Kamis, 01 Desember 2011

Pekerjaan dengan tingkat stres tertinggi?

Jika diadakan survei mengenai jenis profesi dengan tingkat stres tinggi mungkin orang2 akan mengajukan jawaban profesi2 yang membutuhkan kecerdasan dan ketelitian tingkat tingkat tinggi plus yang menyita banyak waktu yang biasanya juga bergaji tinggi, seperti; eksekutif, akuntan, broker, de el el lah.

Namun kalau aku yang ditanya, akan kujawab: guru. Mengapa? Jawabannya panjang.
Kalau profesi lain mungkin hanya berhadapan dengan pekerjaan yang njelimet, yang kalau pekerjaannya buruk paling2 membuat rugi perusahaan beberapa rupiah. Namun bagi guru, jika dia gagal mendidik, maka beban moral yang ditanggung cukup berat. Mulai dari beban moral karena siswanya tak pandai2 meski sudah berbusa2 mengajarnya sampai beban moral karena akhlak siswanya yang masih belum islami2 juga, meski selalu dijejali dengan nilai2 islam.

Bagi seorang guru, jika siswa2nya tak kunjung paham apa yang diajarkannya, cukup untuk membuatnya merasa bersalah dan gagal. Dan mungkin semua guru, selalu ingin agar semua siswanya bisa memahami semua materi yang diajarkannya, walau memang kemampuan masing2 siswa berbeda2. Jadi sangat manusiawi jika guru lebih senang pada siswanya yang pandai.

Walaupun demikian guru juga manusia, kemampuannya pun terbatas, jadi ada kalanya ada hal yang tidak terlalu dipahaminya atau dipahaminya namun tak mampu ditransfernya dengan baik.

Jadi merasa bersalah sekali jika ingat dulu pernah meremehkan guru, karena kurang cerdas atau tak mampu membahasakan dengan baik. Bagaimanapun mereka adalah orang2 yang sudah mendidik kita, mengajari kita apa2 yang tadinya tidak kita tahu. Maka apakah pantas setelah menjadi pandai kita meremehkan mereka?

Merasa kasihan pada seorang rekan yang sempat dicomplain siswa2nya karena cara mengajarnya yang njelimet dan ga asyik. Hmm, beruntung yang kuajar masih kelas 2, kalau kelas atas mungkin mereka bakalan banyak complain tentangku.

Jadi, bagi kamu2 yang masih duduk di bangku sekolah or kampus, jangan melawan sama guru ya, ga pantes! Kalaupun ada yang tak benar, sampaikan dengan cara yang baik.

Balik lagi ke beban moral, terkadang aku heran pada siswa2 yang sangat lamban. Entah merekanya yang kurang cerdas ataukah gurunya yang tak komunikatif.

Memang ada jenis2 pelajaran yang bisa diterima jika gurunya menyenangkan dan tidak jika gurunya killer. Sepertiku dulu ketika SMA, ketika kelas 1 aku merasa lumayan bisa dalam pelajaran bahasa inggris karena gurunya menyenangkan, namun ketika kelas 3 berjumpa dengan guru killer -yang matanya suka melotot, kalau dia menjelaskan kita harus diam mematung bahkan sekedar menggerakkan tanganpun tak boleh, dan akan marah besar jika argumennya dibantah- rasanya aku tiba2 menjadi benar2 bodoh dalam pelajaran ini, susah sekali menjejalkannya di otakku.

Namun ada juga pelajaran yang tetap saja sulit, meski gurunya menyenangkan. Contoh aja pelajaran matematika –yang memang menjadi momok bagi kebanyakan siswa-, ketika aku kelas 3, sang guru sudah menampilkan performance yang sangat bagus, namun tetap saja banyak yang tetap susah mencerna pelajarannya. Di jaman aku SMA dulu, ketika kebanyakan guru masih mengajar dengan cara konvensional, beliau sudah menggunakan cara2 yang keren.
Untuk soal2 latihan atau ulangan seringkali soalnya diketikkan di kertas2 berukuran mini (dari ukuran kertasnya yang mini, paling tidak seharusnya otak kita sudah tersugesti bahwa soalnya sedikit dan kecil) , tidak seperti guru lain yang selalu ditulis di papan. Untuk memperjelas penjelasannya pun terkadang menggunakan LCD (barang langka ketika itu) yang disiapkannya sendiri beserta laptopnya. Seperti ketika membahas tentang bangun ruang (yang memang agak susah dipahami jika hanya dengan membaca buku, karena bentuk bangunnya hanya bisa dibayangkan), beliau menampilkannya bangun2 ruang itu dalam bentuk slide yang gambarnya bergerak, sehingga bisa dilihat dari berbagai sisi. Itu pun masih ditambah dengan membawa alat peraga berupa bangun2 ruang yang dibuatnya dari karton, yang dibuat sedemikian rapi dan dengan warna-warni yang menarik.
Ditambah lagi dengan sikapnya yang humoris, dan suka membagi2 oleh2 makanan jika beliau pulang dari melancong, juga suka memberi coklat terutama kepada mereka2 yang berbadan ceking sepertiku, supaya gemuk katanya. Yah, mungkin ketidakmampuan kami mencerna dengan baik pelajarannya semata2 karena IQ kami yang standar.

Saya juga mulai mengerti mengapa guru fisikaku dulu terkadang perlu membawa sapu untuk memukul mereka2 yang tak bisa2 juga mengerjakan soal di papan meski sudah dijelaskan berkali2. Mungkin itu cara yang terkadang efektif, karena ketika kita merasa terancam atau minimal terdesak, biasanya otak yang tadinya beku mendadak jadi encer bukan?
------------------------------------

Dan yang tak kalah berat, adalah beban moral karena akhlak siswa yang tak kunjung islami. Entahlah sepertinya medialah pihak yang perlu dituding pertama kali, selanjutnya lingkungan. Bagaimana tidak, dari kotak ajaib bernama TV, mereka akan menyaksikan bagaimana cara artis2 berpakaian (dari yang paling seksi sampai yang mengenakan penutup kepala yang juga seksi), musik2 dan lagu2 yang sedang in, mulai versi dangdut sampai versi boyband girlband. Jadi jangan heran jika ada remaja yang baru menginjak masa puber atau bahkan yang masih anak2, gemar memakai pakaian ketat atau berjilbab seksi dengan model yang lagi in sekarang. Atau dari bibir2 mungil mereka terlantun berbagai macam lagu yang sepertinya tersave rapi di memori mereka, bahkan tak lupa dengan koreonya. Atau yang menggandrungi dance2. Atau yang suka gabung sama anak2 geng, yang kata seorang anak pimpinannya berotot.

Dan anak jaman sekarang cepat sekali puber, kasihan sebenarnya di usia sehijau itu mereka sudah harus menanggung perbuatannya sendiri, sudah harus memikul beban dosanya sendiri. Apalagi ditambah dengan media dan lingkungan yang tak mendukung, terkadang masih ditambah ortu yang tak peduli, hingga tak sedikit remaja yang bingung mencari jati dirinya.

Kurasa remaja jaman sekarang jauh sekali bedanya dengan jamanku dulu, sepertinya remaja sekarang lebih centil (entah bagaimana membahasakannya). Bahkan kata seorang teman, aku baru puber ketika kuliah, ha3 aja2 ada, eh ada2 aja ding
-------------------------------------
Beban moral berikutnya yang tak kalah berat adalah “keluhan pelanggan” (kayak penggalan kalimat di produk2 makanan aja). Yupz, tak cukup di tempat kerja, di rumahpun terkadang –kalau tak boleh dikatakan sering- para orang tua masih merecoki pikiran para “pahlawan tanpa tanda jasa” dengan bertanya mengenai perkembangan anak2nya di sekolah de el el. Atau bahkan complain atas ketidakbecusan si guru mendidik anak2nya, yang disampaikan langsung kepada pimpinan. Hingga sebagai bawahan, si guru harus siap jika kemudian “diceramahi” akibat ketidakbecusan itu.
-------------------------------------------------------------
Juga tak lupa masalah “birokrasi” (sepertinya kata ini kurang tepat) sekolah yang menuntut para guru agar tidak lagi menggunakan cara2 konvensional dalam mengajar, tapi harus produktif, kreatif, dan tif2 lainnya. Harus tertib administrasi ini dan itu, juga harus sesuai standar baku (yang entah sudah dirubah berapa kali, seiring bergantinya menteri pendidikan) yang sudah dibuat oleh orang2 pintar di kemendiknas (atau dinas lain ya?) sana, namun tak kunjung membuat para siswa menjadi pintar.

Juga masalah background sekolah, yang mungkin tak sama dengan background si guru. Dan sadar atau tidak perlahan2 si guru digiring untuk menjadi sewarna dengan mereka, memiliki “paradigma” yang sama dengan mereka, dengan diwajibkan mengikuti kegiatan ini dan itu. Juga hal2 lain yang mengiringi proses belajar yang kalau mau jujur kurang benar . Dan hal ini sungguh sangat berat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar