Kamis, 01 Desember 2011

LEBAH LAGI

Afi yang suka meledekku dengan mengatakan “ustadzah jelek”, ketika Dewi mendengarnya dia mencoba membela dengan mengatakan “ustadzah cantik kok, nanti kalau begitu (membelaku) dapat cium, tapi ustadzah tidak suka sama kita, ustadzah sukanya cuma sama Teguh” ha3, ada2 saja, jadi Dewi rupanya yang menyebarkan isu bahwa aku suka Teguh.

Memang si Teguh itu suka banget nggelibet, nggandoli (narik2), meluk2, juga suka memijitku. Sampai ada yang berkomentar “Teguh ini macam sama mamanya saja”. Hmm, sepertinya aku paham mengapa dia bersikap begitu padaku, sepertinya dia memang merindukan belaian seorang ibu. Dia tinggal bersama neneknya, sementara ibunya tinggal agak jauh darinya.

Hira yang masih kekanak2an dan manja itu, susah sekali disuruh wudhu, dia beralasan “airnya bau” katanya, memang sih air di school kami, kurang bagus, airnya berkarat dan rasa serta baunya tidak tawar. Ketika kusuruh menulis, dan dia salah menulisnya, kusuruh menulis ulang dan kuancam tak boleh istirahat dia malah merengek2. Dia juga suka mengataiku “ustadzah nakal”.
He3, sekarang dia sudah mulai mau wudhu, tapi dengan air yang dibawanya sendiri dari rumah, yang disimpan dalam botol air mineral.

Ihsan kalau di film doraemon dia cocok memerankan tokoh giant, si gendut yang suka memukul temannya. Dari hasil pengamatanku, teman2nya memang takut padanya. Dan ketika dia mulai berulah lagi, kukatakan bahwa namanya berarti baik, jadi anak baik tak boleh memukul teman, kalau memukul teman itu tidak baik. Mau namaya diganti, paijo misal? Dia malah balik bertanya artinya apa. Selidik punya selidik, katanya dia ikut bergabung dalam sebuah geng, hmm mungkin dari situlah dia mendapat ilmu “pukul memukul”.

Aji, ketika masing2 disuruh mengumpul biodata, ternyata dia bercita2 menjadi ustadz, hmm bagus2. Menurut pengakuannya dia ikut gabung dalam suatu geng (katanya sih cuma kumpulan main bola, tak lebih) yang namanya lucu: bocila yang kepanjangannya tak lain adalah bocah cilacap, he3. Pantas saja dia suka sekali mengatakan “kepriben”, meski sepertinya dia sendiri tak begitu paham maknanya.

Mukhlis yang ketika disuruh menjadi imam, setelah sebelumnya tak pernah mau, kali ini bukan hanya tak mau tapi didramatisir dengan tangisnya yang tak kunjung reda dari awal sholat sampai akhir. Jadi sholat yang seharusnya ada berdiri, rukuk, sujud dan duduknya, hanya dihabiskannya dengan berdiri sambil menangis. Dan katanya ketika drama menangisnya itu si mauas mengelus pundaknya untuk menenangkannya, juga selepas sholat –kalau ini kulihat sendiri- si ian mengelus2 punggungnya untuk mendiamkannya, hmm anak2 begitu kepedulian mereka pada temannya yang sedang sedih.

Ian, sosok yang bongsor karena memang sudah 2 kali tak naik kelas, memang lamban membaca saja masih sangat susah. Kasihan sebenarnya, apalagi ketika ihsan mengejeknya karena tak bisa membaca, atau di moment lain ketika kekurangannya itu tampak, dia akan mulai menundukkan wajahnya dan menggigit bibir bawahnya. Sepertinya kepercayaandirinya sudah benar2 down. Seharusnya dia perlu penanganan khusus dari seorang ahli, psikolog mungkin atau sejenisnya.

Si Mauas, sudah dua kali ini jari kakinya mengalami cidera. Awalnya rabu lalu –kalau tidak salah- entah karena kebanyakan tingkah ketika dikelas, jari telunjuknya ketimpa kursi hingga berdarah2 dan kukunya hampir lepas, dan hebatnya ketika menangis hanya air matanya yang berlinang tanpa meraung2. Dan esoknya –atau esoknya lagi- kakinya yang masih sakit tadi, terinjak oleh temannya. Dan hari jumat lalu, kali ini jari kelingkingnya kembali ketimpa kursi, tak sampai berdarah2 memang tapi sedikit bengkak. Dia pun menangis dan akhirnya minta pulang duluan, dijemputlah dia oleh Abinya. Mauas mauas sepertinya minggu ini kakimu benar2 sedang diuji.

Vikar, dia sangat kocak, ditambah lagi wajahnya yang juga kocak. Dia sangat terinspirasi ingin
menjadi berotot seperti nasdem katanya, ada2 saja.

Aji dan abid ketika kuingatkan tak boleh menggambar makhluk bernyawa, sebelumnya sudah sering kuingatkan. Mereka balik bertanya, truz kenapa ini ada gambarnya (mereka menunjuk buku agama yang full gambar), kujawab saja “mungkin mereka tidak tahu”, mereka balik menimpali: “iyo, karena waktu itu ustadzah belum disini, karena ustadzah tidak kasih tau mereka”, ha3, ada2 saja.

Lutfi, sosok yang ringkih dan pendiam itu, yang suaranya sangat lirih serta pemilik sorot mata yang membuat iba siapa saja yang melihatnya. Ternyata ketika sedang ngambek dia akan diam saja dan mengacuhkan orang yang membuatnya ngambek (he3, benar2 sepertiku). Seperti ketika jalan santai, yang entah kenapa dia ngambek pada ibunya dan tak mau diberi minum oleh ibunya. Akhirnya setelah kubujuk2 dan kuberi minum, dia mau meski hanya sedikit. Dari sorot matanya, sepertinya dia menyimpan rasa takut, seperti merasa terancam, tapi entahlah ini hanya teoriku yang tidak berdasar.
-----------------------------------------------------
Walau terkadang aku kesal oleh tingkah mereka, bahkan sampai marah2 hingga keluar tanduknya macam di film2 kartun (he3, emang banteng). Namun sepertinya aku akan sangat merindukan mereka jika harus meninggalkan mereka lebih cepat dari yang kukira. Merindukan wajah2 polos mereka, tawa mereka, tangis mereka, juga kekonyolan dan kenakalan mereka. Rasanya kebersamaan ini singkat sekali.

Dan sebenarnya (aku kurang suka memakai kata jujur, jujur kok bilang2, berarti selama ini ga jujur donk), ketika aku mengajar mereka, aku tidak merasa sedang bekerja, melainkan hanya sedang bermain2 dan mengisi waktu luang, lalu tiba2 di awal bulan aku pun mendapat upah.

Dan rasa2nya selama ini aku belum bisa menjadi sosok pendidik yang baik, belum bisa memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang, belum bisa menjadi sosok “ibu” bagi mereka. Dengan bersama mereka, setidaknya bisa sedikit (hanya sedikit, he3) mengasah jiwa keibuanku.

Rasanya ingin kupeluk dan kuciumi mereka satu persatu. Hhm, mengapa perpisahan itu selalu menyisakan rasa nyeri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar