080611
Diakui atau tidak, anak hasil didikan sekolah umum dan sekolah islam memang berbeda, akhlaknya terlihat sekali berbeda –ini hanya dari pengamatan yang saya lakukan-.
Di sekolah Negeri gurunya tidak harus muslim, mau kafir, pelaku kesyirikan maupun bidah pun sah-sah saja, karena memang tidak ada seleksi akidah disana.
Saya teringat ketika SMA, guru saya (kafir) menyayangkan mengapa dua pasang sejoli yang akan menikah membatalkan hanya gara2 beda keyakinan, padahal semua agama kan sama saja katanya. Itu kan kata dia, kalau kata Allah hanya islam yang benar.
Belum lagi pergaulan dengan teman2 sekolah, anak2 dari berbagai latar belakang ada disana: anak orang kafir, anak dukun, anak koruptor de el el.
Kalau misalnya si anak duduk sebangku dengan anak dukun, terus pulang2 minta Keris gimana? (sekedar contoh, ini juga nyontek, he3)
Siapa yang bisa menjamin anak2 tidak akan terpengaruh dengan teman2 sekolahnya
Lagi2 saya teringat masa SMA saya, teman laki2 sekelas saya, ketika saya meminjam hpnya, ternyata banyak gambar2 perempuan tak berbusana. Belum lagi di jaman serba mudah sekarang dengan mudah video2 asusila bisa didapat –bluetooth via hp misalnya-.
Belum lagi isu2 yang berkembang diantara mereka, pembicaraan atau obrolan2 mereka. Saya pernah mendengar anak SD menyanyikan yel2 yang isinya kurang sopan,
Juga pergaulan antar jenisnya, anak SD bahkan sudah mengenal pacar-pacaran,bahkan istilah ciuman. Saya sangat ngeri mengetahui anak SD sudah tau hal2 yang berbau se*s.
Belum lagi kata2 kotor yang mungkin berkembang diantara mereka. Teringat ketika SMA dulu, teman2 dengan ringannya mengucapkan makian atau menyapa temannya dengan panggilan sayang nama2 binatang “b*bi“ misalnya, bahkan bukan dalam keadaan marah.
Di sekolah islam, paling tidak semua gurunya muslim. Dan dengan adanya kesamaan akidah paling tidak atmosfernya lebih kondusif. Disana juga akan lebih ada penekanan masalah agama dan akhlak. Apalagi jika sekolah itu benar2 komitmen untuk benar2 menjadi sekolah islam, mereka tidak akan sembarang menerima guru, pasti ada kriteria2 tertentu yang harus terpenuhi. Begitupun halnya dengan kurikulum, akan ada tambahan pelajaran2 agama yang tidak ada di sekolah umum. Kalau saran saya sih, cari sekolah islam yang benar2 kondusif, bukan hanya sekedar namanya yang terdengar islami. Pelajari dulu profil sekolah sebelum memutuskan dimana anak kita akan kita titipkan.
Dan yang lebih parah, jangan sampai anak2 kita kita sekolahkan di sekolah kafir. Ketika disana –seperti yang saya dengar dari tetangga- mau tidak mau mereka akan diberi pelajaran agama mereka, bahkan ketika ada acara keagamaan (baca: ibadah) mereka juga diwajibkan ikut.
Miris sekali melihat fenomena ini, siapakah yang berhak disalahkan orang tuanya kah ataukah sekolah2 itu?
Selain memilih sekolah yang bernafaskan Islam, Masukkan juga anak2 kita ke TPQ, itupun tidak asal TPQ, carilah yang pengajarnya benar manhajnya, sehingga tidak mengajarkan bid’ah atau segala bentuk penyimpangan dalam beragama. Itu pun perlu kita beri teladan, tidak hanya menyuruhnya mengaji sementara orang tua hanya sibuk nonton sinetron.
Jangan sibuk mengurusi dunianya saja, tapi yang terpenting perhatikan akhiratnya. Dan tak perlulah anak2 kita diberikan les2 tambahan yang tak berguna bahkan haram semacam les piano, les menari de es be.
Kalau bisa alangkah lebih baiknya lagi jika anak2 dididik di pondok pesantren sejak kecil. Dan tak perlulah percaya dengan teori psikologi yang mengatakan anak yang sejak kecil dipisahkan dari orang tua akan merasa dibuang, terlebih yang mengemukakan teori itu juga orang kafir. Seperti Imam syafii, yang mungkin tidak akan jadi ulama besar seperti itu jika ibunya tidak menngirimkannya untuk dididik dari kecil.
Tapi perlu diingat tidak semua pesantren bisa dijadikan pilihan. orang tua harus cermat memilih pesantren yang benar2 “bersih” dan benar manhajnya.
Karena tidak jarang pesantren saat ini yang sudah dipenetrasi pemikiran liberal, seperti halnya kampu2 berlabel islam, tempat2 yang semestinya mencetak para da‘i. Mereka diberi kucuran dana oleh instansi yang mendukung penyebaran virus liberal (asia foundation kalau ga salah) bukan tanpa maksud –tak ada makan siang gratis istilahnya-. Para santri bahkan ustadznya diberi beasiswa keluar negeri –entah nama negaranya apa saya lupa, yang jelas bukan negaranya para ulama- untuk belajar islam dari dari sumber yg salah (tentang pesantren jenis ini saya baca disebuah potongan majalah yang ditempel di mading masjid). Untuk tahu nafas pesantren ini bisa dilihat buku2 di perpustakaannya.
Ada juga pesantren yang masih kental dengan ritual2 bidah, misalnya saja shalawatan ba’da adzan, dzikir berjamaah, tahlilan, yasinan dan masih banyak contoh lain.
Atau pesantren yang didalamnya masih membuka pintu kemaksiatan, sangat jelas maksiat itu tidak dianggap haram, terlihat dengan memberikan fasilitas. Saya pernah sekilas membaca sebuah novel dengan latar sebuah pesantren, disana mereka diberi fasilitas2 kegiatan ekstra, dan salah satunya adalah musik, untuk itu mereka difasilitasi dengan alat musik.
Agar tidak salah memilih pesantren,pelajari dulu profil2 pesantren yang dilirik dan minta rekomendasi dari orang2 terpercaya.
Semua hal diatas hanyalah upaya yang perlu dilakukan orang tua untuk menjaga anak2nya. Tak selalu anak hasil didikan sekolah yang tak bernafas Islam menjadi buruk, begitupun sebaliknya tak bisa dijamin anak hasil didikan sekolah islam atau bahkan pesantren hasilnya baik. Masih banyak factor lain yang mempengaruhi, termasuk lingkungan sekitar dan keluarga. Dan yang terpenting hidayah itu ditangan Allah. Namun sebagai orang tua kita berkewajiban mengarahkan anak2 kita, termasuk dalam hal memilih tempat belajar.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluarganu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS: at Tahrim: 6)
Allahu a’lam
semoga kita bisa menjadi orang tua yang baik dan dikaruniai anak2 yang sholih dan sholihah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar