Kamis, 01 Desember 2011

MY CORRECTION LIST: PART I dan II (PROLOG)

PART I

Hmm daftar koreksi2ku yang berakhir tragis, namun setidaknya daripada berakhir begitu saja di t4 sampah, kurasa tak ada salahnya jika kugoreskan saja di ms word ini –he3, mekso-, agar tak berakhir terlalu tragis dan bisa sedikit diambil manfaatnya.

Adalah sebuah omong kosong jika berkoar2 berdakwah namun di sisi lain sebagian cara yang digunakan haram, hendak meneladadni Robin hood kah? Mencuri untuk kemudian diberikan pada orang2 miskin, menyuapi mulut mereka dengan makanan haram hasil curian? Begitukah?

Ketika ada yang mengingatkan akan kesalahan itu pun tak diterima. Kemudian berdalil dengan pendapat si ini si itu, yang kalau mau jujur pendapat itu tak sesuai dengan al qur’an dan sunnah. Apakah kita lupa bahwa semua perkataan bisa diterima (bila sesuai dengan al qur’an dan sunnah) dan bisa ditolak (bila tidak sesuai dengan al qur’an dan sunnah), kecuali perkatan Rasul yang ma’shum?

Bahkan imam syafii –seorang ulama kenamaan- sendiri pernah mengatakan untuk mengambil pendapatnya jika sesuai dengan al qur’an dan sunnah dan membuangnya jika tidak. Lalu masih pantaskah kita taklid –fanatisme membabi buta- pada seseorang yang “ditokohkan”, dan menelan mentah2 semua perkataannya?? Terlebih jika mengaku sebagai orang yang “cerdas”, paham agama atau bahkan pengemban dakwah/da’i ?

Kalau mau berdalil dengan sekedar pendapat, pendapat itu pun sangat banyak, dari yang mendekati kebenaran sampai yang paling nyeleneh. Dan kalau kita mengumpulkan pendapat2 yang ganjil dari para ulama –yang benar2 ulama tentu-, maka terkumpullah semua keburukan pada diri kita, begitukah yang kita mau? Ataukah kita ingin menjadi “golongan moderat” yang tidak terlalu rusak seperti manusia kebanyakan dan tidak terlalu taat pada syariat? Setengah2 dunk, tapi memang “golongan” itulah yang banyak digemari orang2, mungkin karena lebih fleksibel dan terkesan lebih toleran.
Hmm, moderat di satu sisi namun fanatik di sisi lain, sebuah inkonsistensi alias ga konsisten.
(sebenarnya pengertian moderat yang benar adalah yang beragama sesuai qur’an dan sunnah, tidak ekstrim keras dan ekstrim meremehkan, tapi memang kata moderat sering diselewengkan artinya )

Tak cukup dengan menolak kebenaran, masih ditambah dengan menghujat sebuah manhaj (perlu diingat; MANHAJ bukan harakah) yang biasa saja sebenarnya, hanya manhaj berislam dengan al qur’an dan sunnah sesuai pemahaman salafus sholeh, tak ada yang aneh. Dan memang begitulah seharusnya kita berIslam, bukannya bermanhaj dengan taklid pada tokoh, organisasi/kelompok/pergerakan/harakah, dan kemudian membuat lingkaran2 kecil dalam lingkaran besar Islam, masih dibumbui dengan fanatik dan loyalitas membabi buta (saya masih belum mengerti mengapa ada frase “membabi buta”, sudah babi, buta lagi, parah banget ya?) diatasnya. Padahal seharusnya, loyalitas itu diatas Islam, bukan diatas organisasi de es be.

Dan kemudian menggunakan kata “khilaf” sebagai senjata atau hujjah, hingga kita harus berlapang dada, tak boleh tuding-menuding, tak boleh menyalahkan, tak boleh merasa benar sendiri de es be. Kalimat ini benar sebenarnya jika ditempatkan pada tempatnya, pada masalah fiqih yang memang ulama2 ahlu sunnah berikhtilaf didalamnya. Namun jika masalahnya tidak menjadi khilaf dikalangan ulama ahlu sunnah, apalagi memang ada dalil yang gamblang tentang hal itu, apa kalimat diatas masih relevan?

Dan menuding mereka2 yang mencoba istiqomah diatasnya dengan dengan predikat; kaku, suka memvonis, tak berakhlak, de es be. “Tak kenal maka tak sayang” mungkin penggalan kalimat ini bisa mewakilinya. Sepertinya perlu membaca ini: http://konsultasisyariah.com/apa-makna-salaf-salafi-atau-salafiyun.
----------------------------
Dari sini aku mengambil pelajaran, untuk mendakwahi seseorang –terutama jika dia adalah orang yang pintar, atau hanya sekedar merasa pintar- kita harus pandai2 berargumen dan bersilat lidah. Jika tidak, bisa2 kita yang akan balik “didakwahi”, dan kita hanya bisa terbengong2 dibuatnya, jadi berasa bego banget. Hingga lidah tak mampu lagi meneruskan membaca draft kesalahan2 yang harus dikoreksi. Ibarat menjual produk, agar laku tak cukup hanya dengan membuat produk yang bagus, tapi juga perlu dikemas semenarik mungkin, dan tak lupa promosi yang gencar dan persuasif tentunya.

hmm, pantaslah jika kemudian Nabi Musa alaihissalam memohon pada Allah agar menjadikan Nabi Harun alaihissalam –yang lebih cakap berbicara darinya- agar dijadikan “juru bicara”nya.

Berbicara pun butuh kecerdasan ternyata, tadinya kupikir orang2 yang pintar bicara itu seringkali hanya membual. Bersyukurlah mereka yang diberi kefasihan lisan.

Astaghfirullah, ampuni hamba Ya Allah jika marahnya hamba hanya karena nafsu, dan jika karenanya terucap apa yang seharusnya tak terucap.

(SAMPAI DI BAGIAN INI KUTULIS DENGAN MELEDAK2, WALAUPUN SUDAH AGAK DINGIN SEBENARNYA KARENA MOMENTNYA SUDAH LEWAT CUKUP LAMA)
-------------------------------------------------------------------------

PART II

Melanjutkan kalimat “tak kenal maka tak sayang” diatas

Seperti cerita seorang guru yang melarang muridnya membaca kitab karangan seorang ulama, -entah, mungkin karena dia mendapat info yang salah tentang ulama itu-. Namun ketika dia diberi kitab itu, dengan cover depannya dirobek lebih dulu, sehingga nama pengarangnya terbuang. Ia mengatakan bahwa itu adalah kitab yang bagus.

Hmm, nampaknya kita memang perlu “membaca” –apapun itu: paham maupun seseorang- dengan cara seperti itu, tanpa melihat covernya lebih dulu, dan dimulai dari 0, tanpa mendengarkan stigma2 negatif dan sebaliknya citra2 baik. Barulah kemudian kita bisa menilai dengan objektif. Dan penilaian itu akan lebih objektif lagi jika sebagai “pengamat” pernah benar2 terjun pada objek itu, atau bahkan menjadi bagian dari objek itu, jadi benar2 bisa merasakan secara langsung, bukan hanya “katanya” dan “katanya”.

Karena penilaian yang tidak diawali dari nol, yang belum apa2 sudah ada dilabeli dengan stigma2 seringkali hasilnya tak objektif.

Seorang kawan, pernah tertarik untuk “menyelidiki” sesuatu yang diberi image buruk oleh orang2, hal itu membuatnya penasaran untuk tahu apakah benar yang dituduhkan itu. Daripada hanya percaya dengan “katanya” lebih baik dia terjun langsung ke objek itu pikirnya, dan akhirnya dia dapati bahwa semua tuduhan itu tak benar.

Seperti peristiwa bom WTC yang heboh kala itu, media menggembar-gemborkan bahwa islam itu teroris, dan ternyata image buruk itu menjadi “promosi” tersendiri. Orang2 pun berbondong2 mempelajari Islam untuk menyelidiki apa benar tuduhan itu. Ketika mereka dapati semua kabar itu dusta dan ternyata islam itu indah, akhirnya berbondong2lah mereka masuk Islam. Alhamdulillah, jadi teringat surat an nashr.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An Nashr: 1-3)

Jadi, terkadang image yang buruk tentang sesuatu membuat orang antipati dan enggan untuk bersinggungan dengan hal itu. Namun ada kalanya, image yang buruk justru membuat orang penasaran untuk mengetahui kebenaran isu itu.

Untuk orang jenis pertama, jika mulanya dia meyakini sesuatu yang sebenarnya “salah”, maka dia tidak akan pernah keluar dari keyakinannya karena tak pernah mau membuka cakrawala. Namun sebaliknya, jika apa yang diyakininya itu “benar”, maka dia akan terus berada dijalurnya.

Untuk orang jenis kedua, sikap ini cukup berbahaya jika diterapkan pada semua objek yang dilabeli dengan image buruk. Jika memang objek itu diberi label buruk oleh orang2 yang kompeten di bidangnya, maka percayalah dan tak usah penasaran untuk menyelidiki. Karena dari rasa penasaran ini juga banyak orang yang akhirnya tersesat, karena setelah terjun pada objek, otaknya ikut tercuci.

Contohnya saja sebuah paham yang sudah dinyatakan sesat oleh MUI bahkan para ulama dunia; paham liberal. Maka tak perlulah kita bersusah payah terjun langsung menyelidiki ke objek tersebut, semisal membaca buku2 mereka, apalagi jika kita adalah orang2 yang kapasitas ilmunya pas2an, bukan ulama. Karena hati kita lemah, sementara subhat yang datang menyambar bagaikan petir. Jangan jadikan hati kita seperti tong sampah yang menampung semua benda kotor, tapi selektilah untuk memasukkan hanya yang baik2, begitupun halnya dengan bacaan (ini bukan kata saya lo, kata ustadz). Karena dari rasa penasaran ini, bukan tak mungkin seseorang akan terseret oleh arus dan akhirnya tenggelam dalam kesesatan.

Saya pribadi, pernah mencoba membaca bukunya “orang liberal” dan subhanallah baru beberapa lembar saya sudah bergidik dibuatnya, bagaimana tidak argumen yang mereka utarakan seakan2 sangat bisa diterima oleh akal, seakan2 tampak benar. Langsung saja kuhempaskan buku itu dan kukembalikan pada yang punya.

hmm, hati2 memilih bacaan maupun audio etc, terutama tentang din ini, ambillah dari mereka yang memang kompeten di bidangnya dan dari sumber2 yang benar terpercaya. Untuk buku2 carilah penerbit yang betul2 komitmen, penulis yang berkapasitas. Untuk web2 di internetpun demikian, jangan asal comot aja, asal judulnya islami. Begitupun audio, dengarkan ceramah dari sumber2 yang terpercaya.

Bukannya apatis, tapi berhati2. Karena mereka2 yang menyebarkan bidah, ada kalanya diantara perkataannya ada yang benar namun perlahan2 disisipkan bidahnya (sangat parah jika bidahnya dalam hal aqidah). Terlebih sebagai orang awam, yang baru belajar, tentu kita takkan mampu membedakan mana dari perkataannya yang benar dan yang salah. So, cari yang pasti2 aja.

Ibarat madu, tentu kita hanya mau mengkonsumsi madu murni, bukan madu yang aspal (asli tapi palsu) yang sudah tercampur dan terkontaminasi oleh zat lain. Maka, demikian halnya dalam masalah agama, ambillah hanya yang benar2 murni, bukan yang aspal atau bahkan palsu.

(SEDANGKAN BAGIAN KEDUA INI, KUTULIS KETIKA BENAR2 SUDAH DINGIN, JADI MAKLUM SAJA KALAU RASANYA BEDA)

NB: pren, ingatkan aku jika tulisanku mulai liar, ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar