakan cara2 konvensional dalam mengajar, tapi harus produktif, kreatif, dan tif2 lainnya. Harus tertib administrasi ini dan itu, juga harus sesuai standar baku (yang entah sudah dirubah berapa kali, seiring bergantinya menteri pendidikan) yang sudah dibuat oleh orang2 pintar di kemendiknas (atau dinas lain ya?) sana, namun tak kunjung membuat para siswa menjadi pintar.
Juga masalah background sekolah, yang mungkin tak sama dengan background si guru. Dan sadar atau tidak perlahan2 si guru digiring untuk menjadi sewarna dengan mereka, memiliki “paradigma” yang sama dengan mereka, dengan diwajibkan mengikuti kegiatan ini dan itu. Juga hal2 lain yang mengiringi proses belajar yang kalau mau jujur kurang benar . Dan hal ini sungguh sangat berat.
Namun kalau aku yang ditanya, akan kujawab: guru. Mengapa? Jawabannya panjang.
Kalau profesi lain mungkin hanya berhadapan dengan pekerjaan yang njelimet, yang kalau pekerjaannya buruk paling2 membuat rugi perusahaan beberapa rupiah. Namun bagi guru, jika dia gagal mendidik, maka beban moral yang ditanggung cukup berat. Mulai dari beban moral karena siswanya tak pandai2 meski sudah berbusa2 mengajarnya sampai beban moral karena akhlak siswanya yang masih belum islami2 juga, meski selalu dijejali dengan nilai2 islam.
Bagi seorang guru, jika siswa2nya tak kunjung paham apa yang diajarkannya, cukup untuk membuatnya merasa bersalah dan gagal. Dan mungkin semua guru, selalu ingin agar semua siswanya bisa memahami semua materi yang diajarkannya, walau memang kemampuan masing2 siswa berbeda2. Jadi sangat manusiawi jika guru lebih senang pada siswanya yang pandai.
Walaupun demikian guru juga manusia, kemampuannya pun terbatas, jadi ada kalanya ada hal yang tidak terlalu dipahaminya atau dipahaminya namun tak mampu ditransfernya dengan baik.
Jadi merasa bersalah sekali jika ingat dulu pernah meremehkan guru, karena kurang cerdas atau tak mampu membahasakan dengan baik. Bagaimanapun mereka adalah orang2 yang sudah mendidik kita, mengajari kita apa2 yang tadinya tidak kita tahu. Maka apakah pantas setelah menjadi pandai kita meremehkan mereka?
Merasa kasihan pada seorang rekan yang sempat dicomplain siswa2nya karena cara mengajarnya yang njelimet dan ga asyik. Hmm, beruntung yang kuajar masih kelas 2, kalau kelas atas mungkin mereka bakalan banyak complain tentangku.
Jadi, bagi kamu2 yang masih duduk di bangku sekolah or kampus, jangan melawan sama guru ya, ga pantes! Kalaupun ada yang tak benar, sampaikan dengan cara yang baik.
Balik lagi ke beban moral, terkadang aku heran pada siswa2 yang sangat lamban. Entah merekanya yang kurang cerdas ataukah gurunya yang tak komunikatif.
Memang ada jenis2 pelajaran yang bisa diterima jika gurunya menyenangkan dan tidak jika gurunya killer. Sepertiku dulu ketika SMA, ketika kelas 1 aku merasa lumayan bisa dalam pelajaran bahasa inggris karena gurunya menyenangkan, namun ketika kelas 3 berjumpa dengan guru killer -yang matanya suka melotot, kalau dia menjelaskan kita harus diam mematung bahkan sekedar menggerakkan tanganpun tak boleh, dan akan marah besar jika argumennya dibantah- rasanya aku tiba2 menjadi benar2 bodoh dalam pelajaran ini, susah sekali menjejalkannya di otakku.
Namun ada juga pelajaran yang tetap saja sulit, meski gurunya menyenangkan. Contoh aja pelajaran matematika –yang memang menjadi momok bagi kebanyakan siswa-, ketika aku kelas 3, sang guru sudah menampilkan performance yang sangat bagus, namun tetap saja banyak yang tetap susah mencerna pelajarannya. Di jaman aku SMA dulu, ketika kebanyakan guru masih mengajar dengan cara konvensional, beliau sudah menggunakan cara2 yang keren.
Untuk soal2 latihan atau ulangan seringkali soalnya diketikkan di kertas2 berukuran mini (dari ukuran kertasnya yang mini, paling tidak seharusnya otak kita sudah tersugesti bahwa soalnya sedikit dan kecil) , tidak seperti guru lain yang selalu ditulis di papan. Untuk memperjelas penjelasannya pun terkadang menggunakan LCD (barang langka ketika itu) yang disiapkannya sendiri beserta laptopnya. Seperti ketika membahas tentang bangun ruang (yang memang agak susah dipahami jika hanya dengan membaca buku, karena bentuk bangunnya hanya bisa dibayangkan), beliau menampilkannya bangun2 ruang itu dalam bentuk slide yang gambarnya bergerak, sehingga bisa dilihat dari berbagai sisi. Itu pun masih ditambah dengan membawa alat peraga berupa bangun2 ruang yang dibuatnya dari karton, yang dibuat sedemikian rapi dan dengan warna-warni yang menarik.
Ditambah lagi dengan sikapnya yang humoris, dan suka membagi2 oleh2 makanan jika beliau pulang dari melancong, juga suka memberi coklat terutama kepada mereka2 yang berbadan ceking sepertiku, supaya gemuk katanya. Yah, mungkin ketidakmampuan kami mencerna dengan baik pelajarannya semata2 karena IQ kami yang standar.
Saya juga mulai mengerti mengapa guru fisikaku dulu terkadang perlu membawa sapu untuk memukul mereka2 yang tak bisa2 juga mengerjakan soal di papan meski sudah dijelaskan berkali2. Mungkin itu cara yang terkadang efektif, karena ketika kita merasa terancam atau minimal terdesak, biasanya otak yang tadinya beku mendadak jadi encer bukan?
------------------------------------
Dan yang tak kalah berat, adalah beban moral karena akhlak siswa yang tak kunjung islami. Entahlah sepertinya medialah pihak yang perlu dituding pertama kali, selanjutnya lingkungan. Bagaimana tidak, dari kotak ajaib bernama TV, mereka akan menyaksikan bagaimana cara artis2 berpakaian (dari yang paling seksi sampai yang mengenakan penutup kepala yang juga seksi), musik2 dan lagu2 yang sedang in, mulai versi dangdut sampai versi boyband girlband. Jadi jangan heran jika ada remaja yang baru menginjak masa puber atau bahkan yang masih anak2, gemar memakai pakaian ketat atau berjilbab seksi dengan model yang lagi in sekarang. Atau dari bibir2 mungil mereka terlantun berbagai macam lagu yang sepertinya tersave rapi di memori mereka, bahkan tak lupa dengan koreonya. Atau yang menggandrungi dance2. Atau yang suka gabung sama anak2 geng, yang kata seorang anak pimpinannya berotot.
Dan anak jaman sekarang cepat sekali puber, kasihan sebenarnya di usia sehijau itu mereka sudah harus menanggung perbuatannya sendiri, sudah harus memikul beban dosanya sendiri. Apalagi ditambah dengan media dan lingkungan yang tak mendukung, terkadang masih ditambah ortu yang tak peduli, hingga tak sedikit remaja yang bingung mencari jati dirinya.
Kurasa remaja jaman sekarang jauh sekali bedanya dengan jamanku dulu, sepertinya remaja sekarang lebih centil (entah bagaimana membahasakannya). Bahkan kata seorang teman, aku baru puber ketika kuliah, ha3 aja2 ada, eh ada2 aja ding
-------------------------------------
Beban moral berikutnya yang tak kalah berat adalah “keluhan pelanggan” (kayak penggalan kalimat di produk2 makanan aja). Yupz, tak cukup di tempat kerja, di rumahpun terkadang –kalau tak boleh dikatakan sering- para orang tua masih merecoki pikiran para “pahlawan tanpa tanda jasa” dengan bertanya mengenai perkembangan anak2nya di sekolah de el el. Atau bahkan complain atas ketidakbecusan si guru mendidik anak2nya, yang disampaikan langsung kepada pimpinan. Hingga sebagai bawahan, si guru harus siap jika kemudian “diceramahi” akibat ketidakbecusan itu.
-------------------------------------------------------------
Juga tak lupa masalah “birokrasi” (sepertinya kata ini kurang tepat) sekolah yang menuntut para guru agar tidak lagi menggunakan cara2 konvensional dalam mengajar, tapi harus produktif, kreatif, dan tif2 lainnya. Harus tertib administrasi ini dan itu, juga harus sesuai standar baku (yang entah sudah dirubah berapa kali, seiring bergantinya menteri pendidikan) yang sudah dibuat oleh orang2 pintar di kemendiknas (atau dinas lain ya?) sana, namun tak kunjung membuat para siswa menjadi pintar.
Juga masalah background sekolah, yang mungkin tak sama dengan background si guru. Dan sadar atau tidak perlahan2 si guru digiring untuk menjadi sewarna dengan mereka, memiliki “paradigma” yang sama dengan mereka, dengan diwajibkan mengikuti kegiatan ini dan itu. Juga hal2 lain yang mengiringi proses belajar yang kalau mau jujur kurang benar . Dan hal ini sungguh sangat berat.
MY CORRECTION LIST: PART I dan II (PROLOG)
PART I
Hmm daftar koreksi2ku yang berakhir tragis, namun setidaknya daripada berakhir begitu saja di t4 sampah, kurasa tak ada salahnya jika kugoreskan saja di ms word ini –he3, mekso-, agar tak berakhir terlalu tragis dan bisa sedikit diambil manfaatnya.
Adalah sebuah omong kosong jika berkoar2 berdakwah namun di sisi lain sebagian cara yang digunakan haram, hendak meneladadni Robin hood kah? Mencuri untuk kemudian diberikan pada orang2 miskin, menyuapi mulut mereka dengan makanan haram hasil curian? Begitukah?
Ketika ada yang mengingatkan akan kesalahan itu pun tak diterima. Kemudian berdalil dengan pendapat si ini si itu, yang kalau mau jujur pendapat itu tak sesuai dengan al qur’an dan sunnah. Apakah kita lupa bahwa semua perkataan bisa diterima (bila sesuai dengan al qur’an dan sunnah) dan bisa ditolak (bila tidak sesuai dengan al qur’an dan sunnah), kecuali perkatan Rasul yang ma’shum?
Bahkan imam syafii –seorang ulama kenamaan- sendiri pernah mengatakan untuk mengambil pendapatnya jika sesuai dengan al qur’an dan sunnah dan membuangnya jika tidak. Lalu masih pantaskah kita taklid –fanatisme membabi buta- pada seseorang yang “ditokohkan”, dan menelan mentah2 semua perkataannya?? Terlebih jika mengaku sebagai orang yang “cerdas”, paham agama atau bahkan pengemban dakwah/da’i ?
Kalau mau berdalil dengan sekedar pendapat, pendapat itu pun sangat banyak, dari yang mendekati kebenaran sampai yang paling nyeleneh. Dan kalau kita mengumpulkan pendapat2 yang ganjil dari para ulama –yang benar2 ulama tentu-, maka terkumpullah semua keburukan pada diri kita, begitukah yang kita mau? Ataukah kita ingin menjadi “golongan moderat” yang tidak terlalu rusak seperti manusia kebanyakan dan tidak terlalu taat pada syariat? Setengah2 dunk, tapi memang “golongan” itulah yang banyak digemari orang2, mungkin karena lebih fleksibel dan terkesan lebih toleran.
Hmm, moderat di satu sisi namun fanatik di sisi lain, sebuah inkonsistensi alias ga konsisten.
(sebenarnya pengertian moderat yang benar adalah yang beragama sesuai qur’an dan sunnah, tidak ekstrim keras dan ekstrim meremehkan, tapi memang kata moderat sering diselewengkan artinya )
Tak cukup dengan menolak kebenaran, masih ditambah dengan menghujat sebuah manhaj (perlu diingat; MANHAJ bukan harakah) yang biasa saja sebenarnya, hanya manhaj berislam dengan al qur’an dan sunnah sesuai pemahaman salafus sholeh, tak ada yang aneh. Dan memang begitulah seharusnya kita berIslam, bukannya bermanhaj dengan taklid pada tokoh, organisasi/kelompok/pergerakan/harakah, dan kemudian membuat lingkaran2 kecil dalam lingkaran besar Islam, masih dibumbui dengan fanatik dan loyalitas membabi buta (saya masih belum mengerti mengapa ada frase “membabi buta”, sudah babi, buta lagi, parah banget ya?) diatasnya. Padahal seharusnya, loyalitas itu diatas Islam, bukan diatas organisasi de es be.
Dan kemudian menggunakan kata “khilaf” sebagai senjata atau hujjah, hingga kita harus berlapang dada, tak boleh tuding-menuding, tak boleh menyalahkan, tak boleh merasa benar sendiri de es be. Kalimat ini benar sebenarnya jika ditempatkan pada tempatnya, pada masalah fiqih yang memang ulama2 ahlu sunnah berikhtilaf didalamnya. Namun jika masalahnya tidak menjadi khilaf dikalangan ulama ahlu sunnah, apalagi memang ada dalil yang gamblang tentang hal itu, apa kalimat diatas masih relevan?
Dan menuding mereka2 yang mencoba istiqomah diatasnya dengan dengan predikat; kaku, suka memvonis, tak berakhlak, de es be. “Tak kenal maka tak sayang” mungkin penggalan kalimat ini bisa mewakilinya. Sepertinya perlu membaca ini: http://konsultasisyariah.com/apa-makna-salaf-salafi-atau-salafiyun.
----------------------------
Dari sini aku mengambil pelajaran, untuk mendakwahi seseorang –terutama jika dia adalah orang yang pintar, atau hanya sekedar merasa pintar- kita harus pandai2 berargumen dan bersilat lidah. Jika tidak, bisa2 kita yang akan balik “didakwahi”, dan kita hanya bisa terbengong2 dibuatnya, jadi berasa bego banget. Hingga lidah tak mampu lagi meneruskan membaca draft kesalahan2 yang harus dikoreksi. Ibarat menjual produk, agar laku tak cukup hanya dengan membuat produk yang bagus, tapi juga perlu dikemas semenarik mungkin, dan tak lupa promosi yang gencar dan persuasif tentunya.
hmm, pantaslah jika kemudian Nabi Musa alaihissalam memohon pada Allah agar menjadikan Nabi Harun alaihissalam –yang lebih cakap berbicara darinya- agar dijadikan “juru bicara”nya.
Berbicara pun butuh kecerdasan ternyata, tadinya kupikir orang2 yang pintar bicara itu seringkali hanya membual. Bersyukurlah mereka yang diberi kefasihan lisan.
Astaghfirullah, ampuni hamba Ya Allah jika marahnya hamba hanya karena nafsu, dan jika karenanya terucap apa yang seharusnya tak terucap.
(SAMPAI DI BAGIAN INI KUTULIS DENGAN MELEDAK2, WALAUPUN SUDAH AGAK DINGIN SEBENARNYA KARENA MOMENTNYA SUDAH LEWAT CUKUP LAMA)
-------------------------------------------------------------------------
PART II
Melanjutkan kalimat “tak kenal maka tak sayang” diatas
Seperti cerita seorang guru yang melarang muridnya membaca kitab karangan seorang ulama, -entah, mungkin karena dia mendapat info yang salah tentang ulama itu-. Namun ketika dia diberi kitab itu, dengan cover depannya dirobek lebih dulu, sehingga nama pengarangnya terbuang. Ia mengatakan bahwa itu adalah kitab yang bagus.
Hmm, nampaknya kita memang perlu “membaca” –apapun itu: paham maupun seseorang- dengan cara seperti itu, tanpa melihat covernya lebih dulu, dan dimulai dari 0, tanpa mendengarkan stigma2 negatif dan sebaliknya citra2 baik. Barulah kemudian kita bisa menilai dengan objektif. Dan penilaian itu akan lebih objektif lagi jika sebagai “pengamat” pernah benar2 terjun pada objek itu, atau bahkan menjadi bagian dari objek itu, jadi benar2 bisa merasakan secara langsung, bukan hanya “katanya” dan “katanya”.
Karena penilaian yang tidak diawali dari nol, yang belum apa2 sudah ada dilabeli dengan stigma2 seringkali hasilnya tak objektif.
Seorang kawan, pernah tertarik untuk “menyelidiki” sesuatu yang diberi image buruk oleh orang2, hal itu membuatnya penasaran untuk tahu apakah benar yang dituduhkan itu. Daripada hanya percaya dengan “katanya” lebih baik dia terjun langsung ke objek itu pikirnya, dan akhirnya dia dapati bahwa semua tuduhan itu tak benar.
Seperti peristiwa bom WTC yang heboh kala itu, media menggembar-gemborkan bahwa islam itu teroris, dan ternyata image buruk itu menjadi “promosi” tersendiri. Orang2 pun berbondong2 mempelajari Islam untuk menyelidiki apa benar tuduhan itu. Ketika mereka dapati semua kabar itu dusta dan ternyata islam itu indah, akhirnya berbondong2lah mereka masuk Islam. Alhamdulillah, jadi teringat surat an nashr.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An Nashr: 1-3)
Jadi, terkadang image yang buruk tentang sesuatu membuat orang antipati dan enggan untuk bersinggungan dengan hal itu. Namun ada kalanya, image yang buruk justru membuat orang penasaran untuk mengetahui kebenaran isu itu.
Untuk orang jenis pertama, jika mulanya dia meyakini sesuatu yang sebenarnya “salah”, maka dia tidak akan pernah keluar dari keyakinannya karena tak pernah mau membuka cakrawala. Namun sebaliknya, jika apa yang diyakininya itu “benar”, maka dia akan terus berada dijalurnya.
Untuk orang jenis kedua, sikap ini cukup berbahaya jika diterapkan pada semua objek yang dilabeli dengan image buruk. Jika memang objek itu diberi label buruk oleh orang2 yang kompeten di bidangnya, maka percayalah dan tak usah penasaran untuk menyelidiki. Karena dari rasa penasaran ini juga banyak orang yang akhirnya tersesat, karena setelah terjun pada objek, otaknya ikut tercuci.
Contohnya saja sebuah paham yang sudah dinyatakan sesat oleh MUI bahkan para ulama dunia; paham liberal. Maka tak perlulah kita bersusah payah terjun langsung menyelidiki ke objek tersebut, semisal membaca buku2 mereka, apalagi jika kita adalah orang2 yang kapasitas ilmunya pas2an, bukan ulama. Karena hati kita lemah, sementara subhat yang datang menyambar bagaikan petir. Jangan jadikan hati kita seperti tong sampah yang menampung semua benda kotor, tapi selektilah untuk memasukkan hanya yang baik2, begitupun halnya dengan bacaan (ini bukan kata saya lo, kata ustadz). Karena dari rasa penasaran ini, bukan tak mungkin seseorang akan terseret oleh arus dan akhirnya tenggelam dalam kesesatan.
Saya pribadi, pernah mencoba membaca bukunya “orang liberal” dan subhanallah baru beberapa lembar saya sudah bergidik dibuatnya, bagaimana tidak argumen yang mereka utarakan seakan2 sangat bisa diterima oleh akal, seakan2 tampak benar. Langsung saja kuhempaskan buku itu dan kukembalikan pada yang punya.
hmm, hati2 memilih bacaan maupun audio etc, terutama tentang din ini, ambillah dari mereka yang memang kompeten di bidangnya dan dari sumber2 yang benar terpercaya. Untuk buku2 carilah penerbit yang betul2 komitmen, penulis yang berkapasitas. Untuk web2 di internetpun demikian, jangan asal comot aja, asal judulnya islami. Begitupun audio, dengarkan ceramah dari sumber2 yang terpercaya.
Bukannya apatis, tapi berhati2. Karena mereka2 yang menyebarkan bidah, ada kalanya diantara perkataannya ada yang benar namun perlahan2 disisipkan bidahnya (sangat parah jika bidahnya dalam hal aqidah). Terlebih sebagai orang awam, yang baru belajar, tentu kita takkan mampu membedakan mana dari perkataannya yang benar dan yang salah. So, cari yang pasti2 aja.
Ibarat madu, tentu kita hanya mau mengkonsumsi madu murni, bukan madu yang aspal (asli tapi palsu) yang sudah tercampur dan terkontaminasi oleh zat lain. Maka, demikian halnya dalam masalah agama, ambillah hanya yang benar2 murni, bukan yang aspal atau bahkan palsu.
(SEDANGKAN BAGIAN KEDUA INI, KUTULIS KETIKA BENAR2 SUDAH DINGIN, JADI MAKLUM SAJA KALAU RASANYA BEDA)
NB: pren, ingatkan aku jika tulisanku mulai liar, ;)
Hmm daftar koreksi2ku yang berakhir tragis, namun setidaknya daripada berakhir begitu saja di t4 sampah, kurasa tak ada salahnya jika kugoreskan saja di ms word ini –he3, mekso-, agar tak berakhir terlalu tragis dan bisa sedikit diambil manfaatnya.
Adalah sebuah omong kosong jika berkoar2 berdakwah namun di sisi lain sebagian cara yang digunakan haram, hendak meneladadni Robin hood kah? Mencuri untuk kemudian diberikan pada orang2 miskin, menyuapi mulut mereka dengan makanan haram hasil curian? Begitukah?
Ketika ada yang mengingatkan akan kesalahan itu pun tak diterima. Kemudian berdalil dengan pendapat si ini si itu, yang kalau mau jujur pendapat itu tak sesuai dengan al qur’an dan sunnah. Apakah kita lupa bahwa semua perkataan bisa diterima (bila sesuai dengan al qur’an dan sunnah) dan bisa ditolak (bila tidak sesuai dengan al qur’an dan sunnah), kecuali perkatan Rasul yang ma’shum?
Bahkan imam syafii –seorang ulama kenamaan- sendiri pernah mengatakan untuk mengambil pendapatnya jika sesuai dengan al qur’an dan sunnah dan membuangnya jika tidak. Lalu masih pantaskah kita taklid –fanatisme membabi buta- pada seseorang yang “ditokohkan”, dan menelan mentah2 semua perkataannya?? Terlebih jika mengaku sebagai orang yang “cerdas”, paham agama atau bahkan pengemban dakwah/da’i ?
Kalau mau berdalil dengan sekedar pendapat, pendapat itu pun sangat banyak, dari yang mendekati kebenaran sampai yang paling nyeleneh. Dan kalau kita mengumpulkan pendapat2 yang ganjil dari para ulama –yang benar2 ulama tentu-, maka terkumpullah semua keburukan pada diri kita, begitukah yang kita mau? Ataukah kita ingin menjadi “golongan moderat” yang tidak terlalu rusak seperti manusia kebanyakan dan tidak terlalu taat pada syariat? Setengah2 dunk, tapi memang “golongan” itulah yang banyak digemari orang2, mungkin karena lebih fleksibel dan terkesan lebih toleran.
Hmm, moderat di satu sisi namun fanatik di sisi lain, sebuah inkonsistensi alias ga konsisten.
(sebenarnya pengertian moderat yang benar adalah yang beragama sesuai qur’an dan sunnah, tidak ekstrim keras dan ekstrim meremehkan, tapi memang kata moderat sering diselewengkan artinya )
Tak cukup dengan menolak kebenaran, masih ditambah dengan menghujat sebuah manhaj (perlu diingat; MANHAJ bukan harakah) yang biasa saja sebenarnya, hanya manhaj berislam dengan al qur’an dan sunnah sesuai pemahaman salafus sholeh, tak ada yang aneh. Dan memang begitulah seharusnya kita berIslam, bukannya bermanhaj dengan taklid pada tokoh, organisasi/kelompok/pergerakan/harakah, dan kemudian membuat lingkaran2 kecil dalam lingkaran besar Islam, masih dibumbui dengan fanatik dan loyalitas membabi buta (saya masih belum mengerti mengapa ada frase “membabi buta”, sudah babi, buta lagi, parah banget ya?) diatasnya. Padahal seharusnya, loyalitas itu diatas Islam, bukan diatas organisasi de es be.
Dan kemudian menggunakan kata “khilaf” sebagai senjata atau hujjah, hingga kita harus berlapang dada, tak boleh tuding-menuding, tak boleh menyalahkan, tak boleh merasa benar sendiri de es be. Kalimat ini benar sebenarnya jika ditempatkan pada tempatnya, pada masalah fiqih yang memang ulama2 ahlu sunnah berikhtilaf didalamnya. Namun jika masalahnya tidak menjadi khilaf dikalangan ulama ahlu sunnah, apalagi memang ada dalil yang gamblang tentang hal itu, apa kalimat diatas masih relevan?
Dan menuding mereka2 yang mencoba istiqomah diatasnya dengan dengan predikat; kaku, suka memvonis, tak berakhlak, de es be. “Tak kenal maka tak sayang” mungkin penggalan kalimat ini bisa mewakilinya. Sepertinya perlu membaca ini: http://konsultasisyariah.com/apa-makna-salaf-salafi-atau-salafiyun.
----------------------------
Dari sini aku mengambil pelajaran, untuk mendakwahi seseorang –terutama jika dia adalah orang yang pintar, atau hanya sekedar merasa pintar- kita harus pandai2 berargumen dan bersilat lidah. Jika tidak, bisa2 kita yang akan balik “didakwahi”, dan kita hanya bisa terbengong2 dibuatnya, jadi berasa bego banget. Hingga lidah tak mampu lagi meneruskan membaca draft kesalahan2 yang harus dikoreksi. Ibarat menjual produk, agar laku tak cukup hanya dengan membuat produk yang bagus, tapi juga perlu dikemas semenarik mungkin, dan tak lupa promosi yang gencar dan persuasif tentunya.
hmm, pantaslah jika kemudian Nabi Musa alaihissalam memohon pada Allah agar menjadikan Nabi Harun alaihissalam –yang lebih cakap berbicara darinya- agar dijadikan “juru bicara”nya.
Berbicara pun butuh kecerdasan ternyata, tadinya kupikir orang2 yang pintar bicara itu seringkali hanya membual. Bersyukurlah mereka yang diberi kefasihan lisan.
Astaghfirullah, ampuni hamba Ya Allah jika marahnya hamba hanya karena nafsu, dan jika karenanya terucap apa yang seharusnya tak terucap.
(SAMPAI DI BAGIAN INI KUTULIS DENGAN MELEDAK2, WALAUPUN SUDAH AGAK DINGIN SEBENARNYA KARENA MOMENTNYA SUDAH LEWAT CUKUP LAMA)
-------------------------------------------------------------------------
PART II
Melanjutkan kalimat “tak kenal maka tak sayang” diatas
Seperti cerita seorang guru yang melarang muridnya membaca kitab karangan seorang ulama, -entah, mungkin karena dia mendapat info yang salah tentang ulama itu-. Namun ketika dia diberi kitab itu, dengan cover depannya dirobek lebih dulu, sehingga nama pengarangnya terbuang. Ia mengatakan bahwa itu adalah kitab yang bagus.
Hmm, nampaknya kita memang perlu “membaca” –apapun itu: paham maupun seseorang- dengan cara seperti itu, tanpa melihat covernya lebih dulu, dan dimulai dari 0, tanpa mendengarkan stigma2 negatif dan sebaliknya citra2 baik. Barulah kemudian kita bisa menilai dengan objektif. Dan penilaian itu akan lebih objektif lagi jika sebagai “pengamat” pernah benar2 terjun pada objek itu, atau bahkan menjadi bagian dari objek itu, jadi benar2 bisa merasakan secara langsung, bukan hanya “katanya” dan “katanya”.
Karena penilaian yang tidak diawali dari nol, yang belum apa2 sudah ada dilabeli dengan stigma2 seringkali hasilnya tak objektif.
Seorang kawan, pernah tertarik untuk “menyelidiki” sesuatu yang diberi image buruk oleh orang2, hal itu membuatnya penasaran untuk tahu apakah benar yang dituduhkan itu. Daripada hanya percaya dengan “katanya” lebih baik dia terjun langsung ke objek itu pikirnya, dan akhirnya dia dapati bahwa semua tuduhan itu tak benar.
Seperti peristiwa bom WTC yang heboh kala itu, media menggembar-gemborkan bahwa islam itu teroris, dan ternyata image buruk itu menjadi “promosi” tersendiri. Orang2 pun berbondong2 mempelajari Islam untuk menyelidiki apa benar tuduhan itu. Ketika mereka dapati semua kabar itu dusta dan ternyata islam itu indah, akhirnya berbondong2lah mereka masuk Islam. Alhamdulillah, jadi teringat surat an nashr.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An Nashr: 1-3)
Jadi, terkadang image yang buruk tentang sesuatu membuat orang antipati dan enggan untuk bersinggungan dengan hal itu. Namun ada kalanya, image yang buruk justru membuat orang penasaran untuk mengetahui kebenaran isu itu.
Untuk orang jenis pertama, jika mulanya dia meyakini sesuatu yang sebenarnya “salah”, maka dia tidak akan pernah keluar dari keyakinannya karena tak pernah mau membuka cakrawala. Namun sebaliknya, jika apa yang diyakininya itu “benar”, maka dia akan terus berada dijalurnya.
Untuk orang jenis kedua, sikap ini cukup berbahaya jika diterapkan pada semua objek yang dilabeli dengan image buruk. Jika memang objek itu diberi label buruk oleh orang2 yang kompeten di bidangnya, maka percayalah dan tak usah penasaran untuk menyelidiki. Karena dari rasa penasaran ini juga banyak orang yang akhirnya tersesat, karena setelah terjun pada objek, otaknya ikut tercuci.
Contohnya saja sebuah paham yang sudah dinyatakan sesat oleh MUI bahkan para ulama dunia; paham liberal. Maka tak perlulah kita bersusah payah terjun langsung menyelidiki ke objek tersebut, semisal membaca buku2 mereka, apalagi jika kita adalah orang2 yang kapasitas ilmunya pas2an, bukan ulama. Karena hati kita lemah, sementara subhat yang datang menyambar bagaikan petir. Jangan jadikan hati kita seperti tong sampah yang menampung semua benda kotor, tapi selektilah untuk memasukkan hanya yang baik2, begitupun halnya dengan bacaan (ini bukan kata saya lo, kata ustadz). Karena dari rasa penasaran ini, bukan tak mungkin seseorang akan terseret oleh arus dan akhirnya tenggelam dalam kesesatan.
Saya pribadi, pernah mencoba membaca bukunya “orang liberal” dan subhanallah baru beberapa lembar saya sudah bergidik dibuatnya, bagaimana tidak argumen yang mereka utarakan seakan2 sangat bisa diterima oleh akal, seakan2 tampak benar. Langsung saja kuhempaskan buku itu dan kukembalikan pada yang punya.
hmm, hati2 memilih bacaan maupun audio etc, terutama tentang din ini, ambillah dari mereka yang memang kompeten di bidangnya dan dari sumber2 yang benar terpercaya. Untuk buku2 carilah penerbit yang betul2 komitmen, penulis yang berkapasitas. Untuk web2 di internetpun demikian, jangan asal comot aja, asal judulnya islami. Begitupun audio, dengarkan ceramah dari sumber2 yang terpercaya.
Bukannya apatis, tapi berhati2. Karena mereka2 yang menyebarkan bidah, ada kalanya diantara perkataannya ada yang benar namun perlahan2 disisipkan bidahnya (sangat parah jika bidahnya dalam hal aqidah). Terlebih sebagai orang awam, yang baru belajar, tentu kita takkan mampu membedakan mana dari perkataannya yang benar dan yang salah. So, cari yang pasti2 aja.
Ibarat madu, tentu kita hanya mau mengkonsumsi madu murni, bukan madu yang aspal (asli tapi palsu) yang sudah tercampur dan terkontaminasi oleh zat lain. Maka, demikian halnya dalam masalah agama, ambillah hanya yang benar2 murni, bukan yang aspal atau bahkan palsu.
(SEDANGKAN BAGIAN KEDUA INI, KUTULIS KETIKA BENAR2 SUDAH DINGIN, JADI MAKLUM SAJA KALAU RASANYA BEDA)
NB: pren, ingatkan aku jika tulisanku mulai liar, ;)
CATATAN HARIAN SEORANG PRAMUSAJI
211111
(Sebuah Catatan tentang jenis2 pelanggan, dilihat dari sudut pandang seorang pramusaji)
Ada jenis2 pelanggan warung makan/ rumah makan/ warteg (emang warteg itu yang punya musti orang tegal ya?) de es be deh yang disukai dan tidak disukai.
Jenis2 pembeli yang tak disukai antara lain:
1. Pembeli cerewet
Yaitu pembeli yang kalau pesan menu ga cukup hanya dengan menyebutkan menu apa saja yang dipesan, tapi selalu ditambah2i dengan minta ini minta itu, tambah ini tambah itu. Ga nriman lah istilah jawanya. Mending kalau cerewet gitu menu yang dipesan yang mahal, sebanding lah, tapi kalau dah cerewet menunya milih yang murah lagi, huuh sebel BGT deh.
2. Pembeli angkrem
Tipe kedua ini, adalah pembeli yang kalau dah duduk di RM, pantatnya dah kayak dilem, mengeram aja ga pergi2. Lebih parah lagi kalau ditambah dengan mengoceh ngalor ngidul, mending kalau topik pembicaraannya berbobot. Dan yang paling menyebalkan lagi, jika mengeramnya itu karena pembeli itu lagi pacaran (baca: berduaan), huft ini menyebabkan sebel stadium 4. Apalagi jika ditambah lagi dengan menu yang dipilih yang murah, atau bahkan sepiring berdua (ini sih bukan romantis lagi, tapi miskin).
Untuk “mengusir” pembeli2 model gini, tak jarang pramusaji dan empunya RM melakukan gerakan2 tambahan yang membuat mereka merasa tak nyaman dan segera cabut dari RM, semisal: berteriak2 memanggil2 rekannya, mondar-mandir di depan pembeli de es be lah.
(ini untuk warung makan biasa lo, kalau untuk t4 makan yang memang di desain untuk hang out sih sah2 saja kalau berlama2 disana)
3. Pembeli yang sok penting
ada juga pembeli yang sok penting, ngerasa berjasa banget dah menjadi perantara datangnya uang ke tangan empunya RM.
Pembeli2 yang disukai:
1. Pembeli yang nriman
Yaitu pembeli yang ga cerewet kalau beli, kalau pesan menu ya cukup gitu aja, ga minta ini itu.
2. Pembeli yang sering membeli dalam jumlah besar atau yang membeli menu yang mahal
Yaitu pembeli yang kalau pesan menu yang harganya mahal atau kalau beli dalam jumlah banyak.
3. Pembeli yang cepat
Yaitu pembeli yang SMP (selesai makan pulang), ga banyak cingcong
Dari tipe-tipe diatas, termasuk yang manakah anda? (sorry ya kalau coretan ini subjektif sekali, he3)
(Sebuah Catatan tentang jenis2 pelanggan, dilihat dari sudut pandang seorang pramusaji)
Ada jenis2 pelanggan warung makan/ rumah makan/ warteg (emang warteg itu yang punya musti orang tegal ya?) de es be deh yang disukai dan tidak disukai.
Jenis2 pembeli yang tak disukai antara lain:
1. Pembeli cerewet
Yaitu pembeli yang kalau pesan menu ga cukup hanya dengan menyebutkan menu apa saja yang dipesan, tapi selalu ditambah2i dengan minta ini minta itu, tambah ini tambah itu. Ga nriman lah istilah jawanya. Mending kalau cerewet gitu menu yang dipesan yang mahal, sebanding lah, tapi kalau dah cerewet menunya milih yang murah lagi, huuh sebel BGT deh.
2. Pembeli angkrem
Tipe kedua ini, adalah pembeli yang kalau dah duduk di RM, pantatnya dah kayak dilem, mengeram aja ga pergi2. Lebih parah lagi kalau ditambah dengan mengoceh ngalor ngidul, mending kalau topik pembicaraannya berbobot. Dan yang paling menyebalkan lagi, jika mengeramnya itu karena pembeli itu lagi pacaran (baca: berduaan), huft ini menyebabkan sebel stadium 4. Apalagi jika ditambah lagi dengan menu yang dipilih yang murah, atau bahkan sepiring berdua (ini sih bukan romantis lagi, tapi miskin).
Untuk “mengusir” pembeli2 model gini, tak jarang pramusaji dan empunya RM melakukan gerakan2 tambahan yang membuat mereka merasa tak nyaman dan segera cabut dari RM, semisal: berteriak2 memanggil2 rekannya, mondar-mandir di depan pembeli de es be lah.
(ini untuk warung makan biasa lo, kalau untuk t4 makan yang memang di desain untuk hang out sih sah2 saja kalau berlama2 disana)
3. Pembeli yang sok penting
ada juga pembeli yang sok penting, ngerasa berjasa banget dah menjadi perantara datangnya uang ke tangan empunya RM.
Pembeli2 yang disukai:
1. Pembeli yang nriman
Yaitu pembeli yang ga cerewet kalau beli, kalau pesan menu ya cukup gitu aja, ga minta ini itu.
2. Pembeli yang sering membeli dalam jumlah besar atau yang membeli menu yang mahal
Yaitu pembeli yang kalau pesan menu yang harganya mahal atau kalau beli dalam jumlah banyak.
3. Pembeli yang cepat
Yaitu pembeli yang SMP (selesai makan pulang), ga banyak cingcong
Dari tipe-tipe diatas, termasuk yang manakah anda? (sorry ya kalau coretan ini subjektif sekali, he3)
"KEBETULAN" YANG TERENCANA
oleh Lif Syifa pada 15 November 2011 jam 20:00
Seperti sebuah kebetulan, namun aku tak percaya kata “kebetulan”, karena segala yang terjadi di dunia ini sudah terencana dan tertulis dengan rapi di lauhul mahfudz, tanpa meleset sedikitpun.
Menjelang subuh telingaku sudah dimanjakan dengan lantunan surat ar rahman dari speaker masjid (memang biasanya menjelang adzan, masjid2 sering menyetel murottal kan? namun aku tidak sedang membicarakan mengenai tepat atau tidaknya hal itu, setahuku memang tak ada tuntunannya).
Pagi harinya ketika hendak tilawah, saat kubuka al qur’an, subhanallah ternyata bacaanku sudah sampai surat ar rahman juga, akhirnya aku pun membaca surat itu.
Siang harinya, menjelang adzan dhuhur, kembali aku diperdengarkan surat itu.
Subhanallah, aku seperti diingatkan dengan surat ini ketika sedang galau (ah mungkin aku memang terlalu lebay).
Mungkin ini sebuah teguran halus agar aku tak kufur nikmat, agar aku mensyukuri segala yang sudah Allah beri padaku dan tak terlalu merasa susah dengan cobaan yang diberikanNya padaku.
Dan entahlah, surat itu begitu berkesan buatku dibanding surat2 lain, mungkin karena aku tak paham bahasa arab (tahunya paling2; akhi, ukhti, dkk. he3), dan mungkin karena susunan ayat2 dalam surat ini yang unik karena ada kalimat yang diulang2, sehingga aku sangat mengingat kalimat2 itu. Dan mendengarnya benar2 membuat hati ini terenyuh (entah apa kalimat yang tepat untuk menggambarkannya).
Ramadhan tahun lalu pun –di sepuluh malam terakhirnya lebih tepatnya, entah tanggal berapa- ketika aku sedang galau, aku juga diperdengarkan surat ini, melalui lisan imam masjid kampusku, imamnya sampai sesenggukan saking menghayatinya, dan aku pun serasa ikut hanyut dalam lantunan ayat2 itu, syahdu sekali.
Dan ramadhan tahun ini pun demikian, di sepuluh malam terakhir pula, ketika shalat tarawih imamnya juga melantunkan surat yang sama, sampai sesenggukan juga, dan aku kembali hanyut dalam lantunan surat itu. Dan kurasa malam itu adalah malam ramadhan terindah di tahun ini, malam lailatul qadarkah? Allahu a’lam
Jadi, jika ditanya surat cinta siapa yang paling berkesan bagimu? Kujawab “surat cinta dari Allah yang berjudul ar rahman”. Kalau kamu?
“Dan nikmat TuhanMu yang manakah yang kamu dustakan?”
NB: ternyata menjelang magrib pun murottalnya masih sama; ar rahman.
131111
posting yang tertunda,he3
Seperti sebuah kebetulan, namun aku tak percaya kata “kebetulan”, karena segala yang terjadi di dunia ini sudah terencana dan tertulis dengan rapi di lauhul mahfudz, tanpa meleset sedikitpun.
Menjelang subuh telingaku sudah dimanjakan dengan lantunan surat ar rahman dari speaker masjid (memang biasanya menjelang adzan, masjid2 sering menyetel murottal kan? namun aku tidak sedang membicarakan mengenai tepat atau tidaknya hal itu, setahuku memang tak ada tuntunannya).
Pagi harinya ketika hendak tilawah, saat kubuka al qur’an, subhanallah ternyata bacaanku sudah sampai surat ar rahman juga, akhirnya aku pun membaca surat itu.
Siang harinya, menjelang adzan dhuhur, kembali aku diperdengarkan surat itu.
Subhanallah, aku seperti diingatkan dengan surat ini ketika sedang galau (ah mungkin aku memang terlalu lebay).
Mungkin ini sebuah teguran halus agar aku tak kufur nikmat, agar aku mensyukuri segala yang sudah Allah beri padaku dan tak terlalu merasa susah dengan cobaan yang diberikanNya padaku.
Dan entahlah, surat itu begitu berkesan buatku dibanding surat2 lain, mungkin karena aku tak paham bahasa arab (tahunya paling2; akhi, ukhti, dkk. he3), dan mungkin karena susunan ayat2 dalam surat ini yang unik karena ada kalimat yang diulang2, sehingga aku sangat mengingat kalimat2 itu. Dan mendengarnya benar2 membuat hati ini terenyuh (entah apa kalimat yang tepat untuk menggambarkannya).
Ramadhan tahun lalu pun –di sepuluh malam terakhirnya lebih tepatnya, entah tanggal berapa- ketika aku sedang galau, aku juga diperdengarkan surat ini, melalui lisan imam masjid kampusku, imamnya sampai sesenggukan saking menghayatinya, dan aku pun serasa ikut hanyut dalam lantunan ayat2 itu, syahdu sekali.
Dan ramadhan tahun ini pun demikian, di sepuluh malam terakhir pula, ketika shalat tarawih imamnya juga melantunkan surat yang sama, sampai sesenggukan juga, dan aku kembali hanyut dalam lantunan surat itu. Dan kurasa malam itu adalah malam ramadhan terindah di tahun ini, malam lailatul qadarkah? Allahu a’lam
Jadi, jika ditanya surat cinta siapa yang paling berkesan bagimu? Kujawab “surat cinta dari Allah yang berjudul ar rahman”. Kalau kamu?
“Dan nikmat TuhanMu yang manakah yang kamu dustakan?”
NB: ternyata menjelang magrib pun murottalnya masih sama; ar rahman.
131111
posting yang tertunda,he3
CURHAT YANG TERTUNDA
oleh Lif Syifa pada 15 November 2011 jam 19:26
Pernah tidak kamu merasakan ketika sedang bahagia meluap2, sedih hingga air mata berderai2 atau kesal meledak2 dan ingin sekali berbagi pada seorang kawan (baca: curhat), namun karena satu dan lain hal kamu tak dapat langsung bertemu dan curhat padanya, baru beberapa hari kemudian kamu bisa bertemu dan curhat. Ibarat masakan dah ga “panas” lagi, dah ga dapet feelnya. Wajar aja, meluap2nya kemarin curhatnya baru hari ini ketika kita sudah “dingin”.
Pernah tidak kamu merasakan ketika sedang bahagia meluap2, sedih hingga air mata berderai2 atau kesal meledak2 dan ingin sekali berbagi pada seorang kawan (baca: curhat), namun karena satu dan lain hal kamu tak dapat langsung bertemu dan curhat padanya, baru beberapa hari kemudian kamu bisa bertemu dan curhat. Ibarat masakan dah ga “panas” lagi, dah ga dapet feelnya. Wajar aja, meluap2nya kemarin curhatnya baru hari ini ketika kita sudah “dingin”.
Begitupun, ketika suatu saat aku ingin sekali berceloteh (lewat tulisan) tentang apa saja yang sedang hangat2nya ketika itu, namun karena tak sempat (tak ada waktulah, ada waktu tapi tak ada saranalah (netbi), atau ada waktu dan sarana tapi keadaannya tak memungkinkan) hingga akhirnya hanya bisa tersimpan beberapa keyword sebagai note di hp atau di netbi dan beberapa hari kemudian baru tersalurkan, tetap bisa tertulis memang, tapi udah ga dapet feelnya, ibarat makan bakso yang sudah dingin, kurang siip. Hmm, apalagi inspirasi itu sering datang di saat2 tak terduga. Dan kalau aku diberi waktu libur seminggu saja, dari pekerjaan sekolah n pekerjaan rumah (PR kalee, jadi berasa anak sekolahan) ,mungkin enak kali ya, bisa dengan tenang menyalurkan uneg2ku semuanya pada waktunya.
Jadi pengen punya iPhone atau iPad yang bisa dibawa kemana-mana, bahasa kerennya apa ya? aku lupa (o iya, portable) dan bisa digunakan kapan pun, praktis en ga ribet. Ada yang bersedia memberikanya sebagai hadiah? Kalau ada aku pasti senang sekali. he3, ngarep.com. ^^
SEKALI (LAGI) TENTANG BAU
oleh Lif Syifa pada 12 Oktober 2011 jam 19:46
Kali ini saya ingin berbicara (baca: menulis) lagi2 tentang bau, tapi bukan lagi “bau” dalam arti kiasan, melainkan bau yang sebenarnya.
Hmm, ketika kita sedang sakit entah mengapa (mungkin ada yang bisa menjelaskan?) bau badan kita tidak seperti biasanya (sebenarnya ini pengalaman pribadi). Mungkin biasanya bau kecut (bagi yang merasa,he3) tapi ketika sakit baunya benar2 beda, apa mungkin pengaruh reaksi metabolisme tubuh kita yang tak normal seperti biasa ya? atau karena efek obat2an yang kita minum, yang menguap lewat keringat? Entahlah. Atau ku tanyakan saja jawabnya pada rumput yang bergoyang? Ah ku rasa dia tak akan mau menjawab (mulai eror deh).
Ngomong2 soal sakit, mungkin sebagian dari kita kalau sakit ada yang suka ngomel2 dan menggerutu ga jelas, padahal kalau kita tau keutamaan sakit mestinya kita bersyukur udah sakit.
Diantara keutamaan sakit adalah:
1. Sebagai pelebur dosa2
2. Mengingatkan akan dosa2
3. Meninggikan derajat
4. Menambah pahala
5. Saatnya Ibadah hati berupa sabar, de el el
Tentunya semua keutamaan itu berlaku dengan syarat kita sabar menghadapi sakit itu.
Meskipun demikian kita tetap dianjurkan untuk berobat (hmm, sebenarnya saya pribadi paling malas berhubungan dengan yang namaya “dokter”), “tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia menurunkan obat untuk penyakit itu” (HR. Bukhari). Lalu apa saja ya doa2 (ruqyah syar’iyah, sebagian kita mungkin menyangka ruqyah hanya untuk orang kesurupan, padahal tidak demikian) untuk orang sakit? Bagaimana kiat2 supaya sabar? N apa lagi kabar gembira bagi orang sakit dan tertimpa musibah? Terus apa lagi ya? de el el deh Temukan jawabannya di:
http://us.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Abdullah%20Shaleh%20Hadrami/Kado%20Istimewa%20untuk%20Orang%20Sakit%20dan%20Tertimpa%20Musibah
O ya, ada juga buku bagus nih, judulnya “KEDOKTERAN NABI shalallahu ‘alaihi wasallam, Antara Realitas dan Kebohongan” terbitan shafa publika, karya Ustadz Abu Umar Basyier, penulis terkenal itu (penulis favoritku juga, he3)
Allahu a’lam, semoga bermanfaat
Kali ini saya ingin berbicara (baca: menulis) lagi2 tentang bau, tapi bukan lagi “bau” dalam arti kiasan, melainkan bau yang sebenarnya.
Hmm, ketika kita sedang sakit entah mengapa (mungkin ada yang bisa menjelaskan?) bau badan kita tidak seperti biasanya (sebenarnya ini pengalaman pribadi). Mungkin biasanya bau kecut (bagi yang merasa,he3) tapi ketika sakit baunya benar2 beda, apa mungkin pengaruh reaksi metabolisme tubuh kita yang tak normal seperti biasa ya? atau karena efek obat2an yang kita minum, yang menguap lewat keringat? Entahlah. Atau ku tanyakan saja jawabnya pada rumput yang bergoyang? Ah ku rasa dia tak akan mau menjawab (mulai eror deh).
Ngomong2 soal sakit, mungkin sebagian dari kita kalau sakit ada yang suka ngomel2 dan menggerutu ga jelas, padahal kalau kita tau keutamaan sakit mestinya kita bersyukur udah sakit.
Diantara keutamaan sakit adalah:
1. Sebagai pelebur dosa2
2. Mengingatkan akan dosa2
3. Meninggikan derajat
4. Menambah pahala
5. Saatnya Ibadah hati berupa sabar, de el el
Tentunya semua keutamaan itu berlaku dengan syarat kita sabar menghadapi sakit itu.
Meskipun demikian kita tetap dianjurkan untuk berobat (hmm, sebenarnya saya pribadi paling malas berhubungan dengan yang namaya “dokter”), “tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia menurunkan obat untuk penyakit itu” (HR. Bukhari). Lalu apa saja ya doa2 (ruqyah syar’iyah, sebagian kita mungkin menyangka ruqyah hanya untuk orang kesurupan, padahal tidak demikian) untuk orang sakit? Bagaimana kiat2 supaya sabar? N apa lagi kabar gembira bagi orang sakit dan tertimpa musibah? Terus apa lagi ya? de el el deh Temukan jawabannya di:
http://us.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Abdullah%20Shaleh%20Hadrami/Kado%20Istimewa%20untuk%20Orang%20Sakit%20dan%20Tertimpa%20Musibah
O ya, ada juga buku bagus nih, judulnya “KEDOKTERAN NABI shalallahu ‘alaihi wasallam, Antara Realitas dan Kebohongan” terbitan shafa publika, karya Ustadz Abu Umar Basyier, penulis terkenal itu (penulis favoritku juga, he3)
Allahu a’lam, semoga bermanfaat
SIFAT SHALAT DAN WUDHU NABI shallallahu ‘alaihi wasallam (LAGI)
oleh Lif Syifa pada 12 Oktober 2011 jam 8:48
WORO2:
Alhamdulillah, silakan download penjelasan dari dua buah buku kecil dengan judul:
1. Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , karya Syekh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin
2. Sifat Wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , karya Syekh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin
Kajian ini disampaikan oleh Al Ustadz Abdullah Hadrami hafizhahullah. Semoga kajian yang beliau sampaikan bermanfaat. Silakan download pada link berikut:
http://us.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Abdullah%20Shaleh%20Hadrami/Kajian%20Buku%20Sifat%20Sholat%20dan%20Wudhu%20Nabi
NB: alangkah lebih baiknya jika bukunya dimiliki terlebih dahulu
WORO2:
Alhamdulillah, silakan download penjelasan dari dua buah buku kecil dengan judul:
1. Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , karya Syekh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin
2. Sifat Wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , karya Syekh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin
Kajian ini disampaikan oleh Al Ustadz Abdullah Hadrami hafizhahullah. Semoga kajian yang beliau sampaikan bermanfaat. Silakan download pada link berikut:
http://us.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Abdullah%20Shaleh%20Hadrami/Kajian%20Buku%20Sifat%20Sholat%20dan%20Wudhu%20Nabi
NB: alangkah lebih baiknya jika bukunya dimiliki terlebih dahulu
Tentang ULTAH dan LOLAnya si processor
oleh Lif Syifa pada 10 Oktober 2011 jam 22:59
Berkoar-koar berteori memang mudah, namun prakteknya tak selalu semudah teorinya. Beberapa jam lalu aku ditelpon ortu siswa, beliau mengatakan besok akan membawa kue ke sekolah sekitar jam 11, dan bertanya apakah tidak mengganggu, karena besok anaknya berusia tepat 7 tahun. Karena begitu cepat dan mendadak –tanpa ada jeda waktu bagiku untuk berpikir- aku mengiyakan saja permohonannya. Beliau juga sempat sms bertanya jumlah siswa kelas 2, yang terdiri dari 2 kelas.
-Dan memang biasanya jika aku ditohok tiba2 dengan sebuah pertanyaan atau pernyataan yang memojokkan aku akan refleks mengelak, padahal setelah dipikir2 kadang pernyataan itu memang benar, begitupun sebaliknya (seperti contoh diatas), sepertinya ini yang dalam bahasa psikologinya disebut reaktif. Dan biasanya hasil dari respon yang refleks itu selalu tidak memuaskan hingga geram aku dibuatnya, tapi kalau kupikir2 dulu secara mendalam biasanya dah keburu telat, au’ ah gelap. Hmm Kayaknya processor otakku perlu kecepatan lebih deh, biar loadingnya ga lambat (kalau diibaratkan komputer entah pentium berapa ya? mengenaskan sekali), biar cepat memproses pesan dan memberi reaksi yang tepat, dan sepertinya –lagi- inilah yang disebut proaktif-
Namun setelah percakapan itu ditutup, akupun berpikir bagaimana caranya aku mencegah acara ultah besok. Akhirnya kukirimkan saja sms, “maaf bu merayakan ultah itu bukan budaya Islam. Sepertinya berasal dari barat, dan kita dilarang menyerupai suatu kaum. Tapi kalau ibu sudah terlanjur pesan kue, ya diniatkan berbagi rizki aja, insya Allah semoga ga pa2”
Kalau aku di posisi siswa, mudah saja, aku tidak usah masuk sekolah agar aku tak menyaksikan acara ultah itu. Tapi karena aku di posisi yang berbeda –guru- tentu aku aku harus bertindak untuk mencegah hal itu terjadi.
Hmm, semoga aku bisa mencegah apa yang harus aku cegah, mendakwahkan apa yang harus aku dakwahkan dan memperbaiki apa yang harus aku perbaiki , mudahkanlah ya Allah, amin.
Tapi BTW, smsku kok ga dibales2 y?? Dah terkirim belum sih? -_-?
091011
Berkoar-koar berteori memang mudah, namun prakteknya tak selalu semudah teorinya. Beberapa jam lalu aku ditelpon ortu siswa, beliau mengatakan besok akan membawa kue ke sekolah sekitar jam 11, dan bertanya apakah tidak mengganggu, karena besok anaknya berusia tepat 7 tahun. Karena begitu cepat dan mendadak –tanpa ada jeda waktu bagiku untuk berpikir- aku mengiyakan saja permohonannya. Beliau juga sempat sms bertanya jumlah siswa kelas 2, yang terdiri dari 2 kelas.
-Dan memang biasanya jika aku ditohok tiba2 dengan sebuah pertanyaan atau pernyataan yang memojokkan aku akan refleks mengelak, padahal setelah dipikir2 kadang pernyataan itu memang benar, begitupun sebaliknya (seperti contoh diatas), sepertinya ini yang dalam bahasa psikologinya disebut reaktif. Dan biasanya hasil dari respon yang refleks itu selalu tidak memuaskan hingga geram aku dibuatnya, tapi kalau kupikir2 dulu secara mendalam biasanya dah keburu telat, au’ ah gelap. Hmm Kayaknya processor otakku perlu kecepatan lebih deh, biar loadingnya ga lambat (kalau diibaratkan komputer entah pentium berapa ya? mengenaskan sekali), biar cepat memproses pesan dan memberi reaksi yang tepat, dan sepertinya –lagi- inilah yang disebut proaktif-
Namun setelah percakapan itu ditutup, akupun berpikir bagaimana caranya aku mencegah acara ultah besok. Akhirnya kukirimkan saja sms, “maaf bu merayakan ultah itu bukan budaya Islam. Sepertinya berasal dari barat, dan kita dilarang menyerupai suatu kaum. Tapi kalau ibu sudah terlanjur pesan kue, ya diniatkan berbagi rizki aja, insya Allah semoga ga pa2”
Kalau aku di posisi siswa, mudah saja, aku tidak usah masuk sekolah agar aku tak menyaksikan acara ultah itu. Tapi karena aku di posisi yang berbeda –guru- tentu aku aku harus bertindak untuk mencegah hal itu terjadi.
Hmm, semoga aku bisa mencegah apa yang harus aku cegah, mendakwahkan apa yang harus aku dakwahkan dan memperbaiki apa yang harus aku perbaiki , mudahkanlah ya Allah, amin.
Tapi BTW, smsku kok ga dibales2 y?? Dah terkirim belum sih? -_-?
091011
About TEACHER and CHILDREN WORLD (LASKAR LEBAH PART 2)
oleh Lif Syifa pada 6 November 2011 jam 21:03
Frase "children world" ini sebenarnya nyontek dari seorang teman, karena keren aja menurutku, he3. Boleh ya?
-Children-
Hmm, ingin kembali menceritakan mereka.
Mukhlis si pemaluMukhlis yang sebelumnya tak pernah mau memimpin doa bahkan suatu ketika dia sampai mau menangis ketika terus kudesak, ketika kuterapkan metode bergilir hingga semua siswa kebagian maju, ketika tiba gilirannya dia mau maju dengan suka rela, tanpa perlu dibujuk atau dipaksa. Namun dia masih belum bersedia menjadi imam sholat, sepertinya perlu juga diterapkan metode ini. (Ternyata setelah digilir pun, dia tetap tak mau menjadi imam, sampai menangis bahkan)
Wahyu cukup pandai pelajaran berhitung, namun ketika kusuruh mengerjakan soal non hitungan, dia terus mendatangiku minta dibacakan soalnya, dia beralasan kalau membaca sendiri akan lama. Ketika kutanyakan jangan2 dia belum bisa membaca, kemudian ku tes ternyata dia bisa tapi memang lama seperti katanya.
wahyu si muka bayiO ya waktu itu aku sudah pernah bercerita bahwa wajah si wahyu lucu bukan? Dan hari itu (261011) ada seorang anak yang meledeknya dengan menyebut wajahnya seperti bayi, -he3 benar juga ya- dia pun kesal dengan ledekan itu, kukatakan untuk membelanya “bagus to baby face”, namun nampaknya dia tak paham maknanya.
AjiAji, hmm entah dia tertarik sekali mempertanyakan statusku, seingatku sudah 3 kali. Suatu ketika, Aji bertanya “ustadzah sudah ada suaminya?” ku jawab dengan menahan tawa, “belum”. Yang lain menimpali ”berarti ustadzah masih muda”. He3, sederhana sekali cara mereka menarik kesimpulan.
Si Mauas; entahlah, tak pernah terlihat senang jika kupanggil dengan nama aslinya entah itu Abu Bakar, Umar ataupun Usman. Dia lebih ridho jika dipanggil dengan singkatan namanya; mauas.
Mauas dengan jidat kanannya yang hitam karena penghapusMauas yang emang dari sononya udah berkulit gelap, eh oleh seorang guru –yang mungkin karena ribut- mukanya malah dilap pakai penghapus (di sekolah kami memakai white board) alhasil mukanya yang sudah gelap ditambahi lagi dengan goresan hitam, black and black deh. Maksud hati mau memfotonya, apa daya hp yang kualitas kameranya sudah tak bagus pake ditambah2i eror lagi, yah ga dapet gambarnya deh.
BTW, ngomong2, hari ini (311011) banyak anak yang mukanya di make up pakai penghapus, macam2lah rupa mereka lucu2, tapi menurutku mauas lah yang paling lucu.
Hmm, faiz juga cukup lucu udah rambutnya potongan TNI, wajahnya coreng moreng pula, siip deh.
Ihsan si ndut yang temperamenIhsan yang berkulit putih, kontras sekali ketika wajahnya ada coreng moreng hitamnya.
Faiz dengan rambut ala TNInyaOh iya, hari ini ada yang rambutnya baru lo, faiz rambutnya dipotong bak potongan seorang TNI, lain lagi dengan vickar rambutnya dipotong sih tapi cuma bagian bawahnya sementara atasnya tetap panjang jadi mirip batok kelapa.
Kamis lalu (201011) kelasku menang lomba membuat sarapan dengan bahan dasar roti tawar. Perlombaannya dibagi dua; kelas 1-3 membuat sarapan dari roti, kelas 4-6 membuat nasgor. Dan dari total peserta untuk kategori roti tawar sebanyak 7 kelas, kelasku berhasil mendapat juara 2, padahal mereka menghias roti dengan kreasinya sendiri –aku hanya membantu tetek bengeknya -. Roti yang ku pilih untuk dinilai adalah kreasi Shinta dan Deva, Deva membuat roti berbentuk wajah dengan sosis sebagai pelengkap utama. Sedang Shinta menghias roti dengan keju yang dibentuk menyerupai love. Dan hari ini (241011) hadiahnya dibagikan, isinya sosis dan wafer, senang sekali mereka mendapatkannya.
Imron yang gemar dan pandai mengaji, tak hanya senang membaca al quran dari mushafnya, diapun gemar melantunkan surat2 dari al quran, hmm kebiasaan yang sangat baik dan perlu dibudayakan daripada sibuk melantunkan lagu2 “ga nggenah”. Dan kudengar dia adalah salah satu siswa yang mendapat bantuan dari yayasan untuk sekolah gratis di sekolah tempatku mengajar ini, dia berasal dari keluarga kurang mampu (kebanyakan yang bersekolah disini memang dari kalangan menengah ke atas, orang sekelas imron tentu tak mampu membayar sppnya yang lumayan). Ketika ada hal2 yang perlu diberitahukan pada ortu yang kadangkala disampaikan melalui sms, ortunya seringkali tak mendapatkan info itu, bagaimana tidak hp saja beliau tak punya, sebuah benda yang saat ini sudah menjadi barang lumrah. Kala itu ketika dia tak membawa buku cetak karena memang dia tak punya, dan kusuruh membeli, diapun menjawab bahwa dia tak ada uang untuk membeli. Mungkin karena semua hal itu rasanya aku sayang sekali padanya –atau mungkin lebih tepatnya kasihan-. Diapun kerap mengatakan dia selalu bangun sejak dini hari. Dan sebelum ku tau semua itu, sejak kejadian dia dicurigai kesurupan aku mulai “tertarik” padanya.
Fajri yang mata n mulutnya seringkali membulat
Fajri, sosok yang mungil dan raut wajahnya yang innocent dan lucu karena seringkali mata dan mulutnya membulat membentuk huruf O, ditambah lagi caranya memakai tas ransel yang kepanjangan hingga lututnya, tidak tampak seperti anak yang “jago”, tapi ketika dia berkelahi dengan fidhal –aku cukup kaget juga melihat mereka berkelahi, brutal sekali- fidhal sampai menangis dan tampak babak belur dibuatnya, sementara dia tidak tampak terluka sedikitpun dan tampak sangat kuat dan sangar. (hmm, memang seseorang yang tampak ringkih, lemah dan tak meyakinkan belum tentu dia tak jago, begitupun sebaliknya orang yang tampak sangar dan berbadan besar belum tentu jago. Bukankah biasanya yang menjadi superhero, di kehidupan normalnya seringkali tampak lemah, culun, konyol de se be bukan? hingga wajar sosoknya tak pernah dilirik pasangan jenisnya, namun ketika berubah menjadi superhero akan banyak yang tertarik padanya)
Aril anak kelas 1 yang mengaji padaku, ketika mengaji kuperhatikan tangannya seringkali menarik2 kaos kakinya.
Althof, tak bergeming meski teman2nya dah pada kaburAlthof yang masih sangat TK itu ketika mengaji, -biasanya selain membaca mereka juga menulis apa yang mereka baca hari itu- ketika yang lain sibuk berebut agar bisa membaca lebih dulu, dia malah asyik menulis lebih dulu, dan tidak akan mau disuruh membaca sebelum selesai menulis. Dan pernah suatu ketika, sampai semua teman2nya pada kabur dia masih tetap menulis dan tak mau membaca dulu.
Putra si mbemSi putra yang waktu itu kukatakan pinggir bibirnya selalu tampak seperti “berengen”, ternyata memang itu gangguan, entah mungkin sejenis sariawan, dan beberapa kali kulihat pinggir bibirnya berwarna biru semacam tinta yang dipakai untuk stempel, ketika kutanya ternyata itu adalah obat untuk mengobati gangguan di bibirnya itu. Hmm, kalau menurut hipotesisku mungkin itu sejenis kutu air yang biasanya menyerang kaki yang selalu basah, mungkin karena pinggir bibirnya selalu basah kali ya? –kesimpulan yang konyol sekali-
Ada-ada saja tingkah mereka.
Putra, karena sudah naik ke qiroati 2 maka dia harus pindah kelas, namun awalnya dia tak mau pindah, karena malu mungkin. Meski dibujuk, dia tetap tak bergeming.
Lain lagi dengan Sabil, ketika dia sudah harus tashih (tes untuk naik ke qiroati yang lebih tinggi) dia malah menangis, hari berikutnya baru dia mau tashih dengan sukarela.
Akhirnya si Putra mau pindah dengan sukarela ketika ada temannya, si Sabil.
Si Iman yang rajin n pintar, lancar2 saja ketika disuruh tashih dan pindah kelas, tanpa acara merajuk atau menangis.
Hmm, tapi aku jadi tak bisa sering berinteraksi dengan mereka lagi, terutama Putra yang sering kucubiti pipi tembemnya.
-Teacher-
Dari perjalananku beberapa bulan terakhir mencoba menjadi pendidik, aku mulai paham mengapa guru2 –sejak tingkat SD sampai PT- selalu suka pada murid yang pintar. Bagaimana tidak kalau bahasa jawanya “ulang-ulangane ra ngentekno kapur”, terjemahan bebasnya “untuk mengajarinya tidak menghabiskan kapur” hingga tak perlu menghabiskan banyak waktu dan pikiran. Dengan menjelaskan sedikit saja dia akan mengerti, berbeda dengan mereka yang “agak lamban”, harus dijelaskan beberapa kali, dengan beberapa cara, itupun syukur2 kalau akhirnya benar2 bisa paham, kalau masih tetap tak bisa? Hmm, kalau aku harus banyak2 bersabar dan berusaha tetap bertampang “manis” karena yang kuajar adalah orang lain, jika adikku sendiri –seperti dulu ketika sering mengajarinya- mungkin sudah ku omel-omeli habis2an.
Hmm, susah juga jadi guru, tapi yang aku tak habis pikir mengapa ya gaji guru sangat rendah jika dibandingkan dengan profesi lain? mengenaskan sekali pikirku. Padahal objek yang dia garap bukan sekedar benda mati yang jika salah garap masih bisa diulang lagi, tapi manusia yang kalau salah garap bisa2 rusak dan merusak. Dan cerdas saja tak cukup sebagai modal untuk menjadi guru -bahkan menurutku untuk menjadi guru tak perlu sosok yang sangat cerdas, jenius, yang berIQ sangat tinggi- tapi harus bisa mencerdaskan (karena banyak orang cerdas yang tak mampu menularkan kecerdasannya, akibat ketidakmampuannya mentransfer pemahamannya dengan bahasa dan cara yang mudah dipahami orang2 yang tak secerdas dirinya) dan mampu menjadi teladan serta menanamkan nilai2 pada anak didiknya.
Terlebih anak2 sekarang sangat kritis, mereka tidak begitu saja mau menerima ketika kita mulai nyerocos mereka harus begini begitu, tak boleh begini begitu, mereka akan terus bertanya mengapa dan mengapa hingga mereka puas dengan argumen yang kita sodorkan. Mereka pun tak segan2 menyanggah pendapat kita jika dirasa tak sesuai dengan jalan pikiran mereka. -jaman saya dulu seingatku sepertinya murid2 tak seperti ini, jika guru mengatakan A maka murid2 akan taklid begitu saja tanpa berani menyanggah atau bertanya mengapa, mungkin pada jamanku anak2 masih sangat lugu dan bodoh kali ya?-. Mereka tak canggung2 menanggapi dan mengomentari apa2 yang disampaikan gurunya. Bahkan jika suatu ketika gurunya “khilaf” mengucapkan atau berbuat sesuatu yang kurang pas, mereka akan spontan menegur, langsung tanpa basa basi atau ewuh pakewuh (istilah jawa yang juga baru belakangan ini kudapat, yang artinya kurang lebih sungkan).
Hmm, jamannya memang sudah berbeda ya?
(Aku pribadi lebih senang mengajarnya mengalir saja tanpa terikat aturan baku; standar ini itu, program ini itu dan segala aturan administrasi yang tak praktis. Seenaknya sendiri ya? he3)
-School and home-
Ngomong2 tentang guru dan murid, sekalian aja sama tempatnya; sekolah. Dari apa yang kulihat dan kubaca, sekolah2 bernafas Islam juga termasuk pesantren, terkadang –aku tak ingin menggunakan kata “seringkali”- dijadikan semacam tempat karantina bagi anak2 bermasalah dan dijadikan tempat penitipan bagi anak2 yang kurang perhatian. Contoh saja, ketika ada anak yang sangat “nakal”, biasanya orang2 akan berkomentar “masukkan saja ke pesantren”. Begitupun halnya dengan anak2 yang kekurangan perhatian karena kedua ortunya terlalu sibuk, anaknya akan dimasukkan ke sekolah2 islam yang favorit. -Walau tak semua ortu seperti itu-
Dengan begitu mereka berharap anak2nya akan disulap “bim salabim” menjadi anak2 yang manis dan sholeh/ah. Dan seakan2 tanggung jawab ortu untuk mendidik sudah selesai dengan memasukkan mereka ke sekolah2 itu. Hmm, padahal sekolah saja tak cukup, sangat tak cukup bahkan. Seharusnya rumahlah tempat mereka mendapat pendidikan pertama kali, seharusnya ibulah pendidik pertama, yang tak hanya mengenalkan mereka bagaimana cara berjalan namun juga mengenalkan mereka pada agamanya. Rasanya, sudah saatnya kita kembali menjalankan peran kita masing2.
Apalagi jika atmosfer sekolah dan rumah sangat kontras, ketika di sekolah mereka melihat bagaimana guru2 mereka berjilbab rapi lalu dirumah melihat ibunya memakai baju dan celana mini, tentu si anak akan bingung, yang mana yang harus diikutinya. Di satu sisi ortu memilihkan sekolah yang islami, namun di sisi lain tak menciptakan atmosfer rumah dan teladan yang islami, sebuah anomali, bagai berjalan ke dua arah berlawanan secara bersamaan, bisa dipastikan akan jatuh terjengkang.
Sungguh benar bahwa kewajiban ortu pada anak pertama kali adalah memilihkan ibu yang baik. Dari ibu yang baiklah akan mungkin lahir generasi2 yang baik pula, begitupun sebaliknya. Walau tetap hidayah itu dari Allah, sementara kita –sebagai ortu- sekedar berusaha untuk menjadi sebab datangnya hidayah itu.
Allahu a’lam.
Frase "children world" ini sebenarnya nyontek dari seorang teman, karena keren aja menurutku, he3. Boleh ya?
-Children-
Hmm, ingin kembali menceritakan mereka.
Mukhlis si pemaluMukhlis yang sebelumnya tak pernah mau memimpin doa bahkan suatu ketika dia sampai mau menangis ketika terus kudesak, ketika kuterapkan metode bergilir hingga semua siswa kebagian maju, ketika tiba gilirannya dia mau maju dengan suka rela, tanpa perlu dibujuk atau dipaksa. Namun dia masih belum bersedia menjadi imam sholat, sepertinya perlu juga diterapkan metode ini. (Ternyata setelah digilir pun, dia tetap tak mau menjadi imam, sampai menangis bahkan)
Wahyu cukup pandai pelajaran berhitung, namun ketika kusuruh mengerjakan soal non hitungan, dia terus mendatangiku minta dibacakan soalnya, dia beralasan kalau membaca sendiri akan lama. Ketika kutanyakan jangan2 dia belum bisa membaca, kemudian ku tes ternyata dia bisa tapi memang lama seperti katanya.
wahyu si muka bayiO ya waktu itu aku sudah pernah bercerita bahwa wajah si wahyu lucu bukan? Dan hari itu (261011) ada seorang anak yang meledeknya dengan menyebut wajahnya seperti bayi, -he3 benar juga ya- dia pun kesal dengan ledekan itu, kukatakan untuk membelanya “bagus to baby face”, namun nampaknya dia tak paham maknanya.
AjiAji, hmm entah dia tertarik sekali mempertanyakan statusku, seingatku sudah 3 kali. Suatu ketika, Aji bertanya “ustadzah sudah ada suaminya?” ku jawab dengan menahan tawa, “belum”. Yang lain menimpali ”berarti ustadzah masih muda”. He3, sederhana sekali cara mereka menarik kesimpulan.
Si Mauas; entahlah, tak pernah terlihat senang jika kupanggil dengan nama aslinya entah itu Abu Bakar, Umar ataupun Usman. Dia lebih ridho jika dipanggil dengan singkatan namanya; mauas.
Mauas dengan jidat kanannya yang hitam karena penghapusMauas yang emang dari sononya udah berkulit gelap, eh oleh seorang guru –yang mungkin karena ribut- mukanya malah dilap pakai penghapus (di sekolah kami memakai white board) alhasil mukanya yang sudah gelap ditambahi lagi dengan goresan hitam, black and black deh. Maksud hati mau memfotonya, apa daya hp yang kualitas kameranya sudah tak bagus pake ditambah2i eror lagi, yah ga dapet gambarnya deh.
BTW, ngomong2, hari ini (311011) banyak anak yang mukanya di make up pakai penghapus, macam2lah rupa mereka lucu2, tapi menurutku mauas lah yang paling lucu.
Hmm, faiz juga cukup lucu udah rambutnya potongan TNI, wajahnya coreng moreng pula, siip deh.
Ihsan si ndut yang temperamenIhsan yang berkulit putih, kontras sekali ketika wajahnya ada coreng moreng hitamnya.
Faiz dengan rambut ala TNInyaOh iya, hari ini ada yang rambutnya baru lo, faiz rambutnya dipotong bak potongan seorang TNI, lain lagi dengan vickar rambutnya dipotong sih tapi cuma bagian bawahnya sementara atasnya tetap panjang jadi mirip batok kelapa.
Kamis lalu (201011) kelasku menang lomba membuat sarapan dengan bahan dasar roti tawar. Perlombaannya dibagi dua; kelas 1-3 membuat sarapan dari roti, kelas 4-6 membuat nasgor. Dan dari total peserta untuk kategori roti tawar sebanyak 7 kelas, kelasku berhasil mendapat juara 2, padahal mereka menghias roti dengan kreasinya sendiri –aku hanya membantu tetek bengeknya -. Roti yang ku pilih untuk dinilai adalah kreasi Shinta dan Deva, Deva membuat roti berbentuk wajah dengan sosis sebagai pelengkap utama. Sedang Shinta menghias roti dengan keju yang dibentuk menyerupai love. Dan hari ini (241011) hadiahnya dibagikan, isinya sosis dan wafer, senang sekali mereka mendapatkannya.
Imron yang gemar dan pandai mengaji, tak hanya senang membaca al quran dari mushafnya, diapun gemar melantunkan surat2 dari al quran, hmm kebiasaan yang sangat baik dan perlu dibudayakan daripada sibuk melantunkan lagu2 “ga nggenah”. Dan kudengar dia adalah salah satu siswa yang mendapat bantuan dari yayasan untuk sekolah gratis di sekolah tempatku mengajar ini, dia berasal dari keluarga kurang mampu (kebanyakan yang bersekolah disini memang dari kalangan menengah ke atas, orang sekelas imron tentu tak mampu membayar sppnya yang lumayan). Ketika ada hal2 yang perlu diberitahukan pada ortu yang kadangkala disampaikan melalui sms, ortunya seringkali tak mendapatkan info itu, bagaimana tidak hp saja beliau tak punya, sebuah benda yang saat ini sudah menjadi barang lumrah. Kala itu ketika dia tak membawa buku cetak karena memang dia tak punya, dan kusuruh membeli, diapun menjawab bahwa dia tak ada uang untuk membeli. Mungkin karena semua hal itu rasanya aku sayang sekali padanya –atau mungkin lebih tepatnya kasihan-. Diapun kerap mengatakan dia selalu bangun sejak dini hari. Dan sebelum ku tau semua itu, sejak kejadian dia dicurigai kesurupan aku mulai “tertarik” padanya.
Fajri yang mata n mulutnya seringkali membulat
Fajri, sosok yang mungil dan raut wajahnya yang innocent dan lucu karena seringkali mata dan mulutnya membulat membentuk huruf O, ditambah lagi caranya memakai tas ransel yang kepanjangan hingga lututnya, tidak tampak seperti anak yang “jago”, tapi ketika dia berkelahi dengan fidhal –aku cukup kaget juga melihat mereka berkelahi, brutal sekali- fidhal sampai menangis dan tampak babak belur dibuatnya, sementara dia tidak tampak terluka sedikitpun dan tampak sangat kuat dan sangar. (hmm, memang seseorang yang tampak ringkih, lemah dan tak meyakinkan belum tentu dia tak jago, begitupun sebaliknya orang yang tampak sangar dan berbadan besar belum tentu jago. Bukankah biasanya yang menjadi superhero, di kehidupan normalnya seringkali tampak lemah, culun, konyol de se be bukan? hingga wajar sosoknya tak pernah dilirik pasangan jenisnya, namun ketika berubah menjadi superhero akan banyak yang tertarik padanya)
Aril anak kelas 1 yang mengaji padaku, ketika mengaji kuperhatikan tangannya seringkali menarik2 kaos kakinya.
Althof, tak bergeming meski teman2nya dah pada kaburAlthof yang masih sangat TK itu ketika mengaji, -biasanya selain membaca mereka juga menulis apa yang mereka baca hari itu- ketika yang lain sibuk berebut agar bisa membaca lebih dulu, dia malah asyik menulis lebih dulu, dan tidak akan mau disuruh membaca sebelum selesai menulis. Dan pernah suatu ketika, sampai semua teman2nya pada kabur dia masih tetap menulis dan tak mau membaca dulu.
Putra si mbemSi putra yang waktu itu kukatakan pinggir bibirnya selalu tampak seperti “berengen”, ternyata memang itu gangguan, entah mungkin sejenis sariawan, dan beberapa kali kulihat pinggir bibirnya berwarna biru semacam tinta yang dipakai untuk stempel, ketika kutanya ternyata itu adalah obat untuk mengobati gangguan di bibirnya itu. Hmm, kalau menurut hipotesisku mungkin itu sejenis kutu air yang biasanya menyerang kaki yang selalu basah, mungkin karena pinggir bibirnya selalu basah kali ya? –kesimpulan yang konyol sekali-
Ada-ada saja tingkah mereka.
Putra, karena sudah naik ke qiroati 2 maka dia harus pindah kelas, namun awalnya dia tak mau pindah, karena malu mungkin. Meski dibujuk, dia tetap tak bergeming.
Lain lagi dengan Sabil, ketika dia sudah harus tashih (tes untuk naik ke qiroati yang lebih tinggi) dia malah menangis, hari berikutnya baru dia mau tashih dengan sukarela.
Akhirnya si Putra mau pindah dengan sukarela ketika ada temannya, si Sabil.
Si Iman yang rajin n pintar, lancar2 saja ketika disuruh tashih dan pindah kelas, tanpa acara merajuk atau menangis.
Hmm, tapi aku jadi tak bisa sering berinteraksi dengan mereka lagi, terutama Putra yang sering kucubiti pipi tembemnya.
-Teacher-
Dari perjalananku beberapa bulan terakhir mencoba menjadi pendidik, aku mulai paham mengapa guru2 –sejak tingkat SD sampai PT- selalu suka pada murid yang pintar. Bagaimana tidak kalau bahasa jawanya “ulang-ulangane ra ngentekno kapur”, terjemahan bebasnya “untuk mengajarinya tidak menghabiskan kapur” hingga tak perlu menghabiskan banyak waktu dan pikiran. Dengan menjelaskan sedikit saja dia akan mengerti, berbeda dengan mereka yang “agak lamban”, harus dijelaskan beberapa kali, dengan beberapa cara, itupun syukur2 kalau akhirnya benar2 bisa paham, kalau masih tetap tak bisa? Hmm, kalau aku harus banyak2 bersabar dan berusaha tetap bertampang “manis” karena yang kuajar adalah orang lain, jika adikku sendiri –seperti dulu ketika sering mengajarinya- mungkin sudah ku omel-omeli habis2an.
Hmm, susah juga jadi guru, tapi yang aku tak habis pikir mengapa ya gaji guru sangat rendah jika dibandingkan dengan profesi lain? mengenaskan sekali pikirku. Padahal objek yang dia garap bukan sekedar benda mati yang jika salah garap masih bisa diulang lagi, tapi manusia yang kalau salah garap bisa2 rusak dan merusak. Dan cerdas saja tak cukup sebagai modal untuk menjadi guru -bahkan menurutku untuk menjadi guru tak perlu sosok yang sangat cerdas, jenius, yang berIQ sangat tinggi- tapi harus bisa mencerdaskan (karena banyak orang cerdas yang tak mampu menularkan kecerdasannya, akibat ketidakmampuannya mentransfer pemahamannya dengan bahasa dan cara yang mudah dipahami orang2 yang tak secerdas dirinya) dan mampu menjadi teladan serta menanamkan nilai2 pada anak didiknya.
Terlebih anak2 sekarang sangat kritis, mereka tidak begitu saja mau menerima ketika kita mulai nyerocos mereka harus begini begitu, tak boleh begini begitu, mereka akan terus bertanya mengapa dan mengapa hingga mereka puas dengan argumen yang kita sodorkan. Mereka pun tak segan2 menyanggah pendapat kita jika dirasa tak sesuai dengan jalan pikiran mereka. -jaman saya dulu seingatku sepertinya murid2 tak seperti ini, jika guru mengatakan A maka murid2 akan taklid begitu saja tanpa berani menyanggah atau bertanya mengapa, mungkin pada jamanku anak2 masih sangat lugu dan bodoh kali ya?-. Mereka tak canggung2 menanggapi dan mengomentari apa2 yang disampaikan gurunya. Bahkan jika suatu ketika gurunya “khilaf” mengucapkan atau berbuat sesuatu yang kurang pas, mereka akan spontan menegur, langsung tanpa basa basi atau ewuh pakewuh (istilah jawa yang juga baru belakangan ini kudapat, yang artinya kurang lebih sungkan).
Hmm, jamannya memang sudah berbeda ya?
(Aku pribadi lebih senang mengajarnya mengalir saja tanpa terikat aturan baku; standar ini itu, program ini itu dan segala aturan administrasi yang tak praktis. Seenaknya sendiri ya? he3)
-School and home-
Ngomong2 tentang guru dan murid, sekalian aja sama tempatnya; sekolah. Dari apa yang kulihat dan kubaca, sekolah2 bernafas Islam juga termasuk pesantren, terkadang –aku tak ingin menggunakan kata “seringkali”- dijadikan semacam tempat karantina bagi anak2 bermasalah dan dijadikan tempat penitipan bagi anak2 yang kurang perhatian. Contoh saja, ketika ada anak yang sangat “nakal”, biasanya orang2 akan berkomentar “masukkan saja ke pesantren”. Begitupun halnya dengan anak2 yang kekurangan perhatian karena kedua ortunya terlalu sibuk, anaknya akan dimasukkan ke sekolah2 islam yang favorit. -Walau tak semua ortu seperti itu-
Dengan begitu mereka berharap anak2nya akan disulap “bim salabim” menjadi anak2 yang manis dan sholeh/ah. Dan seakan2 tanggung jawab ortu untuk mendidik sudah selesai dengan memasukkan mereka ke sekolah2 itu. Hmm, padahal sekolah saja tak cukup, sangat tak cukup bahkan. Seharusnya rumahlah tempat mereka mendapat pendidikan pertama kali, seharusnya ibulah pendidik pertama, yang tak hanya mengenalkan mereka bagaimana cara berjalan namun juga mengenalkan mereka pada agamanya. Rasanya, sudah saatnya kita kembali menjalankan peran kita masing2.
Apalagi jika atmosfer sekolah dan rumah sangat kontras, ketika di sekolah mereka melihat bagaimana guru2 mereka berjilbab rapi lalu dirumah melihat ibunya memakai baju dan celana mini, tentu si anak akan bingung, yang mana yang harus diikutinya. Di satu sisi ortu memilihkan sekolah yang islami, namun di sisi lain tak menciptakan atmosfer rumah dan teladan yang islami, sebuah anomali, bagai berjalan ke dua arah berlawanan secara bersamaan, bisa dipastikan akan jatuh terjengkang.
Sungguh benar bahwa kewajiban ortu pada anak pertama kali adalah memilihkan ibu yang baik. Dari ibu yang baiklah akan mungkin lahir generasi2 yang baik pula, begitupun sebaliknya. Walau tetap hidayah itu dari Allah, sementara kita –sebagai ortu- sekedar berusaha untuk menjadi sebab datangnya hidayah itu.
Allahu a’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)