Jumat, 17 Juni 2011

SAKIT & DOKTER

090611
Saya selalu beranggapan seseorang dikatakan sakit itu jika dia “benar2“ sakit dan hanya bisa tergeletak di tempat tidur. Sementara jika hanya mengalami “sedikit masalah“ pada tubuhnya tapi masih bisa beraktifitas itu bukanlah sakit, hanya tidak enak badan.
Mungkin karena anggapan itulah saya tidak pernah menganggap gangguan2 kecil pada tubuh saya sebagai sakit, sehingga saya santai2 saja dan tidak terlalu merisaukannya, apalagi jika gangguan itu sudah lama membersamai saya.
Tapi belakangan ketika ada satu gangguan yang mulai ngelunjak dan saya sudah capek dengannya, dan juga kekhawatiran saya –mungkin lebih tepatnya paranoid- jika gangguan itu bisa berdampak pada rahim saya (padahal ga ada hubungannya, he3..... soalnya saya kan pengen punya rahim yang subur dan bisa melahirkan banyak anak) saya mengazzamkan diri untuk berkunjung ke dokter. Setelah diidagnosa ternyata bukan penyakit yang serius dan juga bukan penyakit yang bisa berdampak buruk pada rahim dan kesuburan.
Tapi sekarang, saya ingin lebih menyayangi tubuh saya. Gangguan2 sekecil apapun ingin segera saya atasi. Termasuk gangguan yang sebenarnya sudah saya ketahui sebabnya, tapi saya lebih suka menurutkan nafsu saya untuk tidak berpola hidup yang bersahabat terhadap gangguan tersebut.
Bicara sakit tentu tidak jauh dari profesi satu ini. Dokter, merupakan profesi yang membuat saya enggan untuk menemuinya. Entah sejak kapan saya mulai enggan menemui jenis profesi ini, padahal dulunya saya biasa2 saja, mungkin sejak kuliah.
Ketika bertemu dokter biasanya selalu bertemu wajah2 yang serius, mugkin kebanyakan mikir kali ya. Udah gitu kesannya tidak bersahabat, pola komunikasinya pun sebagai si sakit dan si dokter, jadi benar2 merasa sakit.
Mungkin yang paling membuat saya enggan adalah karena saya pernah dimarahi oleh seorang dokter, sampai nangis lagi (duh memalukan sekali). Orang udah sakit dimarahi lagi, membuat saya tidak bisa menahan untuk tidak menangis, padahal saya bukanlah jenis orang yang mudah menangis didepan orang. Begini katanya “obat itu bukan segala2nya, perilaku itu yang segala2nya”. Tapi memang benar sih apa yang dikatakannya, mungkin juga dia bosan melihat wajah saya, datang beberapa kali dan dengan keluhan yang sama pula. He2 saya memang bandel.
Tapi, kemarin ketika saya ke dokter untuk memeriksakan gangguan yang saya sebut diatas, saya menemukan sosok dokter yang berbeda dari yang biasa saya temui. Baru melihat wajahnya saja, wajahnya tidak membuat saya takut. Dan setelah masuk ke ruangan dan berkonsultasi, sikapnya pun sangat bersahabat, ditambah wajahnya yang menyunggingkan senyum. Dan lagi dia juga menjelaskan secara terperinci mengenai hasil diagnosanya, jenis penyakitnya, sebab2nya de el el (sehingga saya benar2 paham) dengan bahasa yang lugas dan bersahabat, dan juga diselingi diskusi, seperti seorang siswa yang menjelaskan kepada teman sebangkunya tentang pelajaran yang susah dimngerti. Belum apa2 saya sudah merasa sembuh.
Semestinya memang begitulah seharusnya seorang dokter bersikap, dengan begitu pasien akan merasa sembuh sebelumnya. Dan orang tidak akan takut berkunjung ke dokter bila dia sakit. Seperti kata upin n ipin pada kak Ros yang galak dan bercita-cita jadi dokter “ada ke yang mau jumpa dokter garang macam akak? Ha3“....
Tapi memang tidak bisa disalahkan jika ada orang yang memiliki wajah “serius“ atau “seram“, yang kadang belum apa2 membuat orang merasa takut, karena mungkin memang itu bawaan dari lahir. Tapi setelah dekat ternyata orang tersebut adalah orang yang ramah.
Mungkin saya juga termasuk orang dengan wajah begitu, karena dari beberapa teman yang saya tanya, kesan pertama ketika melihat saya adalah “seram”. Jadi saya tidak heran atau marah ketika ada seorang teman saya yang mengatakan kalau saya “agak” antagonis –sepetinya kata “agak” ini hanya untuk memperhalus-. Karena itu, dulu ketika setelah didiagnosa mata saya min, saya tetap saja jarang memakai kacamata, bahkan sekaramg tidak sama sekali. Lalu bagaimana ya agar wajah kita tidak terkesan seram atau terlalu serius?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar