Segala puji bagi Allah yang masih memberi kita hidayah untuk tetap teguh memeluk din ini dengan erat. Semoga kita kelak “dimatikan” masih tetap teguh dengan din ini. Tantangan generasi sahabat dalam beragama dulu mungkin adalah kekerasan fisik, namun jaman kita sekarang bukan lagi kekerasan fisik yang menjadi tantangan dalam beragama, tetapi gencarnya perang pemikiran. Kita tetap dibiarkan berIslam, tapi perlahan namun pasti pemikiran kita mulai dirusak. Dan parahnya pemikiran yang dirusak berhubungan dengan akidah kita. Dan diantara virus-virus yang mencoba menyerang umat ini antara lain:
Yupz, langsung saja. Beberapa bulan terakhir, setelah wafatnya seorang tokoh besar di negeri ini, kata PLURALISME langsung naik daun, walaupun sebelumnya memang sudah digembar-gemborkan. Dari para kiai, akademisi sampai tukang becak semua latah mengucapkan kata ini. Bahkan presiden pun, ketika pidatonya dalam pemakaman tokoh ini, menyebut beliau sebagai “bapak pluralisme”. Ada apa ini? Jangan-jangan Pak Presiden tidak paham apa yang diucapkannya?
Tidak masalah sebenarnya jika umat muslim disuruh hidup bertoleransi (dalam hal selain agama) dengan umat agama lain, dan memang begitu seharusnya. Namun kata ini (baca: pluralisme) mengandung makna yang lebih dari itu, melainkan mengatakan bahwa semua agama adalah sama, sama-sama menuju Tuhan, hanya jalannya yang berbeda. Intinya, sebagai pemeluk suatu agama, kita tidak boleh mengklaim agama kita yang benar, dan agama lain salah. Dalam buku Agama Masa Depan, karya Prof. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta) dan M Wahyuni Nafis ditulis: ”kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkusnya yang berbeda-beda.” Salah seorang pemikir liberal menganalogikan dengan “Satu Tuhan beribu jalan”. Yupz, mereka memang selalu mencomot ayat-ayat yang dirasa bisa membenarkan pemikiran “aneh” mereka, salah satunya ayat ini “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al Baqarah: 62). Padahal jelas, tidaklah beriman kepada Allah mereka yang tidak mau mengikuti syariat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Dan adalah kesyirikan besar mereka yang mengatakan Isa dan Uzair adalah putra Allah. Tidakkah mereka ingat pada ayat ini? “Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan” (Al Ikhlas: 3)
Sekilas pemikiran mereka terlihat sangat humanis, terlihat sangat menjunjung tinggi persamaan de el el, tapi sebenarnya menyesatkan. Seperti sudah diingatkan dalam Qur’an perkataan mereka adalah “zukhrufal qauli ghurura” perkataan indah yang menipu, ya terdengar indah memang, tapi menipu.
Padahal kita sebagai umat muslim meyakini bahwa agama yang haq hanyalah Islam. Bukankah sudah terukir di pelataran wahyu bahwa Islamlah yang diridhaiNya? “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al maidah: 3). Jika kita tidak lagi meyakini kebenaran agama kita ini, lalu bagaiman kita bisa menjalankan syariat-syariatnya? Lalu apa bedanya muslim dan kafir?
Virus pemikiran lainnya yang mulai menyebar adalah paham RELATIVISME, Dimana paham ini menyatakan bahwa kebenaran adalah relatif, kebenaran hanya berlaku temporal, personal, parsial atau terkait budaya tertentu. Dalam sebuah seminar, Adian Husaini, ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, mengajukan pertanyaan kepada guru-guru Sekolah Islam, dan hasilnya 80% lebih dari mereka setuju dengan paham relativisme. Bukankah setiap sholat kita selalu meminta ditunjukkan jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang diberi nikmat, bukan jalan yang dimurkai dan yang sesat?. Jika kita selalu berdoa seperti itu, bukankah sangat aneh jika kita mengatakan “yang tahu kebenaran hanya Allah”? Lalu untuk apa kita dikaruniai akal untuk membedakan yang benar dan salah? Lalu untuk apa diturunkan Al Qur’an yang salah satu fungsinya adalah “al faruq”, pembeda antara yang haq dan yang batil? Jika muslim sendiri tidak bisa membedakan yang benar dan yang batil, lalu bagaimana mereka bisa mengajak saudaranya kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar?
Selain itu belakangan mulai muncul gerakan DESAKRALISASI ALQURAN, secara harfiah desakralisasi adalah penidaksucian. Seorang dosen IAIN Surabaya pada 5 Mei 2006, menerangkan posisi alquran sebagai hasil budaya manusia. Dia katakan, ”Sebagai budaya, posisi alquran tidak berbeda dengan rumput. Sebagai budaya, alquran tidak sakral. Yang sakral adalah kalamullah secara substantif”. Setelah dicermati apa penyebab kaum liberal begitu giat mengkampanyekan tema “desakralisasi alquran”, ternyata tujuan mereka adalah ingin melegitimasi masuknya berbagai metode penafsiran alquran diluar ilmu tafsir alquran, seperti hermeneutika. Ilmu hermeneutika ini sudah menyebar di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Ilmu ini digunakan untuk mentafsirkan alquran, dalam melakukan penafsiran mereka meletakkan posisi alquran sebagai teks biasa, teks sastra, teks budaya, atau teks sejarah, yang sama dengan teks-teks lain.
Dan parahnya, orang-orang “aneh” ini adalah orang-orang pintar, orang-orang yang belajar agama, tidak jarang dari mereka adalah kiai. Dengan gelar mereka itulah, akan sangat mudah untuk menularkan virus pemikiran mereka pada masyarakat. Bahkan mereka sudah punya kampus sendiri “Paramadina”, yang tentunya bakal mencetak benih-benih “aneh” baru kedepannya. Selain itu juga ada iCRS, kampus yang didirikan dengan kerjasama 3 universitas: UGM, UIN Jogjakarta, dan satu universitas Kristen, yang nantinya akan mempelajari lintas agama. Lihatlah bagaimana mereka mencampuradukkan antara yang haq dan yang batil.
Aksi mereka juga tidak sekedar dalam tataran wacana berupa menulis artikel atau buku yang menyesatkan, atau melakukan talkshow dan seminar. Tapi sudah mulai terjun langsung ke lapangan. Sekarang sudah ada institusi yang “kerjanya” menikahkan perempuan muslimah dengan laki-laki kafir. Institusi ini melibatkan pendeta dan kiai Padahal hal ini jelas-jelas dilarang, dan pelakunya sama saja melakukan zina seumur hidupnya. Prosesnya pun lucu, pertama pasangan dinikahkan dengan cara agama laki-laki (di gereja contohnya), kemudian setelah itu dilakukan dengan cara Islam dengan ijab Qabul.
Pemikiran-pemikiran menyesatkan semacam ini, mulai masuk ke perguruan tinggi Islam yang notabene adalah tempat belajar agama, tempat penghasil para guru agama, para da’i. sebut saja diantaranya IAIN semarang, IAIN Surabaya, dan lain-lain. Dan kita tidak usah jauh-jauh, di kampus putih ini saja tampaknya sudah banyak yang terserang virus ini. Sebut saja salah seorang dosen tarbiyah UMM, Prof. DR Syamsul Arifin, menulis artikel tentang keberpihakannya pada pluralisme .Saya sendiri cukup kaget ketika membaca Koran kampus ini, 21 januari 2010 lalu dilakukan bedah buku dari seorang pemikir liberal dengan judul “membela kebebasan beragama” bahkan juga mendatangkan pemuka agama Kristen. Bahkan tokoh ini prihatin atas pengharaman MUI terhadap sekulerisme, liberalisme dan pluralisme. Dan kalau kita mau menengok di perpustakaan kita, kita bakalan menjumpai buku tulisan orang “liberal”, yang sangat mungkin menyebarkan virus ini kepada pembacanya.
Jadi, saudara-saudariku yang kucintai karena Allah. Sekarang tantangan kita adalah perang pemikiran. Mari lindungi keluarga kita dari pemikiran-pemikiran merusak semacam ini. Paling tidak lindungilah diri kita sendiri. Dan yang terpenting, agar kita tidak mudah terserang virus-virus pemikiran, mari kita mempelajari agama ini, karena tanpa ilmu kita akan mudah diombang-ambingkan. Mari kita tumbuhkan dalam diri kita masing-masing untuk bangga mengakui diri kita sebagai seorang muslim. Mari katakan dengan bangga ”.......dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim”(al maidah: 52)
Maret 2010
judulx rada’ maksa :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar