291111
Entahlah sepertinya aku sedang gundah, aku bingung harus bahagia ataukah harus bersedih. Bagi sebagian orang –atau bahkan kebanyakan- mungkin ini menjadi kabar yang menggembirakan, namun entahlah. Ketika mulai beredar kabar bahwa sebentar lagi aku akan menyandang status, yang menurut orang2 begitu menjanjikan.
Di satu sisi aku senang, karena aku akan bebas dari sebuah sistem yang “memaksa”ku berubah warna, juga banyak hal dalam sistem itu yang tak kusepakati. Namun di sisi lain aku sedih karena harus berpisah dengan mereka2 yang kusayangi dan tak lagi bisa menjalankan fungsi yang menurutku mulia itu.
Juga kekhawatiran jika di tempat baruku nanti aku akan mendapati atmosfer yang lebih buruk dari sekarang, karena bukan hanya sekedar beda paradigma lagi yang akan kutemui tapi juga perbedaan keyakinan, yang otomatis membutuhkan kata “toleransi” yang lebih. Belum lagi pergaulannya (yang sesama akidahpun belum tentu paham, apalagi yang berbeda), perbincangan2 di antara mereka, akses ibadahnya (belum tentu ada mushola lengkap degan tempat wudhu yang tertutup), dan tak lupa campur baurnya.
Sebenarnya –entahlah, aku juga bingung- aku sendiri tidak begitu berharap akan menyandang status baru itu. Dan kurasa status baru itu juga bukanlah jalan keluar bagi masalahku sekarang. Sederhana saja sebenarnya, aku hanya ingin bisa menjadi seorang wanita yang bisa menjalankan tugas dan fungsinya semaksimal mungkin.
Semoga saja ada jalan keluar bagi semua ini, segera.
Kamis, 01 Desember 2011
LEBAH LAGI
Afi yang suka meledekku dengan mengatakan “ustadzah jelek”, ketika Dewi mendengarnya dia mencoba membela dengan mengatakan “ustadzah cantik kok, nanti kalau begitu (membelaku) dapat cium, tapi ustadzah tidak suka sama kita, ustadzah sukanya cuma sama Teguh” ha3, ada2 saja, jadi Dewi rupanya yang menyebarkan isu bahwa aku suka Teguh.
Memang si Teguh itu suka banget nggelibet, nggandoli (narik2), meluk2, juga suka memijitku. Sampai ada yang berkomentar “Teguh ini macam sama mamanya saja”. Hmm, sepertinya aku paham mengapa dia bersikap begitu padaku, sepertinya dia memang merindukan belaian seorang ibu. Dia tinggal bersama neneknya, sementara ibunya tinggal agak jauh darinya.
Hira yang masih kekanak2an dan manja itu, susah sekali disuruh wudhu, dia beralasan “airnya bau” katanya, memang sih air di school kami, kurang bagus, airnya berkarat dan rasa serta baunya tidak tawar. Ketika kusuruh menulis, dan dia salah menulisnya, kusuruh menulis ulang dan kuancam tak boleh istirahat dia malah merengek2. Dia juga suka mengataiku “ustadzah nakal”.
He3, sekarang dia sudah mulai mau wudhu, tapi dengan air yang dibawanya sendiri dari rumah, yang disimpan dalam botol air mineral.
Ihsan kalau di film doraemon dia cocok memerankan tokoh giant, si gendut yang suka memukul temannya. Dari hasil pengamatanku, teman2nya memang takut padanya. Dan ketika dia mulai berulah lagi, kukatakan bahwa namanya berarti baik, jadi anak baik tak boleh memukul teman, kalau memukul teman itu tidak baik. Mau namaya diganti, paijo misal? Dia malah balik bertanya artinya apa. Selidik punya selidik, katanya dia ikut bergabung dalam sebuah geng, hmm mungkin dari situlah dia mendapat ilmu “pukul memukul”.
Aji, ketika masing2 disuruh mengumpul biodata, ternyata dia bercita2 menjadi ustadz, hmm bagus2. Menurut pengakuannya dia ikut gabung dalam suatu geng (katanya sih cuma kumpulan main bola, tak lebih) yang namanya lucu: bocila yang kepanjangannya tak lain adalah bocah cilacap, he3. Pantas saja dia suka sekali mengatakan “kepriben”, meski sepertinya dia sendiri tak begitu paham maknanya.
Mukhlis yang ketika disuruh menjadi imam, setelah sebelumnya tak pernah mau, kali ini bukan hanya tak mau tapi didramatisir dengan tangisnya yang tak kunjung reda dari awal sholat sampai akhir. Jadi sholat yang seharusnya ada berdiri, rukuk, sujud dan duduknya, hanya dihabiskannya dengan berdiri sambil menangis. Dan katanya ketika drama menangisnya itu si mauas mengelus pundaknya untuk menenangkannya, juga selepas sholat –kalau ini kulihat sendiri- si ian mengelus2 punggungnya untuk mendiamkannya, hmm anak2 begitu kepedulian mereka pada temannya yang sedang sedih.
Ian, sosok yang bongsor karena memang sudah 2 kali tak naik kelas, memang lamban membaca saja masih sangat susah. Kasihan sebenarnya, apalagi ketika ihsan mengejeknya karena tak bisa membaca, atau di moment lain ketika kekurangannya itu tampak, dia akan mulai menundukkan wajahnya dan menggigit bibir bawahnya. Sepertinya kepercayaandirinya sudah benar2 down. Seharusnya dia perlu penanganan khusus dari seorang ahli, psikolog mungkin atau sejenisnya.
Si Mauas, sudah dua kali ini jari kakinya mengalami cidera. Awalnya rabu lalu –kalau tidak salah- entah karena kebanyakan tingkah ketika dikelas, jari telunjuknya ketimpa kursi hingga berdarah2 dan kukunya hampir lepas, dan hebatnya ketika menangis hanya air matanya yang berlinang tanpa meraung2. Dan esoknya –atau esoknya lagi- kakinya yang masih sakit tadi, terinjak oleh temannya. Dan hari jumat lalu, kali ini jari kelingkingnya kembali ketimpa kursi, tak sampai berdarah2 memang tapi sedikit bengkak. Dia pun menangis dan akhirnya minta pulang duluan, dijemputlah dia oleh Abinya. Mauas mauas sepertinya minggu ini kakimu benar2 sedang diuji.
Vikar, dia sangat kocak, ditambah lagi wajahnya yang juga kocak. Dia sangat terinspirasi ingin
menjadi berotot seperti nasdem katanya, ada2 saja.
Aji dan abid ketika kuingatkan tak boleh menggambar makhluk bernyawa, sebelumnya sudah sering kuingatkan. Mereka balik bertanya, truz kenapa ini ada gambarnya (mereka menunjuk buku agama yang full gambar), kujawab saja “mungkin mereka tidak tahu”, mereka balik menimpali: “iyo, karena waktu itu ustadzah belum disini, karena ustadzah tidak kasih tau mereka”, ha3, ada2 saja.
Lutfi, sosok yang ringkih dan pendiam itu, yang suaranya sangat lirih serta pemilik sorot mata yang membuat iba siapa saja yang melihatnya. Ternyata ketika sedang ngambek dia akan diam saja dan mengacuhkan orang yang membuatnya ngambek (he3, benar2 sepertiku). Seperti ketika jalan santai, yang entah kenapa dia ngambek pada ibunya dan tak mau diberi minum oleh ibunya. Akhirnya setelah kubujuk2 dan kuberi minum, dia mau meski hanya sedikit. Dari sorot matanya, sepertinya dia menyimpan rasa takut, seperti merasa terancam, tapi entahlah ini hanya teoriku yang tidak berdasar.
-----------------------------------------------------
Walau terkadang aku kesal oleh tingkah mereka, bahkan sampai marah2 hingga keluar tanduknya macam di film2 kartun (he3, emang banteng). Namun sepertinya aku akan sangat merindukan mereka jika harus meninggalkan mereka lebih cepat dari yang kukira. Merindukan wajah2 polos mereka, tawa mereka, tangis mereka, juga kekonyolan dan kenakalan mereka. Rasanya kebersamaan ini singkat sekali.
Dan sebenarnya (aku kurang suka memakai kata jujur, jujur kok bilang2, berarti selama ini ga jujur donk), ketika aku mengajar mereka, aku tidak merasa sedang bekerja, melainkan hanya sedang bermain2 dan mengisi waktu luang, lalu tiba2 di awal bulan aku pun mendapat upah.
Dan rasa2nya selama ini aku belum bisa menjadi sosok pendidik yang baik, belum bisa memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang, belum bisa menjadi sosok “ibu” bagi mereka. Dengan bersama mereka, setidaknya bisa sedikit (hanya sedikit, he3) mengasah jiwa keibuanku.
Rasanya ingin kupeluk dan kuciumi mereka satu persatu. Hhm, mengapa perpisahan itu selalu menyisakan rasa nyeri?
Memang si Teguh itu suka banget nggelibet, nggandoli (narik2), meluk2, juga suka memijitku. Sampai ada yang berkomentar “Teguh ini macam sama mamanya saja”. Hmm, sepertinya aku paham mengapa dia bersikap begitu padaku, sepertinya dia memang merindukan belaian seorang ibu. Dia tinggal bersama neneknya, sementara ibunya tinggal agak jauh darinya.
Hira yang masih kekanak2an dan manja itu, susah sekali disuruh wudhu, dia beralasan “airnya bau” katanya, memang sih air di school kami, kurang bagus, airnya berkarat dan rasa serta baunya tidak tawar. Ketika kusuruh menulis, dan dia salah menulisnya, kusuruh menulis ulang dan kuancam tak boleh istirahat dia malah merengek2. Dia juga suka mengataiku “ustadzah nakal”.
He3, sekarang dia sudah mulai mau wudhu, tapi dengan air yang dibawanya sendiri dari rumah, yang disimpan dalam botol air mineral.
Ihsan kalau di film doraemon dia cocok memerankan tokoh giant, si gendut yang suka memukul temannya. Dari hasil pengamatanku, teman2nya memang takut padanya. Dan ketika dia mulai berulah lagi, kukatakan bahwa namanya berarti baik, jadi anak baik tak boleh memukul teman, kalau memukul teman itu tidak baik. Mau namaya diganti, paijo misal? Dia malah balik bertanya artinya apa. Selidik punya selidik, katanya dia ikut bergabung dalam sebuah geng, hmm mungkin dari situlah dia mendapat ilmu “pukul memukul”.
Aji, ketika masing2 disuruh mengumpul biodata, ternyata dia bercita2 menjadi ustadz, hmm bagus2. Menurut pengakuannya dia ikut gabung dalam suatu geng (katanya sih cuma kumpulan main bola, tak lebih) yang namanya lucu: bocila yang kepanjangannya tak lain adalah bocah cilacap, he3. Pantas saja dia suka sekali mengatakan “kepriben”, meski sepertinya dia sendiri tak begitu paham maknanya.
Mukhlis yang ketika disuruh menjadi imam, setelah sebelumnya tak pernah mau, kali ini bukan hanya tak mau tapi didramatisir dengan tangisnya yang tak kunjung reda dari awal sholat sampai akhir. Jadi sholat yang seharusnya ada berdiri, rukuk, sujud dan duduknya, hanya dihabiskannya dengan berdiri sambil menangis. Dan katanya ketika drama menangisnya itu si mauas mengelus pundaknya untuk menenangkannya, juga selepas sholat –kalau ini kulihat sendiri- si ian mengelus2 punggungnya untuk mendiamkannya, hmm anak2 begitu kepedulian mereka pada temannya yang sedang sedih.
Ian, sosok yang bongsor karena memang sudah 2 kali tak naik kelas, memang lamban membaca saja masih sangat susah. Kasihan sebenarnya, apalagi ketika ihsan mengejeknya karena tak bisa membaca, atau di moment lain ketika kekurangannya itu tampak, dia akan mulai menundukkan wajahnya dan menggigit bibir bawahnya. Sepertinya kepercayaandirinya sudah benar2 down. Seharusnya dia perlu penanganan khusus dari seorang ahli, psikolog mungkin atau sejenisnya.
Si Mauas, sudah dua kali ini jari kakinya mengalami cidera. Awalnya rabu lalu –kalau tidak salah- entah karena kebanyakan tingkah ketika dikelas, jari telunjuknya ketimpa kursi hingga berdarah2 dan kukunya hampir lepas, dan hebatnya ketika menangis hanya air matanya yang berlinang tanpa meraung2. Dan esoknya –atau esoknya lagi- kakinya yang masih sakit tadi, terinjak oleh temannya. Dan hari jumat lalu, kali ini jari kelingkingnya kembali ketimpa kursi, tak sampai berdarah2 memang tapi sedikit bengkak. Dia pun menangis dan akhirnya minta pulang duluan, dijemputlah dia oleh Abinya. Mauas mauas sepertinya minggu ini kakimu benar2 sedang diuji.
Vikar, dia sangat kocak, ditambah lagi wajahnya yang juga kocak. Dia sangat terinspirasi ingin
menjadi berotot seperti nasdem katanya, ada2 saja.
Aji dan abid ketika kuingatkan tak boleh menggambar makhluk bernyawa, sebelumnya sudah sering kuingatkan. Mereka balik bertanya, truz kenapa ini ada gambarnya (mereka menunjuk buku agama yang full gambar), kujawab saja “mungkin mereka tidak tahu”, mereka balik menimpali: “iyo, karena waktu itu ustadzah belum disini, karena ustadzah tidak kasih tau mereka”, ha3, ada2 saja.
Lutfi, sosok yang ringkih dan pendiam itu, yang suaranya sangat lirih serta pemilik sorot mata yang membuat iba siapa saja yang melihatnya. Ternyata ketika sedang ngambek dia akan diam saja dan mengacuhkan orang yang membuatnya ngambek (he3, benar2 sepertiku). Seperti ketika jalan santai, yang entah kenapa dia ngambek pada ibunya dan tak mau diberi minum oleh ibunya. Akhirnya setelah kubujuk2 dan kuberi minum, dia mau meski hanya sedikit. Dari sorot matanya, sepertinya dia menyimpan rasa takut, seperti merasa terancam, tapi entahlah ini hanya teoriku yang tidak berdasar.
-----------------------------------------------------
Walau terkadang aku kesal oleh tingkah mereka, bahkan sampai marah2 hingga keluar tanduknya macam di film2 kartun (he3, emang banteng). Namun sepertinya aku akan sangat merindukan mereka jika harus meninggalkan mereka lebih cepat dari yang kukira. Merindukan wajah2 polos mereka, tawa mereka, tangis mereka, juga kekonyolan dan kenakalan mereka. Rasanya kebersamaan ini singkat sekali.
Dan sebenarnya (aku kurang suka memakai kata jujur, jujur kok bilang2, berarti selama ini ga jujur donk), ketika aku mengajar mereka, aku tidak merasa sedang bekerja, melainkan hanya sedang bermain2 dan mengisi waktu luang, lalu tiba2 di awal bulan aku pun mendapat upah.
Dan rasa2nya selama ini aku belum bisa menjadi sosok pendidik yang baik, belum bisa memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang, belum bisa menjadi sosok “ibu” bagi mereka. Dengan bersama mereka, setidaknya bisa sedikit (hanya sedikit, he3) mengasah jiwa keibuanku.
Rasanya ingin kupeluk dan kuciumi mereka satu persatu. Hhm, mengapa perpisahan itu selalu menyisakan rasa nyeri?
Terobsesi pada angka
Mungkin dunia ini memang dipenuhi dengan orang2 aneh, hmm salah satunya orang ini. Dia selalu terobsesi pada angka, dalam keseharian bahkan dalam lamunannya pun tak luput dari angka. Dalam melakukan aktifitas2 harian tak lupa dia melihat jam awal dia memulai sampai selesainya, hingga dia dapat menghitung berapa lama waktu yang dihabiskannya. Ketika berbelanja di swalayan tak lupa dikalkulatorinya satu per satu barang yang akan dibelinya, sebelum memutuskan membeli barang ukuran besar atau kecil, yang akan dipilih tentu yang satuan rupiahnya terkecil. Bahkan dalam lamunannya dia suka menghitung jumlah huruf dalam tiap kata, hingga ketika ada yang mengucap sebuah kata, otaknya akan otomatis memunculkan angka yang merupakan jumlah dari huruf2 dari kata itu. Misalnya ketika ada yang mengucap kata “daripada” maka dalam imajinasinya akan muncul angka 8, yang diawali dengan setengah lingkaran di bagian atas “(“ yang berisi suku kata “da”, kemudian “)” di bagian bawah yang berisi kata “ri”, dst hingga terbentuk kata “daripada”. Dan tak lupa, angka2 itu seringkali bergelantungan di garis bilangan yang berisi 4 kuadran itu, dan melekat kuat di memorinya, itupun masih dihitung posisi angka itu berada di kuadran positif ataukah negatif beserta nilai angkanya. Misal kata makan yang terdiri dari 5 huruf, maka angka 5 itu akan terletak di kuadran negatif negatif di posisi (-1, -2) yang jumlahnya adalah -3, atau bisa terletak di kuadran positif positif di posisi (1, 2) yang jumlahnya adalah 3. Begitupun dalam hal hitung menghitung -karena memang tak semua perkalian dihafalnya- seringkali dia menghitung dengan cara2 yang berbeda.
Seakan2 angka adalah bagian yang tak terpisah dari dirinya.
Seakan2 angka adalah bagian yang tak terpisah dari dirinya.
Pernahkah kau merasa?
Pernahkah kau merasa dirimu selalu dimata-matai, dan diawasi semua gerak-gerikmu? Jika aku ditanya demikian, akan kujawab dengan mantap: “iya”. Dan menurut feelingku, kegiatan memata2i ala detektif itu dilakukan hanya karena aku disinyalir berbeda dari mereka2 di tempatku berkecimpung. Sampai2 aku merasa seolah2 banyak kamera pengintai di tiap sudut ruangan yang memonitor setiap sepak terjangku, bahkan telepon selulerku pun disadap, hingga setiap kata yang keluar dari mulutku atau tiap pesan singkat yang kukirim lewat hpku akan diketahui. Entahlah, sepertinya semua ini sudah membuatku jadi senewen tingkat tinggi. Bahkan (kalau ini bukan lagi seolah2, tapi nyata) sengaja disewa seorang detektif untuk menyelidikiku, hanya saja caranya bekerja benar2 tak cerdas, menggunakan media yang tak canggih pula. Bagaimana tidak, mengorek2 keterangan tentang seseorang langsung ditanyakan pada orang itu, to the point lagi. Dan mungkin karena disinyalir berbeda itu pula, sepertinya selalu saja ada yang salah padaku. Bahkan ketika hendak memberi buku pada beberapa orang disana yang ku sayangi pun, harus diverifikasi lebih dulu lebih2 jika berkaitan dengan agama. Segitunya, seperti hendak menyebarkan virus menyesatkan saja, rasa2nya hati ini benar2 terenyuh (entah apa kata yang tepat untuk membahasakannya) dibuatnya.
Hmm entahlah, mungkin semua itu tak lain hanyalah paranoidku yang sedikit berlebihan.
Hmm entahlah, mungkin semua itu tak lain hanyalah paranoidku yang sedikit berlebihan.
Pekerjaan dengan tingkat stres tertinggi?
Jika diadakan survei mengenai jenis profesi dengan tingkat stres tinggi mungkin orang2 akan mengajukan jawaban profesi2 yang membutuhkan kecerdasan dan ketelitian tingkat tingkat tinggi plus yang menyita banyak waktu yang biasanya juga bergaji tinggi, seperti; eksekutif, akuntan, broker, de el el lah.
Namun kalau aku yang ditanya, akan kujawab: guru. Mengapa? Jawabannya panjang.
Kalau profesi lain mungkin hanya berhadapan dengan pekerjaan yang njelimet, yang kalau pekerjaannya buruk paling2 membuat rugi perusahaan beberapa rupiah. Namun bagi guru, jika dia gagal mendidik, maka beban moral yang ditanggung cukup berat. Mulai dari beban moral karena siswanya tak pandai2 meski sudah berbusa2 mengajarnya sampai beban moral karena akhlak siswanya yang masih belum islami2 juga, meski selalu dijejali dengan nilai2 islam.
Bagi seorang guru, jika siswa2nya tak kunjung paham apa yang diajarkannya, cukup untuk membuatnya merasa bersalah dan gagal. Dan mungkin semua guru, selalu ingin agar semua siswanya bisa memahami semua materi yang diajarkannya, walau memang kemampuan masing2 siswa berbeda2. Jadi sangat manusiawi jika guru lebih senang pada siswanya yang pandai.
Walaupun demikian guru juga manusia, kemampuannya pun terbatas, jadi ada kalanya ada hal yang tidak terlalu dipahaminya atau dipahaminya namun tak mampu ditransfernya dengan baik.
Jadi merasa bersalah sekali jika ingat dulu pernah meremehkan guru, karena kurang cerdas atau tak mampu membahasakan dengan baik. Bagaimanapun mereka adalah orang2 yang sudah mendidik kita, mengajari kita apa2 yang tadinya tidak kita tahu. Maka apakah pantas setelah menjadi pandai kita meremehkan mereka?
Merasa kasihan pada seorang rekan yang sempat dicomplain siswa2nya karena cara mengajarnya yang njelimet dan ga asyik. Hmm, beruntung yang kuajar masih kelas 2, kalau kelas atas mungkin mereka bakalan banyak complain tentangku.
Jadi, bagi kamu2 yang masih duduk di bangku sekolah or kampus, jangan melawan sama guru ya, ga pantes! Kalaupun ada yang tak benar, sampaikan dengan cara yang baik.
Balik lagi ke beban moral, terkadang aku heran pada siswa2 yang sangat lamban. Entah merekanya yang kurang cerdas ataukah gurunya yang tak komunikatif.
Memang ada jenis2 pelajaran yang bisa diterima jika gurunya menyenangkan dan tidak jika gurunya killer. Sepertiku dulu ketika SMA, ketika kelas 1 aku merasa lumayan bisa dalam pelajaran bahasa inggris karena gurunya menyenangkan, namun ketika kelas 3 berjumpa dengan guru killer -yang matanya suka melotot, kalau dia menjelaskan kita harus diam mematung bahkan sekedar menggerakkan tanganpun tak boleh, dan akan marah besar jika argumennya dibantah- rasanya aku tiba2 menjadi benar2 bodoh dalam pelajaran ini, susah sekali menjejalkannya di otakku.
Namun ada juga pelajaran yang tetap saja sulit, meski gurunya menyenangkan. Contoh aja pelajaran matematika –yang memang menjadi momok bagi kebanyakan siswa-, ketika aku kelas 3, sang guru sudah menampilkan performance yang sangat bagus, namun tetap saja banyak yang tetap susah mencerna pelajarannya. Di jaman aku SMA dulu, ketika kebanyakan guru masih mengajar dengan cara konvensional, beliau sudah menggunakan cara2 yang keren.
Untuk soal2 latihan atau ulangan seringkali soalnya diketikkan di kertas2 berukuran mini (dari ukuran kertasnya yang mini, paling tidak seharusnya otak kita sudah tersugesti bahwa soalnya sedikit dan kecil) , tidak seperti guru lain yang selalu ditulis di papan. Untuk memperjelas penjelasannya pun terkadang menggunakan LCD (barang langka ketika itu) yang disiapkannya sendiri beserta laptopnya. Seperti ketika membahas tentang bangun ruang (yang memang agak susah dipahami jika hanya dengan membaca buku, karena bentuk bangunnya hanya bisa dibayangkan), beliau menampilkannya bangun2 ruang itu dalam bentuk slide yang gambarnya bergerak, sehingga bisa dilihat dari berbagai sisi. Itu pun masih ditambah dengan membawa alat peraga berupa bangun2 ruang yang dibuatnya dari karton, yang dibuat sedemikian rapi dan dengan warna-warni yang menarik.
Ditambah lagi dengan sikapnya yang humoris, dan suka membagi2 oleh2 makanan jika beliau pulang dari melancong, juga suka memberi coklat terutama kepada mereka2 yang berbadan ceking sepertiku, supaya gemuk katanya. Yah, mungkin ketidakmampuan kami mencerna dengan baik pelajarannya semata2 karena IQ kami yang standar.
Saya juga mulai mengerti mengapa guru fisikaku dulu terkadang perlu membawa sapu untuk memukul mereka2 yang tak bisa2 juga mengerjakan soal di papan meski sudah dijelaskan berkali2. Mungkin itu cara yang terkadang efektif, karena ketika kita merasa terancam atau minimal terdesak, biasanya otak yang tadinya beku mendadak jadi encer bukan?
------------------------------------
Dan yang tak kalah berat, adalah beban moral karena akhlak siswa yang tak kunjung islami. Entahlah sepertinya medialah pihak yang perlu dituding pertama kali, selanjutnya lingkungan. Bagaimana tidak, dari kotak ajaib bernama TV, mereka akan menyaksikan bagaimana cara artis2 berpakaian (dari yang paling seksi sampai yang mengenakan penutup kepala yang juga seksi), musik2 dan lagu2 yang sedang in, mulai versi dangdut sampai versi boyband girlband. Jadi jangan heran jika ada remaja yang baru menginjak masa puber atau bahkan yang masih anak2, gemar memakai pakaian ketat atau berjilbab seksi dengan model yang lagi in sekarang. Atau dari bibir2 mungil mereka terlantun berbagai macam lagu yang sepertinya tersave rapi di memori mereka, bahkan tak lupa dengan koreonya. Atau yang menggandrungi dance2. Atau yang suka gabung sama anak2 geng, yang kata seorang anak pimpinannya berotot.
Dan anak jaman sekarang cepat sekali puber, kasihan sebenarnya di usia sehijau itu mereka sudah harus menanggung perbuatannya sendiri, sudah harus memikul beban dosanya sendiri. Apalagi ditambah dengan media dan lingkungan yang tak mendukung, terkadang masih ditambah ortu yang tak peduli, hingga tak sedikit remaja yang bingung mencari jati dirinya.
Kurasa remaja jaman sekarang jauh sekali bedanya dengan jamanku dulu, sepertinya remaja sekarang lebih centil (entah bagaimana membahasakannya). Bahkan kata seorang teman, aku baru puber ketika kuliah, ha3 aja2 ada, eh ada2 aja ding
-------------------------------------
Beban moral berikutnya yang tak kalah berat adalah “keluhan pelanggan” (kayak penggalan kalimat di produk2 makanan aja). Yupz, tak cukup di tempat kerja, di rumahpun terkadang –kalau tak boleh dikatakan sering- para orang tua masih merecoki pikiran para “pahlawan tanpa tanda jasa” dengan bertanya mengenai perkembangan anak2nya di sekolah de el el. Atau bahkan complain atas ketidakbecusan si guru mendidik anak2nya, yang disampaikan langsung kepada pimpinan. Hingga sebagai bawahan, si guru harus siap jika kemudian “diceramahi” akibat ketidakbecusan itu.
-------------------------------------------------------------
Juga tak lupa masalah “birokrasi” (sepertinya kata ini kurang tepat) sekolah yang menuntut para guru agar tidak lagi menggunakan cara2 konvensional dalam mengajar, tapi harus produktif, kreatif, dan tif2 lainnya. Harus tertib administrasi ini dan itu, juga harus sesuai standar baku (yang entah sudah dirubah berapa kali, seiring bergantinya menteri pendidikan) yang sudah dibuat oleh orang2 pintar di kemendiknas (atau dinas lain ya?) sana, namun tak kunjung membuat para siswa menjadi pintar.
Juga masalah background sekolah, yang mungkin tak sama dengan background si guru. Dan sadar atau tidak perlahan2 si guru digiring untuk menjadi sewarna dengan mereka, memiliki “paradigma” yang sama dengan mereka, dengan diwajibkan mengikuti kegiatan ini dan itu. Juga hal2 lain yang mengiringi proses belajar yang kalau mau jujur kurang benar . Dan hal ini sungguh sangat berat.
Namun kalau aku yang ditanya, akan kujawab: guru. Mengapa? Jawabannya panjang.
Kalau profesi lain mungkin hanya berhadapan dengan pekerjaan yang njelimet, yang kalau pekerjaannya buruk paling2 membuat rugi perusahaan beberapa rupiah. Namun bagi guru, jika dia gagal mendidik, maka beban moral yang ditanggung cukup berat. Mulai dari beban moral karena siswanya tak pandai2 meski sudah berbusa2 mengajarnya sampai beban moral karena akhlak siswanya yang masih belum islami2 juga, meski selalu dijejali dengan nilai2 islam.
Bagi seorang guru, jika siswa2nya tak kunjung paham apa yang diajarkannya, cukup untuk membuatnya merasa bersalah dan gagal. Dan mungkin semua guru, selalu ingin agar semua siswanya bisa memahami semua materi yang diajarkannya, walau memang kemampuan masing2 siswa berbeda2. Jadi sangat manusiawi jika guru lebih senang pada siswanya yang pandai.
Walaupun demikian guru juga manusia, kemampuannya pun terbatas, jadi ada kalanya ada hal yang tidak terlalu dipahaminya atau dipahaminya namun tak mampu ditransfernya dengan baik.
Jadi merasa bersalah sekali jika ingat dulu pernah meremehkan guru, karena kurang cerdas atau tak mampu membahasakan dengan baik. Bagaimanapun mereka adalah orang2 yang sudah mendidik kita, mengajari kita apa2 yang tadinya tidak kita tahu. Maka apakah pantas setelah menjadi pandai kita meremehkan mereka?
Merasa kasihan pada seorang rekan yang sempat dicomplain siswa2nya karena cara mengajarnya yang njelimet dan ga asyik. Hmm, beruntung yang kuajar masih kelas 2, kalau kelas atas mungkin mereka bakalan banyak complain tentangku.
Jadi, bagi kamu2 yang masih duduk di bangku sekolah or kampus, jangan melawan sama guru ya, ga pantes! Kalaupun ada yang tak benar, sampaikan dengan cara yang baik.
Balik lagi ke beban moral, terkadang aku heran pada siswa2 yang sangat lamban. Entah merekanya yang kurang cerdas ataukah gurunya yang tak komunikatif.
Memang ada jenis2 pelajaran yang bisa diterima jika gurunya menyenangkan dan tidak jika gurunya killer. Sepertiku dulu ketika SMA, ketika kelas 1 aku merasa lumayan bisa dalam pelajaran bahasa inggris karena gurunya menyenangkan, namun ketika kelas 3 berjumpa dengan guru killer -yang matanya suka melotot, kalau dia menjelaskan kita harus diam mematung bahkan sekedar menggerakkan tanganpun tak boleh, dan akan marah besar jika argumennya dibantah- rasanya aku tiba2 menjadi benar2 bodoh dalam pelajaran ini, susah sekali menjejalkannya di otakku.
Namun ada juga pelajaran yang tetap saja sulit, meski gurunya menyenangkan. Contoh aja pelajaran matematika –yang memang menjadi momok bagi kebanyakan siswa-, ketika aku kelas 3, sang guru sudah menampilkan performance yang sangat bagus, namun tetap saja banyak yang tetap susah mencerna pelajarannya. Di jaman aku SMA dulu, ketika kebanyakan guru masih mengajar dengan cara konvensional, beliau sudah menggunakan cara2 yang keren.
Untuk soal2 latihan atau ulangan seringkali soalnya diketikkan di kertas2 berukuran mini (dari ukuran kertasnya yang mini, paling tidak seharusnya otak kita sudah tersugesti bahwa soalnya sedikit dan kecil) , tidak seperti guru lain yang selalu ditulis di papan. Untuk memperjelas penjelasannya pun terkadang menggunakan LCD (barang langka ketika itu) yang disiapkannya sendiri beserta laptopnya. Seperti ketika membahas tentang bangun ruang (yang memang agak susah dipahami jika hanya dengan membaca buku, karena bentuk bangunnya hanya bisa dibayangkan), beliau menampilkannya bangun2 ruang itu dalam bentuk slide yang gambarnya bergerak, sehingga bisa dilihat dari berbagai sisi. Itu pun masih ditambah dengan membawa alat peraga berupa bangun2 ruang yang dibuatnya dari karton, yang dibuat sedemikian rapi dan dengan warna-warni yang menarik.
Ditambah lagi dengan sikapnya yang humoris, dan suka membagi2 oleh2 makanan jika beliau pulang dari melancong, juga suka memberi coklat terutama kepada mereka2 yang berbadan ceking sepertiku, supaya gemuk katanya. Yah, mungkin ketidakmampuan kami mencerna dengan baik pelajarannya semata2 karena IQ kami yang standar.
Saya juga mulai mengerti mengapa guru fisikaku dulu terkadang perlu membawa sapu untuk memukul mereka2 yang tak bisa2 juga mengerjakan soal di papan meski sudah dijelaskan berkali2. Mungkin itu cara yang terkadang efektif, karena ketika kita merasa terancam atau minimal terdesak, biasanya otak yang tadinya beku mendadak jadi encer bukan?
------------------------------------
Dan yang tak kalah berat, adalah beban moral karena akhlak siswa yang tak kunjung islami. Entahlah sepertinya medialah pihak yang perlu dituding pertama kali, selanjutnya lingkungan. Bagaimana tidak, dari kotak ajaib bernama TV, mereka akan menyaksikan bagaimana cara artis2 berpakaian (dari yang paling seksi sampai yang mengenakan penutup kepala yang juga seksi), musik2 dan lagu2 yang sedang in, mulai versi dangdut sampai versi boyband girlband. Jadi jangan heran jika ada remaja yang baru menginjak masa puber atau bahkan yang masih anak2, gemar memakai pakaian ketat atau berjilbab seksi dengan model yang lagi in sekarang. Atau dari bibir2 mungil mereka terlantun berbagai macam lagu yang sepertinya tersave rapi di memori mereka, bahkan tak lupa dengan koreonya. Atau yang menggandrungi dance2. Atau yang suka gabung sama anak2 geng, yang kata seorang anak pimpinannya berotot.
Dan anak jaman sekarang cepat sekali puber, kasihan sebenarnya di usia sehijau itu mereka sudah harus menanggung perbuatannya sendiri, sudah harus memikul beban dosanya sendiri. Apalagi ditambah dengan media dan lingkungan yang tak mendukung, terkadang masih ditambah ortu yang tak peduli, hingga tak sedikit remaja yang bingung mencari jati dirinya.
Kurasa remaja jaman sekarang jauh sekali bedanya dengan jamanku dulu, sepertinya remaja sekarang lebih centil (entah bagaimana membahasakannya). Bahkan kata seorang teman, aku baru puber ketika kuliah, ha3 aja2 ada, eh ada2 aja ding
-------------------------------------
Beban moral berikutnya yang tak kalah berat adalah “keluhan pelanggan” (kayak penggalan kalimat di produk2 makanan aja). Yupz, tak cukup di tempat kerja, di rumahpun terkadang –kalau tak boleh dikatakan sering- para orang tua masih merecoki pikiran para “pahlawan tanpa tanda jasa” dengan bertanya mengenai perkembangan anak2nya di sekolah de el el. Atau bahkan complain atas ketidakbecusan si guru mendidik anak2nya, yang disampaikan langsung kepada pimpinan. Hingga sebagai bawahan, si guru harus siap jika kemudian “diceramahi” akibat ketidakbecusan itu.
-------------------------------------------------------------
Juga tak lupa masalah “birokrasi” (sepertinya kata ini kurang tepat) sekolah yang menuntut para guru agar tidak lagi menggunakan cara2 konvensional dalam mengajar, tapi harus produktif, kreatif, dan tif2 lainnya. Harus tertib administrasi ini dan itu, juga harus sesuai standar baku (yang entah sudah dirubah berapa kali, seiring bergantinya menteri pendidikan) yang sudah dibuat oleh orang2 pintar di kemendiknas (atau dinas lain ya?) sana, namun tak kunjung membuat para siswa menjadi pintar.
Juga masalah background sekolah, yang mungkin tak sama dengan background si guru. Dan sadar atau tidak perlahan2 si guru digiring untuk menjadi sewarna dengan mereka, memiliki “paradigma” yang sama dengan mereka, dengan diwajibkan mengikuti kegiatan ini dan itu. Juga hal2 lain yang mengiringi proses belajar yang kalau mau jujur kurang benar . Dan hal ini sungguh sangat berat.
MY CORRECTION LIST: PART I dan II (PROLOG)
PART I
Hmm daftar koreksi2ku yang berakhir tragis, namun setidaknya daripada berakhir begitu saja di t4 sampah, kurasa tak ada salahnya jika kugoreskan saja di ms word ini –he3, mekso-, agar tak berakhir terlalu tragis dan bisa sedikit diambil manfaatnya.
Adalah sebuah omong kosong jika berkoar2 berdakwah namun di sisi lain sebagian cara yang digunakan haram, hendak meneladadni Robin hood kah? Mencuri untuk kemudian diberikan pada orang2 miskin, menyuapi mulut mereka dengan makanan haram hasil curian? Begitukah?
Ketika ada yang mengingatkan akan kesalahan itu pun tak diterima. Kemudian berdalil dengan pendapat si ini si itu, yang kalau mau jujur pendapat itu tak sesuai dengan al qur’an dan sunnah. Apakah kita lupa bahwa semua perkataan bisa diterima (bila sesuai dengan al qur’an dan sunnah) dan bisa ditolak (bila tidak sesuai dengan al qur’an dan sunnah), kecuali perkatan Rasul yang ma’shum?
Bahkan imam syafii –seorang ulama kenamaan- sendiri pernah mengatakan untuk mengambil pendapatnya jika sesuai dengan al qur’an dan sunnah dan membuangnya jika tidak. Lalu masih pantaskah kita taklid –fanatisme membabi buta- pada seseorang yang “ditokohkan”, dan menelan mentah2 semua perkataannya?? Terlebih jika mengaku sebagai orang yang “cerdas”, paham agama atau bahkan pengemban dakwah/da’i ?
Kalau mau berdalil dengan sekedar pendapat, pendapat itu pun sangat banyak, dari yang mendekati kebenaran sampai yang paling nyeleneh. Dan kalau kita mengumpulkan pendapat2 yang ganjil dari para ulama –yang benar2 ulama tentu-, maka terkumpullah semua keburukan pada diri kita, begitukah yang kita mau? Ataukah kita ingin menjadi “golongan moderat” yang tidak terlalu rusak seperti manusia kebanyakan dan tidak terlalu taat pada syariat? Setengah2 dunk, tapi memang “golongan” itulah yang banyak digemari orang2, mungkin karena lebih fleksibel dan terkesan lebih toleran.
Hmm, moderat di satu sisi namun fanatik di sisi lain, sebuah inkonsistensi alias ga konsisten.
(sebenarnya pengertian moderat yang benar adalah yang beragama sesuai qur’an dan sunnah, tidak ekstrim keras dan ekstrim meremehkan, tapi memang kata moderat sering diselewengkan artinya )
Tak cukup dengan menolak kebenaran, masih ditambah dengan menghujat sebuah manhaj (perlu diingat; MANHAJ bukan harakah) yang biasa saja sebenarnya, hanya manhaj berislam dengan al qur’an dan sunnah sesuai pemahaman salafus sholeh, tak ada yang aneh. Dan memang begitulah seharusnya kita berIslam, bukannya bermanhaj dengan taklid pada tokoh, organisasi/kelompok/pergerakan/harakah, dan kemudian membuat lingkaran2 kecil dalam lingkaran besar Islam, masih dibumbui dengan fanatik dan loyalitas membabi buta (saya masih belum mengerti mengapa ada frase “membabi buta”, sudah babi, buta lagi, parah banget ya?) diatasnya. Padahal seharusnya, loyalitas itu diatas Islam, bukan diatas organisasi de es be.
Dan kemudian menggunakan kata “khilaf” sebagai senjata atau hujjah, hingga kita harus berlapang dada, tak boleh tuding-menuding, tak boleh menyalahkan, tak boleh merasa benar sendiri de es be. Kalimat ini benar sebenarnya jika ditempatkan pada tempatnya, pada masalah fiqih yang memang ulama2 ahlu sunnah berikhtilaf didalamnya. Namun jika masalahnya tidak menjadi khilaf dikalangan ulama ahlu sunnah, apalagi memang ada dalil yang gamblang tentang hal itu, apa kalimat diatas masih relevan?
Dan menuding mereka2 yang mencoba istiqomah diatasnya dengan dengan predikat; kaku, suka memvonis, tak berakhlak, de es be. “Tak kenal maka tak sayang” mungkin penggalan kalimat ini bisa mewakilinya. Sepertinya perlu membaca ini: http://konsultasisyariah.com/apa-makna-salaf-salafi-atau-salafiyun.
----------------------------
Dari sini aku mengambil pelajaran, untuk mendakwahi seseorang –terutama jika dia adalah orang yang pintar, atau hanya sekedar merasa pintar- kita harus pandai2 berargumen dan bersilat lidah. Jika tidak, bisa2 kita yang akan balik “didakwahi”, dan kita hanya bisa terbengong2 dibuatnya, jadi berasa bego banget. Hingga lidah tak mampu lagi meneruskan membaca draft kesalahan2 yang harus dikoreksi. Ibarat menjual produk, agar laku tak cukup hanya dengan membuat produk yang bagus, tapi juga perlu dikemas semenarik mungkin, dan tak lupa promosi yang gencar dan persuasif tentunya.
hmm, pantaslah jika kemudian Nabi Musa alaihissalam memohon pada Allah agar menjadikan Nabi Harun alaihissalam –yang lebih cakap berbicara darinya- agar dijadikan “juru bicara”nya.
Berbicara pun butuh kecerdasan ternyata, tadinya kupikir orang2 yang pintar bicara itu seringkali hanya membual. Bersyukurlah mereka yang diberi kefasihan lisan.
Astaghfirullah, ampuni hamba Ya Allah jika marahnya hamba hanya karena nafsu, dan jika karenanya terucap apa yang seharusnya tak terucap.
(SAMPAI DI BAGIAN INI KUTULIS DENGAN MELEDAK2, WALAUPUN SUDAH AGAK DINGIN SEBENARNYA KARENA MOMENTNYA SUDAH LEWAT CUKUP LAMA)
-------------------------------------------------------------------------
PART II
Melanjutkan kalimat “tak kenal maka tak sayang” diatas
Seperti cerita seorang guru yang melarang muridnya membaca kitab karangan seorang ulama, -entah, mungkin karena dia mendapat info yang salah tentang ulama itu-. Namun ketika dia diberi kitab itu, dengan cover depannya dirobek lebih dulu, sehingga nama pengarangnya terbuang. Ia mengatakan bahwa itu adalah kitab yang bagus.
Hmm, nampaknya kita memang perlu “membaca” –apapun itu: paham maupun seseorang- dengan cara seperti itu, tanpa melihat covernya lebih dulu, dan dimulai dari 0, tanpa mendengarkan stigma2 negatif dan sebaliknya citra2 baik. Barulah kemudian kita bisa menilai dengan objektif. Dan penilaian itu akan lebih objektif lagi jika sebagai “pengamat” pernah benar2 terjun pada objek itu, atau bahkan menjadi bagian dari objek itu, jadi benar2 bisa merasakan secara langsung, bukan hanya “katanya” dan “katanya”.
Karena penilaian yang tidak diawali dari nol, yang belum apa2 sudah ada dilabeli dengan stigma2 seringkali hasilnya tak objektif.
Seorang kawan, pernah tertarik untuk “menyelidiki” sesuatu yang diberi image buruk oleh orang2, hal itu membuatnya penasaran untuk tahu apakah benar yang dituduhkan itu. Daripada hanya percaya dengan “katanya” lebih baik dia terjun langsung ke objek itu pikirnya, dan akhirnya dia dapati bahwa semua tuduhan itu tak benar.
Seperti peristiwa bom WTC yang heboh kala itu, media menggembar-gemborkan bahwa islam itu teroris, dan ternyata image buruk itu menjadi “promosi” tersendiri. Orang2 pun berbondong2 mempelajari Islam untuk menyelidiki apa benar tuduhan itu. Ketika mereka dapati semua kabar itu dusta dan ternyata islam itu indah, akhirnya berbondong2lah mereka masuk Islam. Alhamdulillah, jadi teringat surat an nashr.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An Nashr: 1-3)
Jadi, terkadang image yang buruk tentang sesuatu membuat orang antipati dan enggan untuk bersinggungan dengan hal itu. Namun ada kalanya, image yang buruk justru membuat orang penasaran untuk mengetahui kebenaran isu itu.
Untuk orang jenis pertama, jika mulanya dia meyakini sesuatu yang sebenarnya “salah”, maka dia tidak akan pernah keluar dari keyakinannya karena tak pernah mau membuka cakrawala. Namun sebaliknya, jika apa yang diyakininya itu “benar”, maka dia akan terus berada dijalurnya.
Untuk orang jenis kedua, sikap ini cukup berbahaya jika diterapkan pada semua objek yang dilabeli dengan image buruk. Jika memang objek itu diberi label buruk oleh orang2 yang kompeten di bidangnya, maka percayalah dan tak usah penasaran untuk menyelidiki. Karena dari rasa penasaran ini juga banyak orang yang akhirnya tersesat, karena setelah terjun pada objek, otaknya ikut tercuci.
Contohnya saja sebuah paham yang sudah dinyatakan sesat oleh MUI bahkan para ulama dunia; paham liberal. Maka tak perlulah kita bersusah payah terjun langsung menyelidiki ke objek tersebut, semisal membaca buku2 mereka, apalagi jika kita adalah orang2 yang kapasitas ilmunya pas2an, bukan ulama. Karena hati kita lemah, sementara subhat yang datang menyambar bagaikan petir. Jangan jadikan hati kita seperti tong sampah yang menampung semua benda kotor, tapi selektilah untuk memasukkan hanya yang baik2, begitupun halnya dengan bacaan (ini bukan kata saya lo, kata ustadz). Karena dari rasa penasaran ini, bukan tak mungkin seseorang akan terseret oleh arus dan akhirnya tenggelam dalam kesesatan.
Saya pribadi, pernah mencoba membaca bukunya “orang liberal” dan subhanallah baru beberapa lembar saya sudah bergidik dibuatnya, bagaimana tidak argumen yang mereka utarakan seakan2 sangat bisa diterima oleh akal, seakan2 tampak benar. Langsung saja kuhempaskan buku itu dan kukembalikan pada yang punya.
hmm, hati2 memilih bacaan maupun audio etc, terutama tentang din ini, ambillah dari mereka yang memang kompeten di bidangnya dan dari sumber2 yang benar terpercaya. Untuk buku2 carilah penerbit yang betul2 komitmen, penulis yang berkapasitas. Untuk web2 di internetpun demikian, jangan asal comot aja, asal judulnya islami. Begitupun audio, dengarkan ceramah dari sumber2 yang terpercaya.
Bukannya apatis, tapi berhati2. Karena mereka2 yang menyebarkan bidah, ada kalanya diantara perkataannya ada yang benar namun perlahan2 disisipkan bidahnya (sangat parah jika bidahnya dalam hal aqidah). Terlebih sebagai orang awam, yang baru belajar, tentu kita takkan mampu membedakan mana dari perkataannya yang benar dan yang salah. So, cari yang pasti2 aja.
Ibarat madu, tentu kita hanya mau mengkonsumsi madu murni, bukan madu yang aspal (asli tapi palsu) yang sudah tercampur dan terkontaminasi oleh zat lain. Maka, demikian halnya dalam masalah agama, ambillah hanya yang benar2 murni, bukan yang aspal atau bahkan palsu.
(SEDANGKAN BAGIAN KEDUA INI, KUTULIS KETIKA BENAR2 SUDAH DINGIN, JADI MAKLUM SAJA KALAU RASANYA BEDA)
NB: pren, ingatkan aku jika tulisanku mulai liar, ;)
Hmm daftar koreksi2ku yang berakhir tragis, namun setidaknya daripada berakhir begitu saja di t4 sampah, kurasa tak ada salahnya jika kugoreskan saja di ms word ini –he3, mekso-, agar tak berakhir terlalu tragis dan bisa sedikit diambil manfaatnya.
Adalah sebuah omong kosong jika berkoar2 berdakwah namun di sisi lain sebagian cara yang digunakan haram, hendak meneladadni Robin hood kah? Mencuri untuk kemudian diberikan pada orang2 miskin, menyuapi mulut mereka dengan makanan haram hasil curian? Begitukah?
Ketika ada yang mengingatkan akan kesalahan itu pun tak diterima. Kemudian berdalil dengan pendapat si ini si itu, yang kalau mau jujur pendapat itu tak sesuai dengan al qur’an dan sunnah. Apakah kita lupa bahwa semua perkataan bisa diterima (bila sesuai dengan al qur’an dan sunnah) dan bisa ditolak (bila tidak sesuai dengan al qur’an dan sunnah), kecuali perkatan Rasul yang ma’shum?
Bahkan imam syafii –seorang ulama kenamaan- sendiri pernah mengatakan untuk mengambil pendapatnya jika sesuai dengan al qur’an dan sunnah dan membuangnya jika tidak. Lalu masih pantaskah kita taklid –fanatisme membabi buta- pada seseorang yang “ditokohkan”, dan menelan mentah2 semua perkataannya?? Terlebih jika mengaku sebagai orang yang “cerdas”, paham agama atau bahkan pengemban dakwah/da’i ?
Kalau mau berdalil dengan sekedar pendapat, pendapat itu pun sangat banyak, dari yang mendekati kebenaran sampai yang paling nyeleneh. Dan kalau kita mengumpulkan pendapat2 yang ganjil dari para ulama –yang benar2 ulama tentu-, maka terkumpullah semua keburukan pada diri kita, begitukah yang kita mau? Ataukah kita ingin menjadi “golongan moderat” yang tidak terlalu rusak seperti manusia kebanyakan dan tidak terlalu taat pada syariat? Setengah2 dunk, tapi memang “golongan” itulah yang banyak digemari orang2, mungkin karena lebih fleksibel dan terkesan lebih toleran.
Hmm, moderat di satu sisi namun fanatik di sisi lain, sebuah inkonsistensi alias ga konsisten.
(sebenarnya pengertian moderat yang benar adalah yang beragama sesuai qur’an dan sunnah, tidak ekstrim keras dan ekstrim meremehkan, tapi memang kata moderat sering diselewengkan artinya )
Tak cukup dengan menolak kebenaran, masih ditambah dengan menghujat sebuah manhaj (perlu diingat; MANHAJ bukan harakah) yang biasa saja sebenarnya, hanya manhaj berislam dengan al qur’an dan sunnah sesuai pemahaman salafus sholeh, tak ada yang aneh. Dan memang begitulah seharusnya kita berIslam, bukannya bermanhaj dengan taklid pada tokoh, organisasi/kelompok/pergerakan/harakah, dan kemudian membuat lingkaran2 kecil dalam lingkaran besar Islam, masih dibumbui dengan fanatik dan loyalitas membabi buta (saya masih belum mengerti mengapa ada frase “membabi buta”, sudah babi, buta lagi, parah banget ya?) diatasnya. Padahal seharusnya, loyalitas itu diatas Islam, bukan diatas organisasi de es be.
Dan kemudian menggunakan kata “khilaf” sebagai senjata atau hujjah, hingga kita harus berlapang dada, tak boleh tuding-menuding, tak boleh menyalahkan, tak boleh merasa benar sendiri de es be. Kalimat ini benar sebenarnya jika ditempatkan pada tempatnya, pada masalah fiqih yang memang ulama2 ahlu sunnah berikhtilaf didalamnya. Namun jika masalahnya tidak menjadi khilaf dikalangan ulama ahlu sunnah, apalagi memang ada dalil yang gamblang tentang hal itu, apa kalimat diatas masih relevan?
Dan menuding mereka2 yang mencoba istiqomah diatasnya dengan dengan predikat; kaku, suka memvonis, tak berakhlak, de es be. “Tak kenal maka tak sayang” mungkin penggalan kalimat ini bisa mewakilinya. Sepertinya perlu membaca ini: http://konsultasisyariah.com/apa-makna-salaf-salafi-atau-salafiyun.
----------------------------
Dari sini aku mengambil pelajaran, untuk mendakwahi seseorang –terutama jika dia adalah orang yang pintar, atau hanya sekedar merasa pintar- kita harus pandai2 berargumen dan bersilat lidah. Jika tidak, bisa2 kita yang akan balik “didakwahi”, dan kita hanya bisa terbengong2 dibuatnya, jadi berasa bego banget. Hingga lidah tak mampu lagi meneruskan membaca draft kesalahan2 yang harus dikoreksi. Ibarat menjual produk, agar laku tak cukup hanya dengan membuat produk yang bagus, tapi juga perlu dikemas semenarik mungkin, dan tak lupa promosi yang gencar dan persuasif tentunya.
hmm, pantaslah jika kemudian Nabi Musa alaihissalam memohon pada Allah agar menjadikan Nabi Harun alaihissalam –yang lebih cakap berbicara darinya- agar dijadikan “juru bicara”nya.
Berbicara pun butuh kecerdasan ternyata, tadinya kupikir orang2 yang pintar bicara itu seringkali hanya membual. Bersyukurlah mereka yang diberi kefasihan lisan.
Astaghfirullah, ampuni hamba Ya Allah jika marahnya hamba hanya karena nafsu, dan jika karenanya terucap apa yang seharusnya tak terucap.
(SAMPAI DI BAGIAN INI KUTULIS DENGAN MELEDAK2, WALAUPUN SUDAH AGAK DINGIN SEBENARNYA KARENA MOMENTNYA SUDAH LEWAT CUKUP LAMA)
-------------------------------------------------------------------------
PART II
Melanjutkan kalimat “tak kenal maka tak sayang” diatas
Seperti cerita seorang guru yang melarang muridnya membaca kitab karangan seorang ulama, -entah, mungkin karena dia mendapat info yang salah tentang ulama itu-. Namun ketika dia diberi kitab itu, dengan cover depannya dirobek lebih dulu, sehingga nama pengarangnya terbuang. Ia mengatakan bahwa itu adalah kitab yang bagus.
Hmm, nampaknya kita memang perlu “membaca” –apapun itu: paham maupun seseorang- dengan cara seperti itu, tanpa melihat covernya lebih dulu, dan dimulai dari 0, tanpa mendengarkan stigma2 negatif dan sebaliknya citra2 baik. Barulah kemudian kita bisa menilai dengan objektif. Dan penilaian itu akan lebih objektif lagi jika sebagai “pengamat” pernah benar2 terjun pada objek itu, atau bahkan menjadi bagian dari objek itu, jadi benar2 bisa merasakan secara langsung, bukan hanya “katanya” dan “katanya”.
Karena penilaian yang tidak diawali dari nol, yang belum apa2 sudah ada dilabeli dengan stigma2 seringkali hasilnya tak objektif.
Seorang kawan, pernah tertarik untuk “menyelidiki” sesuatu yang diberi image buruk oleh orang2, hal itu membuatnya penasaran untuk tahu apakah benar yang dituduhkan itu. Daripada hanya percaya dengan “katanya” lebih baik dia terjun langsung ke objek itu pikirnya, dan akhirnya dia dapati bahwa semua tuduhan itu tak benar.
Seperti peristiwa bom WTC yang heboh kala itu, media menggembar-gemborkan bahwa islam itu teroris, dan ternyata image buruk itu menjadi “promosi” tersendiri. Orang2 pun berbondong2 mempelajari Islam untuk menyelidiki apa benar tuduhan itu. Ketika mereka dapati semua kabar itu dusta dan ternyata islam itu indah, akhirnya berbondong2lah mereka masuk Islam. Alhamdulillah, jadi teringat surat an nashr.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An Nashr: 1-3)
Jadi, terkadang image yang buruk tentang sesuatu membuat orang antipati dan enggan untuk bersinggungan dengan hal itu. Namun ada kalanya, image yang buruk justru membuat orang penasaran untuk mengetahui kebenaran isu itu.
Untuk orang jenis pertama, jika mulanya dia meyakini sesuatu yang sebenarnya “salah”, maka dia tidak akan pernah keluar dari keyakinannya karena tak pernah mau membuka cakrawala. Namun sebaliknya, jika apa yang diyakininya itu “benar”, maka dia akan terus berada dijalurnya.
Untuk orang jenis kedua, sikap ini cukup berbahaya jika diterapkan pada semua objek yang dilabeli dengan image buruk. Jika memang objek itu diberi label buruk oleh orang2 yang kompeten di bidangnya, maka percayalah dan tak usah penasaran untuk menyelidiki. Karena dari rasa penasaran ini juga banyak orang yang akhirnya tersesat, karena setelah terjun pada objek, otaknya ikut tercuci.
Contohnya saja sebuah paham yang sudah dinyatakan sesat oleh MUI bahkan para ulama dunia; paham liberal. Maka tak perlulah kita bersusah payah terjun langsung menyelidiki ke objek tersebut, semisal membaca buku2 mereka, apalagi jika kita adalah orang2 yang kapasitas ilmunya pas2an, bukan ulama. Karena hati kita lemah, sementara subhat yang datang menyambar bagaikan petir. Jangan jadikan hati kita seperti tong sampah yang menampung semua benda kotor, tapi selektilah untuk memasukkan hanya yang baik2, begitupun halnya dengan bacaan (ini bukan kata saya lo, kata ustadz). Karena dari rasa penasaran ini, bukan tak mungkin seseorang akan terseret oleh arus dan akhirnya tenggelam dalam kesesatan.
Saya pribadi, pernah mencoba membaca bukunya “orang liberal” dan subhanallah baru beberapa lembar saya sudah bergidik dibuatnya, bagaimana tidak argumen yang mereka utarakan seakan2 sangat bisa diterima oleh akal, seakan2 tampak benar. Langsung saja kuhempaskan buku itu dan kukembalikan pada yang punya.
hmm, hati2 memilih bacaan maupun audio etc, terutama tentang din ini, ambillah dari mereka yang memang kompeten di bidangnya dan dari sumber2 yang benar terpercaya. Untuk buku2 carilah penerbit yang betul2 komitmen, penulis yang berkapasitas. Untuk web2 di internetpun demikian, jangan asal comot aja, asal judulnya islami. Begitupun audio, dengarkan ceramah dari sumber2 yang terpercaya.
Bukannya apatis, tapi berhati2. Karena mereka2 yang menyebarkan bidah, ada kalanya diantara perkataannya ada yang benar namun perlahan2 disisipkan bidahnya (sangat parah jika bidahnya dalam hal aqidah). Terlebih sebagai orang awam, yang baru belajar, tentu kita takkan mampu membedakan mana dari perkataannya yang benar dan yang salah. So, cari yang pasti2 aja.
Ibarat madu, tentu kita hanya mau mengkonsumsi madu murni, bukan madu yang aspal (asli tapi palsu) yang sudah tercampur dan terkontaminasi oleh zat lain. Maka, demikian halnya dalam masalah agama, ambillah hanya yang benar2 murni, bukan yang aspal atau bahkan palsu.
(SEDANGKAN BAGIAN KEDUA INI, KUTULIS KETIKA BENAR2 SUDAH DINGIN, JADI MAKLUM SAJA KALAU RASANYA BEDA)
NB: pren, ingatkan aku jika tulisanku mulai liar, ;)
CATATAN HARIAN SEORANG PRAMUSAJI
211111
(Sebuah Catatan tentang jenis2 pelanggan, dilihat dari sudut pandang seorang pramusaji)
Ada jenis2 pelanggan warung makan/ rumah makan/ warteg (emang warteg itu yang punya musti orang tegal ya?) de es be deh yang disukai dan tidak disukai.
Jenis2 pembeli yang tak disukai antara lain:
1. Pembeli cerewet
Yaitu pembeli yang kalau pesan menu ga cukup hanya dengan menyebutkan menu apa saja yang dipesan, tapi selalu ditambah2i dengan minta ini minta itu, tambah ini tambah itu. Ga nriman lah istilah jawanya. Mending kalau cerewet gitu menu yang dipesan yang mahal, sebanding lah, tapi kalau dah cerewet menunya milih yang murah lagi, huuh sebel BGT deh.
2. Pembeli angkrem
Tipe kedua ini, adalah pembeli yang kalau dah duduk di RM, pantatnya dah kayak dilem, mengeram aja ga pergi2. Lebih parah lagi kalau ditambah dengan mengoceh ngalor ngidul, mending kalau topik pembicaraannya berbobot. Dan yang paling menyebalkan lagi, jika mengeramnya itu karena pembeli itu lagi pacaran (baca: berduaan), huft ini menyebabkan sebel stadium 4. Apalagi jika ditambah lagi dengan menu yang dipilih yang murah, atau bahkan sepiring berdua (ini sih bukan romantis lagi, tapi miskin).
Untuk “mengusir” pembeli2 model gini, tak jarang pramusaji dan empunya RM melakukan gerakan2 tambahan yang membuat mereka merasa tak nyaman dan segera cabut dari RM, semisal: berteriak2 memanggil2 rekannya, mondar-mandir di depan pembeli de es be lah.
(ini untuk warung makan biasa lo, kalau untuk t4 makan yang memang di desain untuk hang out sih sah2 saja kalau berlama2 disana)
3. Pembeli yang sok penting
ada juga pembeli yang sok penting, ngerasa berjasa banget dah menjadi perantara datangnya uang ke tangan empunya RM.
Pembeli2 yang disukai:
1. Pembeli yang nriman
Yaitu pembeli yang ga cerewet kalau beli, kalau pesan menu ya cukup gitu aja, ga minta ini itu.
2. Pembeli yang sering membeli dalam jumlah besar atau yang membeli menu yang mahal
Yaitu pembeli yang kalau pesan menu yang harganya mahal atau kalau beli dalam jumlah banyak.
3. Pembeli yang cepat
Yaitu pembeli yang SMP (selesai makan pulang), ga banyak cingcong
Dari tipe-tipe diatas, termasuk yang manakah anda? (sorry ya kalau coretan ini subjektif sekali, he3)
(Sebuah Catatan tentang jenis2 pelanggan, dilihat dari sudut pandang seorang pramusaji)
Ada jenis2 pelanggan warung makan/ rumah makan/ warteg (emang warteg itu yang punya musti orang tegal ya?) de es be deh yang disukai dan tidak disukai.
Jenis2 pembeli yang tak disukai antara lain:
1. Pembeli cerewet
Yaitu pembeli yang kalau pesan menu ga cukup hanya dengan menyebutkan menu apa saja yang dipesan, tapi selalu ditambah2i dengan minta ini minta itu, tambah ini tambah itu. Ga nriman lah istilah jawanya. Mending kalau cerewet gitu menu yang dipesan yang mahal, sebanding lah, tapi kalau dah cerewet menunya milih yang murah lagi, huuh sebel BGT deh.
2. Pembeli angkrem
Tipe kedua ini, adalah pembeli yang kalau dah duduk di RM, pantatnya dah kayak dilem, mengeram aja ga pergi2. Lebih parah lagi kalau ditambah dengan mengoceh ngalor ngidul, mending kalau topik pembicaraannya berbobot. Dan yang paling menyebalkan lagi, jika mengeramnya itu karena pembeli itu lagi pacaran (baca: berduaan), huft ini menyebabkan sebel stadium 4. Apalagi jika ditambah lagi dengan menu yang dipilih yang murah, atau bahkan sepiring berdua (ini sih bukan romantis lagi, tapi miskin).
Untuk “mengusir” pembeli2 model gini, tak jarang pramusaji dan empunya RM melakukan gerakan2 tambahan yang membuat mereka merasa tak nyaman dan segera cabut dari RM, semisal: berteriak2 memanggil2 rekannya, mondar-mandir di depan pembeli de es be lah.
(ini untuk warung makan biasa lo, kalau untuk t4 makan yang memang di desain untuk hang out sih sah2 saja kalau berlama2 disana)
3. Pembeli yang sok penting
ada juga pembeli yang sok penting, ngerasa berjasa banget dah menjadi perantara datangnya uang ke tangan empunya RM.
Pembeli2 yang disukai:
1. Pembeli yang nriman
Yaitu pembeli yang ga cerewet kalau beli, kalau pesan menu ya cukup gitu aja, ga minta ini itu.
2. Pembeli yang sering membeli dalam jumlah besar atau yang membeli menu yang mahal
Yaitu pembeli yang kalau pesan menu yang harganya mahal atau kalau beli dalam jumlah banyak.
3. Pembeli yang cepat
Yaitu pembeli yang SMP (selesai makan pulang), ga banyak cingcong
Dari tipe-tipe diatas, termasuk yang manakah anda? (sorry ya kalau coretan ini subjektif sekali, he3)
"KEBETULAN" YANG TERENCANA
oleh Lif Syifa pada 15 November 2011 jam 20:00
Seperti sebuah kebetulan, namun aku tak percaya kata “kebetulan”, karena segala yang terjadi di dunia ini sudah terencana dan tertulis dengan rapi di lauhul mahfudz, tanpa meleset sedikitpun.
Menjelang subuh telingaku sudah dimanjakan dengan lantunan surat ar rahman dari speaker masjid (memang biasanya menjelang adzan, masjid2 sering menyetel murottal kan? namun aku tidak sedang membicarakan mengenai tepat atau tidaknya hal itu, setahuku memang tak ada tuntunannya).
Pagi harinya ketika hendak tilawah, saat kubuka al qur’an, subhanallah ternyata bacaanku sudah sampai surat ar rahman juga, akhirnya aku pun membaca surat itu.
Siang harinya, menjelang adzan dhuhur, kembali aku diperdengarkan surat itu.
Subhanallah, aku seperti diingatkan dengan surat ini ketika sedang galau (ah mungkin aku memang terlalu lebay).
Mungkin ini sebuah teguran halus agar aku tak kufur nikmat, agar aku mensyukuri segala yang sudah Allah beri padaku dan tak terlalu merasa susah dengan cobaan yang diberikanNya padaku.
Dan entahlah, surat itu begitu berkesan buatku dibanding surat2 lain, mungkin karena aku tak paham bahasa arab (tahunya paling2; akhi, ukhti, dkk. he3), dan mungkin karena susunan ayat2 dalam surat ini yang unik karena ada kalimat yang diulang2, sehingga aku sangat mengingat kalimat2 itu. Dan mendengarnya benar2 membuat hati ini terenyuh (entah apa kalimat yang tepat untuk menggambarkannya).
Ramadhan tahun lalu pun –di sepuluh malam terakhirnya lebih tepatnya, entah tanggal berapa- ketika aku sedang galau, aku juga diperdengarkan surat ini, melalui lisan imam masjid kampusku, imamnya sampai sesenggukan saking menghayatinya, dan aku pun serasa ikut hanyut dalam lantunan ayat2 itu, syahdu sekali.
Dan ramadhan tahun ini pun demikian, di sepuluh malam terakhir pula, ketika shalat tarawih imamnya juga melantunkan surat yang sama, sampai sesenggukan juga, dan aku kembali hanyut dalam lantunan surat itu. Dan kurasa malam itu adalah malam ramadhan terindah di tahun ini, malam lailatul qadarkah? Allahu a’lam
Jadi, jika ditanya surat cinta siapa yang paling berkesan bagimu? Kujawab “surat cinta dari Allah yang berjudul ar rahman”. Kalau kamu?
“Dan nikmat TuhanMu yang manakah yang kamu dustakan?”
NB: ternyata menjelang magrib pun murottalnya masih sama; ar rahman.
131111
posting yang tertunda,he3
Seperti sebuah kebetulan, namun aku tak percaya kata “kebetulan”, karena segala yang terjadi di dunia ini sudah terencana dan tertulis dengan rapi di lauhul mahfudz, tanpa meleset sedikitpun.
Menjelang subuh telingaku sudah dimanjakan dengan lantunan surat ar rahman dari speaker masjid (memang biasanya menjelang adzan, masjid2 sering menyetel murottal kan? namun aku tidak sedang membicarakan mengenai tepat atau tidaknya hal itu, setahuku memang tak ada tuntunannya).
Pagi harinya ketika hendak tilawah, saat kubuka al qur’an, subhanallah ternyata bacaanku sudah sampai surat ar rahman juga, akhirnya aku pun membaca surat itu.
Siang harinya, menjelang adzan dhuhur, kembali aku diperdengarkan surat itu.
Subhanallah, aku seperti diingatkan dengan surat ini ketika sedang galau (ah mungkin aku memang terlalu lebay).
Mungkin ini sebuah teguran halus agar aku tak kufur nikmat, agar aku mensyukuri segala yang sudah Allah beri padaku dan tak terlalu merasa susah dengan cobaan yang diberikanNya padaku.
Dan entahlah, surat itu begitu berkesan buatku dibanding surat2 lain, mungkin karena aku tak paham bahasa arab (tahunya paling2; akhi, ukhti, dkk. he3), dan mungkin karena susunan ayat2 dalam surat ini yang unik karena ada kalimat yang diulang2, sehingga aku sangat mengingat kalimat2 itu. Dan mendengarnya benar2 membuat hati ini terenyuh (entah apa kalimat yang tepat untuk menggambarkannya).
Ramadhan tahun lalu pun –di sepuluh malam terakhirnya lebih tepatnya, entah tanggal berapa- ketika aku sedang galau, aku juga diperdengarkan surat ini, melalui lisan imam masjid kampusku, imamnya sampai sesenggukan saking menghayatinya, dan aku pun serasa ikut hanyut dalam lantunan ayat2 itu, syahdu sekali.
Dan ramadhan tahun ini pun demikian, di sepuluh malam terakhir pula, ketika shalat tarawih imamnya juga melantunkan surat yang sama, sampai sesenggukan juga, dan aku kembali hanyut dalam lantunan surat itu. Dan kurasa malam itu adalah malam ramadhan terindah di tahun ini, malam lailatul qadarkah? Allahu a’lam
Jadi, jika ditanya surat cinta siapa yang paling berkesan bagimu? Kujawab “surat cinta dari Allah yang berjudul ar rahman”. Kalau kamu?
“Dan nikmat TuhanMu yang manakah yang kamu dustakan?”
NB: ternyata menjelang magrib pun murottalnya masih sama; ar rahman.
131111
posting yang tertunda,he3
CURHAT YANG TERTUNDA
oleh Lif Syifa pada 15 November 2011 jam 19:26
Pernah tidak kamu merasakan ketika sedang bahagia meluap2, sedih hingga air mata berderai2 atau kesal meledak2 dan ingin sekali berbagi pada seorang kawan (baca: curhat), namun karena satu dan lain hal kamu tak dapat langsung bertemu dan curhat padanya, baru beberapa hari kemudian kamu bisa bertemu dan curhat. Ibarat masakan dah ga “panas” lagi, dah ga dapet feelnya. Wajar aja, meluap2nya kemarin curhatnya baru hari ini ketika kita sudah “dingin”.
Pernah tidak kamu merasakan ketika sedang bahagia meluap2, sedih hingga air mata berderai2 atau kesal meledak2 dan ingin sekali berbagi pada seorang kawan (baca: curhat), namun karena satu dan lain hal kamu tak dapat langsung bertemu dan curhat padanya, baru beberapa hari kemudian kamu bisa bertemu dan curhat. Ibarat masakan dah ga “panas” lagi, dah ga dapet feelnya. Wajar aja, meluap2nya kemarin curhatnya baru hari ini ketika kita sudah “dingin”.
Begitupun, ketika suatu saat aku ingin sekali berceloteh (lewat tulisan) tentang apa saja yang sedang hangat2nya ketika itu, namun karena tak sempat (tak ada waktulah, ada waktu tapi tak ada saranalah (netbi), atau ada waktu dan sarana tapi keadaannya tak memungkinkan) hingga akhirnya hanya bisa tersimpan beberapa keyword sebagai note di hp atau di netbi dan beberapa hari kemudian baru tersalurkan, tetap bisa tertulis memang, tapi udah ga dapet feelnya, ibarat makan bakso yang sudah dingin, kurang siip. Hmm, apalagi inspirasi itu sering datang di saat2 tak terduga. Dan kalau aku diberi waktu libur seminggu saja, dari pekerjaan sekolah n pekerjaan rumah (PR kalee, jadi berasa anak sekolahan) ,mungkin enak kali ya, bisa dengan tenang menyalurkan uneg2ku semuanya pada waktunya.
Jadi pengen punya iPhone atau iPad yang bisa dibawa kemana-mana, bahasa kerennya apa ya? aku lupa (o iya, portable) dan bisa digunakan kapan pun, praktis en ga ribet. Ada yang bersedia memberikanya sebagai hadiah? Kalau ada aku pasti senang sekali. he3, ngarep.com. ^^
SEKALI (LAGI) TENTANG BAU
oleh Lif Syifa pada 12 Oktober 2011 jam 19:46
Kali ini saya ingin berbicara (baca: menulis) lagi2 tentang bau, tapi bukan lagi “bau” dalam arti kiasan, melainkan bau yang sebenarnya.
Hmm, ketika kita sedang sakit entah mengapa (mungkin ada yang bisa menjelaskan?) bau badan kita tidak seperti biasanya (sebenarnya ini pengalaman pribadi). Mungkin biasanya bau kecut (bagi yang merasa,he3) tapi ketika sakit baunya benar2 beda, apa mungkin pengaruh reaksi metabolisme tubuh kita yang tak normal seperti biasa ya? atau karena efek obat2an yang kita minum, yang menguap lewat keringat? Entahlah. Atau ku tanyakan saja jawabnya pada rumput yang bergoyang? Ah ku rasa dia tak akan mau menjawab (mulai eror deh).
Ngomong2 soal sakit, mungkin sebagian dari kita kalau sakit ada yang suka ngomel2 dan menggerutu ga jelas, padahal kalau kita tau keutamaan sakit mestinya kita bersyukur udah sakit.
Diantara keutamaan sakit adalah:
1. Sebagai pelebur dosa2
2. Mengingatkan akan dosa2
3. Meninggikan derajat
4. Menambah pahala
5. Saatnya Ibadah hati berupa sabar, de el el
Tentunya semua keutamaan itu berlaku dengan syarat kita sabar menghadapi sakit itu.
Meskipun demikian kita tetap dianjurkan untuk berobat (hmm, sebenarnya saya pribadi paling malas berhubungan dengan yang namaya “dokter”), “tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia menurunkan obat untuk penyakit itu” (HR. Bukhari). Lalu apa saja ya doa2 (ruqyah syar’iyah, sebagian kita mungkin menyangka ruqyah hanya untuk orang kesurupan, padahal tidak demikian) untuk orang sakit? Bagaimana kiat2 supaya sabar? N apa lagi kabar gembira bagi orang sakit dan tertimpa musibah? Terus apa lagi ya? de el el deh Temukan jawabannya di:
http://us.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Abdullah%20Shaleh%20Hadrami/Kado%20Istimewa%20untuk%20Orang%20Sakit%20dan%20Tertimpa%20Musibah
O ya, ada juga buku bagus nih, judulnya “KEDOKTERAN NABI shalallahu ‘alaihi wasallam, Antara Realitas dan Kebohongan” terbitan shafa publika, karya Ustadz Abu Umar Basyier, penulis terkenal itu (penulis favoritku juga, he3)
Allahu a’lam, semoga bermanfaat
Kali ini saya ingin berbicara (baca: menulis) lagi2 tentang bau, tapi bukan lagi “bau” dalam arti kiasan, melainkan bau yang sebenarnya.
Hmm, ketika kita sedang sakit entah mengapa (mungkin ada yang bisa menjelaskan?) bau badan kita tidak seperti biasanya (sebenarnya ini pengalaman pribadi). Mungkin biasanya bau kecut (bagi yang merasa,he3) tapi ketika sakit baunya benar2 beda, apa mungkin pengaruh reaksi metabolisme tubuh kita yang tak normal seperti biasa ya? atau karena efek obat2an yang kita minum, yang menguap lewat keringat? Entahlah. Atau ku tanyakan saja jawabnya pada rumput yang bergoyang? Ah ku rasa dia tak akan mau menjawab (mulai eror deh).
Ngomong2 soal sakit, mungkin sebagian dari kita kalau sakit ada yang suka ngomel2 dan menggerutu ga jelas, padahal kalau kita tau keutamaan sakit mestinya kita bersyukur udah sakit.
Diantara keutamaan sakit adalah:
1. Sebagai pelebur dosa2
2. Mengingatkan akan dosa2
3. Meninggikan derajat
4. Menambah pahala
5. Saatnya Ibadah hati berupa sabar, de el el
Tentunya semua keutamaan itu berlaku dengan syarat kita sabar menghadapi sakit itu.
Meskipun demikian kita tetap dianjurkan untuk berobat (hmm, sebenarnya saya pribadi paling malas berhubungan dengan yang namaya “dokter”), “tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia menurunkan obat untuk penyakit itu” (HR. Bukhari). Lalu apa saja ya doa2 (ruqyah syar’iyah, sebagian kita mungkin menyangka ruqyah hanya untuk orang kesurupan, padahal tidak demikian) untuk orang sakit? Bagaimana kiat2 supaya sabar? N apa lagi kabar gembira bagi orang sakit dan tertimpa musibah? Terus apa lagi ya? de el el deh Temukan jawabannya di:
http://us.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Abdullah%20Shaleh%20Hadrami/Kado%20Istimewa%20untuk%20Orang%20Sakit%20dan%20Tertimpa%20Musibah
O ya, ada juga buku bagus nih, judulnya “KEDOKTERAN NABI shalallahu ‘alaihi wasallam, Antara Realitas dan Kebohongan” terbitan shafa publika, karya Ustadz Abu Umar Basyier, penulis terkenal itu (penulis favoritku juga, he3)
Allahu a’lam, semoga bermanfaat
SIFAT SHALAT DAN WUDHU NABI shallallahu ‘alaihi wasallam (LAGI)
oleh Lif Syifa pada 12 Oktober 2011 jam 8:48
WORO2:
Alhamdulillah, silakan download penjelasan dari dua buah buku kecil dengan judul:
1. Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , karya Syekh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin
2. Sifat Wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , karya Syekh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin
Kajian ini disampaikan oleh Al Ustadz Abdullah Hadrami hafizhahullah. Semoga kajian yang beliau sampaikan bermanfaat. Silakan download pada link berikut:
http://us.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Abdullah%20Shaleh%20Hadrami/Kajian%20Buku%20Sifat%20Sholat%20dan%20Wudhu%20Nabi
NB: alangkah lebih baiknya jika bukunya dimiliki terlebih dahulu
WORO2:
Alhamdulillah, silakan download penjelasan dari dua buah buku kecil dengan judul:
1. Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , karya Syekh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin
2. Sifat Wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , karya Syekh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin
Kajian ini disampaikan oleh Al Ustadz Abdullah Hadrami hafizhahullah. Semoga kajian yang beliau sampaikan bermanfaat. Silakan download pada link berikut:
http://us.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Abdullah%20Shaleh%20Hadrami/Kajian%20Buku%20Sifat%20Sholat%20dan%20Wudhu%20Nabi
NB: alangkah lebih baiknya jika bukunya dimiliki terlebih dahulu
Tentang ULTAH dan LOLAnya si processor
oleh Lif Syifa pada 10 Oktober 2011 jam 22:59
Berkoar-koar berteori memang mudah, namun prakteknya tak selalu semudah teorinya. Beberapa jam lalu aku ditelpon ortu siswa, beliau mengatakan besok akan membawa kue ke sekolah sekitar jam 11, dan bertanya apakah tidak mengganggu, karena besok anaknya berusia tepat 7 tahun. Karena begitu cepat dan mendadak –tanpa ada jeda waktu bagiku untuk berpikir- aku mengiyakan saja permohonannya. Beliau juga sempat sms bertanya jumlah siswa kelas 2, yang terdiri dari 2 kelas.
-Dan memang biasanya jika aku ditohok tiba2 dengan sebuah pertanyaan atau pernyataan yang memojokkan aku akan refleks mengelak, padahal setelah dipikir2 kadang pernyataan itu memang benar, begitupun sebaliknya (seperti contoh diatas), sepertinya ini yang dalam bahasa psikologinya disebut reaktif. Dan biasanya hasil dari respon yang refleks itu selalu tidak memuaskan hingga geram aku dibuatnya, tapi kalau kupikir2 dulu secara mendalam biasanya dah keburu telat, au’ ah gelap. Hmm Kayaknya processor otakku perlu kecepatan lebih deh, biar loadingnya ga lambat (kalau diibaratkan komputer entah pentium berapa ya? mengenaskan sekali), biar cepat memproses pesan dan memberi reaksi yang tepat, dan sepertinya –lagi- inilah yang disebut proaktif-
Namun setelah percakapan itu ditutup, akupun berpikir bagaimana caranya aku mencegah acara ultah besok. Akhirnya kukirimkan saja sms, “maaf bu merayakan ultah itu bukan budaya Islam. Sepertinya berasal dari barat, dan kita dilarang menyerupai suatu kaum. Tapi kalau ibu sudah terlanjur pesan kue, ya diniatkan berbagi rizki aja, insya Allah semoga ga pa2”
Kalau aku di posisi siswa, mudah saja, aku tidak usah masuk sekolah agar aku tak menyaksikan acara ultah itu. Tapi karena aku di posisi yang berbeda –guru- tentu aku aku harus bertindak untuk mencegah hal itu terjadi.
Hmm, semoga aku bisa mencegah apa yang harus aku cegah, mendakwahkan apa yang harus aku dakwahkan dan memperbaiki apa yang harus aku perbaiki , mudahkanlah ya Allah, amin.
Tapi BTW, smsku kok ga dibales2 y?? Dah terkirim belum sih? -_-?
091011
Berkoar-koar berteori memang mudah, namun prakteknya tak selalu semudah teorinya. Beberapa jam lalu aku ditelpon ortu siswa, beliau mengatakan besok akan membawa kue ke sekolah sekitar jam 11, dan bertanya apakah tidak mengganggu, karena besok anaknya berusia tepat 7 tahun. Karena begitu cepat dan mendadak –tanpa ada jeda waktu bagiku untuk berpikir- aku mengiyakan saja permohonannya. Beliau juga sempat sms bertanya jumlah siswa kelas 2, yang terdiri dari 2 kelas.
-Dan memang biasanya jika aku ditohok tiba2 dengan sebuah pertanyaan atau pernyataan yang memojokkan aku akan refleks mengelak, padahal setelah dipikir2 kadang pernyataan itu memang benar, begitupun sebaliknya (seperti contoh diatas), sepertinya ini yang dalam bahasa psikologinya disebut reaktif. Dan biasanya hasil dari respon yang refleks itu selalu tidak memuaskan hingga geram aku dibuatnya, tapi kalau kupikir2 dulu secara mendalam biasanya dah keburu telat, au’ ah gelap. Hmm Kayaknya processor otakku perlu kecepatan lebih deh, biar loadingnya ga lambat (kalau diibaratkan komputer entah pentium berapa ya? mengenaskan sekali), biar cepat memproses pesan dan memberi reaksi yang tepat, dan sepertinya –lagi- inilah yang disebut proaktif-
Namun setelah percakapan itu ditutup, akupun berpikir bagaimana caranya aku mencegah acara ultah besok. Akhirnya kukirimkan saja sms, “maaf bu merayakan ultah itu bukan budaya Islam. Sepertinya berasal dari barat, dan kita dilarang menyerupai suatu kaum. Tapi kalau ibu sudah terlanjur pesan kue, ya diniatkan berbagi rizki aja, insya Allah semoga ga pa2”
Kalau aku di posisi siswa, mudah saja, aku tidak usah masuk sekolah agar aku tak menyaksikan acara ultah itu. Tapi karena aku di posisi yang berbeda –guru- tentu aku aku harus bertindak untuk mencegah hal itu terjadi.
Hmm, semoga aku bisa mencegah apa yang harus aku cegah, mendakwahkan apa yang harus aku dakwahkan dan memperbaiki apa yang harus aku perbaiki , mudahkanlah ya Allah, amin.
Tapi BTW, smsku kok ga dibales2 y?? Dah terkirim belum sih? -_-?
091011
About TEACHER and CHILDREN WORLD (LASKAR LEBAH PART 2)
oleh Lif Syifa pada 6 November 2011 jam 21:03
Frase "children world" ini sebenarnya nyontek dari seorang teman, karena keren aja menurutku, he3. Boleh ya?
-Children-
Hmm, ingin kembali menceritakan mereka.
Mukhlis si pemaluMukhlis yang sebelumnya tak pernah mau memimpin doa bahkan suatu ketika dia sampai mau menangis ketika terus kudesak, ketika kuterapkan metode bergilir hingga semua siswa kebagian maju, ketika tiba gilirannya dia mau maju dengan suka rela, tanpa perlu dibujuk atau dipaksa. Namun dia masih belum bersedia menjadi imam sholat, sepertinya perlu juga diterapkan metode ini. (Ternyata setelah digilir pun, dia tetap tak mau menjadi imam, sampai menangis bahkan)
Wahyu cukup pandai pelajaran berhitung, namun ketika kusuruh mengerjakan soal non hitungan, dia terus mendatangiku minta dibacakan soalnya, dia beralasan kalau membaca sendiri akan lama. Ketika kutanyakan jangan2 dia belum bisa membaca, kemudian ku tes ternyata dia bisa tapi memang lama seperti katanya.
wahyu si muka bayiO ya waktu itu aku sudah pernah bercerita bahwa wajah si wahyu lucu bukan? Dan hari itu (261011) ada seorang anak yang meledeknya dengan menyebut wajahnya seperti bayi, -he3 benar juga ya- dia pun kesal dengan ledekan itu, kukatakan untuk membelanya “bagus to baby face”, namun nampaknya dia tak paham maknanya.
AjiAji, hmm entah dia tertarik sekali mempertanyakan statusku, seingatku sudah 3 kali. Suatu ketika, Aji bertanya “ustadzah sudah ada suaminya?” ku jawab dengan menahan tawa, “belum”. Yang lain menimpali ”berarti ustadzah masih muda”. He3, sederhana sekali cara mereka menarik kesimpulan.
Si Mauas; entahlah, tak pernah terlihat senang jika kupanggil dengan nama aslinya entah itu Abu Bakar, Umar ataupun Usman. Dia lebih ridho jika dipanggil dengan singkatan namanya; mauas.
Mauas dengan jidat kanannya yang hitam karena penghapusMauas yang emang dari sononya udah berkulit gelap, eh oleh seorang guru –yang mungkin karena ribut- mukanya malah dilap pakai penghapus (di sekolah kami memakai white board) alhasil mukanya yang sudah gelap ditambahi lagi dengan goresan hitam, black and black deh. Maksud hati mau memfotonya, apa daya hp yang kualitas kameranya sudah tak bagus pake ditambah2i eror lagi, yah ga dapet gambarnya deh.
BTW, ngomong2, hari ini (311011) banyak anak yang mukanya di make up pakai penghapus, macam2lah rupa mereka lucu2, tapi menurutku mauas lah yang paling lucu.
Hmm, faiz juga cukup lucu udah rambutnya potongan TNI, wajahnya coreng moreng pula, siip deh.
Ihsan si ndut yang temperamenIhsan yang berkulit putih, kontras sekali ketika wajahnya ada coreng moreng hitamnya.
Faiz dengan rambut ala TNInyaOh iya, hari ini ada yang rambutnya baru lo, faiz rambutnya dipotong bak potongan seorang TNI, lain lagi dengan vickar rambutnya dipotong sih tapi cuma bagian bawahnya sementara atasnya tetap panjang jadi mirip batok kelapa.
Kamis lalu (201011) kelasku menang lomba membuat sarapan dengan bahan dasar roti tawar. Perlombaannya dibagi dua; kelas 1-3 membuat sarapan dari roti, kelas 4-6 membuat nasgor. Dan dari total peserta untuk kategori roti tawar sebanyak 7 kelas, kelasku berhasil mendapat juara 2, padahal mereka menghias roti dengan kreasinya sendiri –aku hanya membantu tetek bengeknya -. Roti yang ku pilih untuk dinilai adalah kreasi Shinta dan Deva, Deva membuat roti berbentuk wajah dengan sosis sebagai pelengkap utama. Sedang Shinta menghias roti dengan keju yang dibentuk menyerupai love. Dan hari ini (241011) hadiahnya dibagikan, isinya sosis dan wafer, senang sekali mereka mendapatkannya.
Imron yang gemar dan pandai mengaji, tak hanya senang membaca al quran dari mushafnya, diapun gemar melantunkan surat2 dari al quran, hmm kebiasaan yang sangat baik dan perlu dibudayakan daripada sibuk melantunkan lagu2 “ga nggenah”. Dan kudengar dia adalah salah satu siswa yang mendapat bantuan dari yayasan untuk sekolah gratis di sekolah tempatku mengajar ini, dia berasal dari keluarga kurang mampu (kebanyakan yang bersekolah disini memang dari kalangan menengah ke atas, orang sekelas imron tentu tak mampu membayar sppnya yang lumayan). Ketika ada hal2 yang perlu diberitahukan pada ortu yang kadangkala disampaikan melalui sms, ortunya seringkali tak mendapatkan info itu, bagaimana tidak hp saja beliau tak punya, sebuah benda yang saat ini sudah menjadi barang lumrah. Kala itu ketika dia tak membawa buku cetak karena memang dia tak punya, dan kusuruh membeli, diapun menjawab bahwa dia tak ada uang untuk membeli. Mungkin karena semua hal itu rasanya aku sayang sekali padanya –atau mungkin lebih tepatnya kasihan-. Diapun kerap mengatakan dia selalu bangun sejak dini hari. Dan sebelum ku tau semua itu, sejak kejadian dia dicurigai kesurupan aku mulai “tertarik” padanya.
Fajri yang mata n mulutnya seringkali membulat
Fajri, sosok yang mungil dan raut wajahnya yang innocent dan lucu karena seringkali mata dan mulutnya membulat membentuk huruf O, ditambah lagi caranya memakai tas ransel yang kepanjangan hingga lututnya, tidak tampak seperti anak yang “jago”, tapi ketika dia berkelahi dengan fidhal –aku cukup kaget juga melihat mereka berkelahi, brutal sekali- fidhal sampai menangis dan tampak babak belur dibuatnya, sementara dia tidak tampak terluka sedikitpun dan tampak sangat kuat dan sangar. (hmm, memang seseorang yang tampak ringkih, lemah dan tak meyakinkan belum tentu dia tak jago, begitupun sebaliknya orang yang tampak sangar dan berbadan besar belum tentu jago. Bukankah biasanya yang menjadi superhero, di kehidupan normalnya seringkali tampak lemah, culun, konyol de se be bukan? hingga wajar sosoknya tak pernah dilirik pasangan jenisnya, namun ketika berubah menjadi superhero akan banyak yang tertarik padanya)
Aril anak kelas 1 yang mengaji padaku, ketika mengaji kuperhatikan tangannya seringkali menarik2 kaos kakinya.
Althof, tak bergeming meski teman2nya dah pada kaburAlthof yang masih sangat TK itu ketika mengaji, -biasanya selain membaca mereka juga menulis apa yang mereka baca hari itu- ketika yang lain sibuk berebut agar bisa membaca lebih dulu, dia malah asyik menulis lebih dulu, dan tidak akan mau disuruh membaca sebelum selesai menulis. Dan pernah suatu ketika, sampai semua teman2nya pada kabur dia masih tetap menulis dan tak mau membaca dulu.
Putra si mbemSi putra yang waktu itu kukatakan pinggir bibirnya selalu tampak seperti “berengen”, ternyata memang itu gangguan, entah mungkin sejenis sariawan, dan beberapa kali kulihat pinggir bibirnya berwarna biru semacam tinta yang dipakai untuk stempel, ketika kutanya ternyata itu adalah obat untuk mengobati gangguan di bibirnya itu. Hmm, kalau menurut hipotesisku mungkin itu sejenis kutu air yang biasanya menyerang kaki yang selalu basah, mungkin karena pinggir bibirnya selalu basah kali ya? –kesimpulan yang konyol sekali-
Ada-ada saja tingkah mereka.
Putra, karena sudah naik ke qiroati 2 maka dia harus pindah kelas, namun awalnya dia tak mau pindah, karena malu mungkin. Meski dibujuk, dia tetap tak bergeming.
Lain lagi dengan Sabil, ketika dia sudah harus tashih (tes untuk naik ke qiroati yang lebih tinggi) dia malah menangis, hari berikutnya baru dia mau tashih dengan sukarela.
Akhirnya si Putra mau pindah dengan sukarela ketika ada temannya, si Sabil.
Si Iman yang rajin n pintar, lancar2 saja ketika disuruh tashih dan pindah kelas, tanpa acara merajuk atau menangis.
Hmm, tapi aku jadi tak bisa sering berinteraksi dengan mereka lagi, terutama Putra yang sering kucubiti pipi tembemnya.
-Teacher-
Dari perjalananku beberapa bulan terakhir mencoba menjadi pendidik, aku mulai paham mengapa guru2 –sejak tingkat SD sampai PT- selalu suka pada murid yang pintar. Bagaimana tidak kalau bahasa jawanya “ulang-ulangane ra ngentekno kapur”, terjemahan bebasnya “untuk mengajarinya tidak menghabiskan kapur” hingga tak perlu menghabiskan banyak waktu dan pikiran. Dengan menjelaskan sedikit saja dia akan mengerti, berbeda dengan mereka yang “agak lamban”, harus dijelaskan beberapa kali, dengan beberapa cara, itupun syukur2 kalau akhirnya benar2 bisa paham, kalau masih tetap tak bisa? Hmm, kalau aku harus banyak2 bersabar dan berusaha tetap bertampang “manis” karena yang kuajar adalah orang lain, jika adikku sendiri –seperti dulu ketika sering mengajarinya- mungkin sudah ku omel-omeli habis2an.
Hmm, susah juga jadi guru, tapi yang aku tak habis pikir mengapa ya gaji guru sangat rendah jika dibandingkan dengan profesi lain? mengenaskan sekali pikirku. Padahal objek yang dia garap bukan sekedar benda mati yang jika salah garap masih bisa diulang lagi, tapi manusia yang kalau salah garap bisa2 rusak dan merusak. Dan cerdas saja tak cukup sebagai modal untuk menjadi guru -bahkan menurutku untuk menjadi guru tak perlu sosok yang sangat cerdas, jenius, yang berIQ sangat tinggi- tapi harus bisa mencerdaskan (karena banyak orang cerdas yang tak mampu menularkan kecerdasannya, akibat ketidakmampuannya mentransfer pemahamannya dengan bahasa dan cara yang mudah dipahami orang2 yang tak secerdas dirinya) dan mampu menjadi teladan serta menanamkan nilai2 pada anak didiknya.
Terlebih anak2 sekarang sangat kritis, mereka tidak begitu saja mau menerima ketika kita mulai nyerocos mereka harus begini begitu, tak boleh begini begitu, mereka akan terus bertanya mengapa dan mengapa hingga mereka puas dengan argumen yang kita sodorkan. Mereka pun tak segan2 menyanggah pendapat kita jika dirasa tak sesuai dengan jalan pikiran mereka. -jaman saya dulu seingatku sepertinya murid2 tak seperti ini, jika guru mengatakan A maka murid2 akan taklid begitu saja tanpa berani menyanggah atau bertanya mengapa, mungkin pada jamanku anak2 masih sangat lugu dan bodoh kali ya?-. Mereka tak canggung2 menanggapi dan mengomentari apa2 yang disampaikan gurunya. Bahkan jika suatu ketika gurunya “khilaf” mengucapkan atau berbuat sesuatu yang kurang pas, mereka akan spontan menegur, langsung tanpa basa basi atau ewuh pakewuh (istilah jawa yang juga baru belakangan ini kudapat, yang artinya kurang lebih sungkan).
Hmm, jamannya memang sudah berbeda ya?
(Aku pribadi lebih senang mengajarnya mengalir saja tanpa terikat aturan baku; standar ini itu, program ini itu dan segala aturan administrasi yang tak praktis. Seenaknya sendiri ya? he3)
-School and home-
Ngomong2 tentang guru dan murid, sekalian aja sama tempatnya; sekolah. Dari apa yang kulihat dan kubaca, sekolah2 bernafas Islam juga termasuk pesantren, terkadang –aku tak ingin menggunakan kata “seringkali”- dijadikan semacam tempat karantina bagi anak2 bermasalah dan dijadikan tempat penitipan bagi anak2 yang kurang perhatian. Contoh saja, ketika ada anak yang sangat “nakal”, biasanya orang2 akan berkomentar “masukkan saja ke pesantren”. Begitupun halnya dengan anak2 yang kekurangan perhatian karena kedua ortunya terlalu sibuk, anaknya akan dimasukkan ke sekolah2 islam yang favorit. -Walau tak semua ortu seperti itu-
Dengan begitu mereka berharap anak2nya akan disulap “bim salabim” menjadi anak2 yang manis dan sholeh/ah. Dan seakan2 tanggung jawab ortu untuk mendidik sudah selesai dengan memasukkan mereka ke sekolah2 itu. Hmm, padahal sekolah saja tak cukup, sangat tak cukup bahkan. Seharusnya rumahlah tempat mereka mendapat pendidikan pertama kali, seharusnya ibulah pendidik pertama, yang tak hanya mengenalkan mereka bagaimana cara berjalan namun juga mengenalkan mereka pada agamanya. Rasanya, sudah saatnya kita kembali menjalankan peran kita masing2.
Apalagi jika atmosfer sekolah dan rumah sangat kontras, ketika di sekolah mereka melihat bagaimana guru2 mereka berjilbab rapi lalu dirumah melihat ibunya memakai baju dan celana mini, tentu si anak akan bingung, yang mana yang harus diikutinya. Di satu sisi ortu memilihkan sekolah yang islami, namun di sisi lain tak menciptakan atmosfer rumah dan teladan yang islami, sebuah anomali, bagai berjalan ke dua arah berlawanan secara bersamaan, bisa dipastikan akan jatuh terjengkang.
Sungguh benar bahwa kewajiban ortu pada anak pertama kali adalah memilihkan ibu yang baik. Dari ibu yang baiklah akan mungkin lahir generasi2 yang baik pula, begitupun sebaliknya. Walau tetap hidayah itu dari Allah, sementara kita –sebagai ortu- sekedar berusaha untuk menjadi sebab datangnya hidayah itu.
Allahu a’lam.
Frase "children world" ini sebenarnya nyontek dari seorang teman, karena keren aja menurutku, he3. Boleh ya?
-Children-
Hmm, ingin kembali menceritakan mereka.
Mukhlis si pemaluMukhlis yang sebelumnya tak pernah mau memimpin doa bahkan suatu ketika dia sampai mau menangis ketika terus kudesak, ketika kuterapkan metode bergilir hingga semua siswa kebagian maju, ketika tiba gilirannya dia mau maju dengan suka rela, tanpa perlu dibujuk atau dipaksa. Namun dia masih belum bersedia menjadi imam sholat, sepertinya perlu juga diterapkan metode ini. (Ternyata setelah digilir pun, dia tetap tak mau menjadi imam, sampai menangis bahkan)
Wahyu cukup pandai pelajaran berhitung, namun ketika kusuruh mengerjakan soal non hitungan, dia terus mendatangiku minta dibacakan soalnya, dia beralasan kalau membaca sendiri akan lama. Ketika kutanyakan jangan2 dia belum bisa membaca, kemudian ku tes ternyata dia bisa tapi memang lama seperti katanya.
wahyu si muka bayiO ya waktu itu aku sudah pernah bercerita bahwa wajah si wahyu lucu bukan? Dan hari itu (261011) ada seorang anak yang meledeknya dengan menyebut wajahnya seperti bayi, -he3 benar juga ya- dia pun kesal dengan ledekan itu, kukatakan untuk membelanya “bagus to baby face”, namun nampaknya dia tak paham maknanya.
AjiAji, hmm entah dia tertarik sekali mempertanyakan statusku, seingatku sudah 3 kali. Suatu ketika, Aji bertanya “ustadzah sudah ada suaminya?” ku jawab dengan menahan tawa, “belum”. Yang lain menimpali ”berarti ustadzah masih muda”. He3, sederhana sekali cara mereka menarik kesimpulan.
Si Mauas; entahlah, tak pernah terlihat senang jika kupanggil dengan nama aslinya entah itu Abu Bakar, Umar ataupun Usman. Dia lebih ridho jika dipanggil dengan singkatan namanya; mauas.
Mauas dengan jidat kanannya yang hitam karena penghapusMauas yang emang dari sononya udah berkulit gelap, eh oleh seorang guru –yang mungkin karena ribut- mukanya malah dilap pakai penghapus (di sekolah kami memakai white board) alhasil mukanya yang sudah gelap ditambahi lagi dengan goresan hitam, black and black deh. Maksud hati mau memfotonya, apa daya hp yang kualitas kameranya sudah tak bagus pake ditambah2i eror lagi, yah ga dapet gambarnya deh.
BTW, ngomong2, hari ini (311011) banyak anak yang mukanya di make up pakai penghapus, macam2lah rupa mereka lucu2, tapi menurutku mauas lah yang paling lucu.
Hmm, faiz juga cukup lucu udah rambutnya potongan TNI, wajahnya coreng moreng pula, siip deh.
Ihsan si ndut yang temperamenIhsan yang berkulit putih, kontras sekali ketika wajahnya ada coreng moreng hitamnya.
Faiz dengan rambut ala TNInyaOh iya, hari ini ada yang rambutnya baru lo, faiz rambutnya dipotong bak potongan seorang TNI, lain lagi dengan vickar rambutnya dipotong sih tapi cuma bagian bawahnya sementara atasnya tetap panjang jadi mirip batok kelapa.
Kamis lalu (201011) kelasku menang lomba membuat sarapan dengan bahan dasar roti tawar. Perlombaannya dibagi dua; kelas 1-3 membuat sarapan dari roti, kelas 4-6 membuat nasgor. Dan dari total peserta untuk kategori roti tawar sebanyak 7 kelas, kelasku berhasil mendapat juara 2, padahal mereka menghias roti dengan kreasinya sendiri –aku hanya membantu tetek bengeknya -. Roti yang ku pilih untuk dinilai adalah kreasi Shinta dan Deva, Deva membuat roti berbentuk wajah dengan sosis sebagai pelengkap utama. Sedang Shinta menghias roti dengan keju yang dibentuk menyerupai love. Dan hari ini (241011) hadiahnya dibagikan, isinya sosis dan wafer, senang sekali mereka mendapatkannya.
Imron yang gemar dan pandai mengaji, tak hanya senang membaca al quran dari mushafnya, diapun gemar melantunkan surat2 dari al quran, hmm kebiasaan yang sangat baik dan perlu dibudayakan daripada sibuk melantunkan lagu2 “ga nggenah”. Dan kudengar dia adalah salah satu siswa yang mendapat bantuan dari yayasan untuk sekolah gratis di sekolah tempatku mengajar ini, dia berasal dari keluarga kurang mampu (kebanyakan yang bersekolah disini memang dari kalangan menengah ke atas, orang sekelas imron tentu tak mampu membayar sppnya yang lumayan). Ketika ada hal2 yang perlu diberitahukan pada ortu yang kadangkala disampaikan melalui sms, ortunya seringkali tak mendapatkan info itu, bagaimana tidak hp saja beliau tak punya, sebuah benda yang saat ini sudah menjadi barang lumrah. Kala itu ketika dia tak membawa buku cetak karena memang dia tak punya, dan kusuruh membeli, diapun menjawab bahwa dia tak ada uang untuk membeli. Mungkin karena semua hal itu rasanya aku sayang sekali padanya –atau mungkin lebih tepatnya kasihan-. Diapun kerap mengatakan dia selalu bangun sejak dini hari. Dan sebelum ku tau semua itu, sejak kejadian dia dicurigai kesurupan aku mulai “tertarik” padanya.
Fajri yang mata n mulutnya seringkali membulat
Fajri, sosok yang mungil dan raut wajahnya yang innocent dan lucu karena seringkali mata dan mulutnya membulat membentuk huruf O, ditambah lagi caranya memakai tas ransel yang kepanjangan hingga lututnya, tidak tampak seperti anak yang “jago”, tapi ketika dia berkelahi dengan fidhal –aku cukup kaget juga melihat mereka berkelahi, brutal sekali- fidhal sampai menangis dan tampak babak belur dibuatnya, sementara dia tidak tampak terluka sedikitpun dan tampak sangat kuat dan sangar. (hmm, memang seseorang yang tampak ringkih, lemah dan tak meyakinkan belum tentu dia tak jago, begitupun sebaliknya orang yang tampak sangar dan berbadan besar belum tentu jago. Bukankah biasanya yang menjadi superhero, di kehidupan normalnya seringkali tampak lemah, culun, konyol de se be bukan? hingga wajar sosoknya tak pernah dilirik pasangan jenisnya, namun ketika berubah menjadi superhero akan banyak yang tertarik padanya)
Aril anak kelas 1 yang mengaji padaku, ketika mengaji kuperhatikan tangannya seringkali menarik2 kaos kakinya.
Althof, tak bergeming meski teman2nya dah pada kaburAlthof yang masih sangat TK itu ketika mengaji, -biasanya selain membaca mereka juga menulis apa yang mereka baca hari itu- ketika yang lain sibuk berebut agar bisa membaca lebih dulu, dia malah asyik menulis lebih dulu, dan tidak akan mau disuruh membaca sebelum selesai menulis. Dan pernah suatu ketika, sampai semua teman2nya pada kabur dia masih tetap menulis dan tak mau membaca dulu.
Putra si mbemSi putra yang waktu itu kukatakan pinggir bibirnya selalu tampak seperti “berengen”, ternyata memang itu gangguan, entah mungkin sejenis sariawan, dan beberapa kali kulihat pinggir bibirnya berwarna biru semacam tinta yang dipakai untuk stempel, ketika kutanya ternyata itu adalah obat untuk mengobati gangguan di bibirnya itu. Hmm, kalau menurut hipotesisku mungkin itu sejenis kutu air yang biasanya menyerang kaki yang selalu basah, mungkin karena pinggir bibirnya selalu basah kali ya? –kesimpulan yang konyol sekali-
Ada-ada saja tingkah mereka.
Putra, karena sudah naik ke qiroati 2 maka dia harus pindah kelas, namun awalnya dia tak mau pindah, karena malu mungkin. Meski dibujuk, dia tetap tak bergeming.
Lain lagi dengan Sabil, ketika dia sudah harus tashih (tes untuk naik ke qiroati yang lebih tinggi) dia malah menangis, hari berikutnya baru dia mau tashih dengan sukarela.
Akhirnya si Putra mau pindah dengan sukarela ketika ada temannya, si Sabil.
Si Iman yang rajin n pintar, lancar2 saja ketika disuruh tashih dan pindah kelas, tanpa acara merajuk atau menangis.
Hmm, tapi aku jadi tak bisa sering berinteraksi dengan mereka lagi, terutama Putra yang sering kucubiti pipi tembemnya.
-Teacher-
Dari perjalananku beberapa bulan terakhir mencoba menjadi pendidik, aku mulai paham mengapa guru2 –sejak tingkat SD sampai PT- selalu suka pada murid yang pintar. Bagaimana tidak kalau bahasa jawanya “ulang-ulangane ra ngentekno kapur”, terjemahan bebasnya “untuk mengajarinya tidak menghabiskan kapur” hingga tak perlu menghabiskan banyak waktu dan pikiran. Dengan menjelaskan sedikit saja dia akan mengerti, berbeda dengan mereka yang “agak lamban”, harus dijelaskan beberapa kali, dengan beberapa cara, itupun syukur2 kalau akhirnya benar2 bisa paham, kalau masih tetap tak bisa? Hmm, kalau aku harus banyak2 bersabar dan berusaha tetap bertampang “manis” karena yang kuajar adalah orang lain, jika adikku sendiri –seperti dulu ketika sering mengajarinya- mungkin sudah ku omel-omeli habis2an.
Hmm, susah juga jadi guru, tapi yang aku tak habis pikir mengapa ya gaji guru sangat rendah jika dibandingkan dengan profesi lain? mengenaskan sekali pikirku. Padahal objek yang dia garap bukan sekedar benda mati yang jika salah garap masih bisa diulang lagi, tapi manusia yang kalau salah garap bisa2 rusak dan merusak. Dan cerdas saja tak cukup sebagai modal untuk menjadi guru -bahkan menurutku untuk menjadi guru tak perlu sosok yang sangat cerdas, jenius, yang berIQ sangat tinggi- tapi harus bisa mencerdaskan (karena banyak orang cerdas yang tak mampu menularkan kecerdasannya, akibat ketidakmampuannya mentransfer pemahamannya dengan bahasa dan cara yang mudah dipahami orang2 yang tak secerdas dirinya) dan mampu menjadi teladan serta menanamkan nilai2 pada anak didiknya.
Terlebih anak2 sekarang sangat kritis, mereka tidak begitu saja mau menerima ketika kita mulai nyerocos mereka harus begini begitu, tak boleh begini begitu, mereka akan terus bertanya mengapa dan mengapa hingga mereka puas dengan argumen yang kita sodorkan. Mereka pun tak segan2 menyanggah pendapat kita jika dirasa tak sesuai dengan jalan pikiran mereka. -jaman saya dulu seingatku sepertinya murid2 tak seperti ini, jika guru mengatakan A maka murid2 akan taklid begitu saja tanpa berani menyanggah atau bertanya mengapa, mungkin pada jamanku anak2 masih sangat lugu dan bodoh kali ya?-. Mereka tak canggung2 menanggapi dan mengomentari apa2 yang disampaikan gurunya. Bahkan jika suatu ketika gurunya “khilaf” mengucapkan atau berbuat sesuatu yang kurang pas, mereka akan spontan menegur, langsung tanpa basa basi atau ewuh pakewuh (istilah jawa yang juga baru belakangan ini kudapat, yang artinya kurang lebih sungkan).
Hmm, jamannya memang sudah berbeda ya?
(Aku pribadi lebih senang mengajarnya mengalir saja tanpa terikat aturan baku; standar ini itu, program ini itu dan segala aturan administrasi yang tak praktis. Seenaknya sendiri ya? he3)
-School and home-
Ngomong2 tentang guru dan murid, sekalian aja sama tempatnya; sekolah. Dari apa yang kulihat dan kubaca, sekolah2 bernafas Islam juga termasuk pesantren, terkadang –aku tak ingin menggunakan kata “seringkali”- dijadikan semacam tempat karantina bagi anak2 bermasalah dan dijadikan tempat penitipan bagi anak2 yang kurang perhatian. Contoh saja, ketika ada anak yang sangat “nakal”, biasanya orang2 akan berkomentar “masukkan saja ke pesantren”. Begitupun halnya dengan anak2 yang kekurangan perhatian karena kedua ortunya terlalu sibuk, anaknya akan dimasukkan ke sekolah2 islam yang favorit. -Walau tak semua ortu seperti itu-
Dengan begitu mereka berharap anak2nya akan disulap “bim salabim” menjadi anak2 yang manis dan sholeh/ah. Dan seakan2 tanggung jawab ortu untuk mendidik sudah selesai dengan memasukkan mereka ke sekolah2 itu. Hmm, padahal sekolah saja tak cukup, sangat tak cukup bahkan. Seharusnya rumahlah tempat mereka mendapat pendidikan pertama kali, seharusnya ibulah pendidik pertama, yang tak hanya mengenalkan mereka bagaimana cara berjalan namun juga mengenalkan mereka pada agamanya. Rasanya, sudah saatnya kita kembali menjalankan peran kita masing2.
Apalagi jika atmosfer sekolah dan rumah sangat kontras, ketika di sekolah mereka melihat bagaimana guru2 mereka berjilbab rapi lalu dirumah melihat ibunya memakai baju dan celana mini, tentu si anak akan bingung, yang mana yang harus diikutinya. Di satu sisi ortu memilihkan sekolah yang islami, namun di sisi lain tak menciptakan atmosfer rumah dan teladan yang islami, sebuah anomali, bagai berjalan ke dua arah berlawanan secara bersamaan, bisa dipastikan akan jatuh terjengkang.
Sungguh benar bahwa kewajiban ortu pada anak pertama kali adalah memilihkan ibu yang baik. Dari ibu yang baiklah akan mungkin lahir generasi2 yang baik pula, begitupun sebaliknya. Walau tetap hidayah itu dari Allah, sementara kita –sebagai ortu- sekedar berusaha untuk menjadi sebab datangnya hidayah itu.
Allahu a’lam.
Rabu, 30 November 2011
TEMBOK PUN DAPAT BERBICARA
oleh Lif Syifa pada 2 November 2011 jam 8:29
“Tembok pun dapat berbicara”, ku rasa penggalan peribahasa itu tidaklah berlebihan. Dari pengamatanku memang demikianlah adanya –tentu yang kumaksud bukan temboknya bisa bicara beneran-.
Misalnya saja dari pengalamanmu atau orang lain, ketika kau berkeluh kesah pada seorang temanmu, mengghibah atau sekedar celetukan2 tanpa makna, bukan tidak mungkin suatu saat –bahkan segera setelah kau berlalu dari hadapannya- temanmu akan membeberkannya pada orang lain, dengan atau tanpa disadarinya. Terlebih jika temanmu adalah orang yang gemar “bersiul”. Dan ketika pembicaraan itu sampai pada orang ke3 pun, masih sangat mungkin “kabar” itu akan berlanjut ke orang ke 4, 5, 6 dst, hingga jadilah ia “kabar berantai”.
Apalagi jika sudah berantai dari orang ke 2 ke orang ke 3 dst, sangat mungkin ada tambahan “bumbu2 penguat rasa” dengan ataupun tanpa disengaja. Contoh mudahnya saja jika kau pernah melakukan permainan bisik2 berantai, dari orang pertama sampai ke2 mungkin kalimatnya masih sama, tapi jika sudah berlanjut sampai orang ke 4 dst biasanya akan berbeda bukan?
Dan tiba2 kau mendapati dirimu terkaget2 ketika rahasiamu akhirnya menjadi rahasia umum.
Apalagi jika “curhatmu” menyangkut orang lain, maka akan menjadikan keadaaan yang tak nyaman antara kau dan dia, bisa jadi menimbulkan salah paham, atau jika sebelumnya hubunganmu sudah tak baik bisa2 tambah runyam.
Itu jika curhatmu kau dilakukan pada 1 orang, maka bagaiman pula jika keluh kesah atau ghibah itu dilakukan dalam bentuk forum curhat bebas di forum umum dan terbuka semacam FB?
Kegemaran berkeluh kesah pada manusia pun bukanlah suatu hal yang baik, karena seringkali didalamnya kita mengadukan takdir Allah pada kita, yang secara tidak langsung menunjukkan ketidak-ridho-an kita akan takdir itu. Saya jadi teringat sebuah kalimat bijak dari seorang salafus sholeh –saya lupa orangnyna-, yang begini kurang lebih bunyinya: “orang bodoh adalah orang yang mengadukan Allah pada manusia, sedangkan orang bijak adalah orang yang mengadukan manusia pada Allah”
Yuk curhat pada Allah!! Sebab manusia ada kalanya bosan jika terus menerus kita curhati (curhat yang tidak mengandung unsur2 buruk tentu), kalaupun perlu curhat mari selektif memilih objek yang kita jadikan “tempat sampah” (baca: tempat curhat).
Jika kita dalam posisi “tempat sampah”, kita pun harus benar2 bisa menjaga rahasia si “klien”, bahkan pun tanpa ada instruksi darinya untuk menjaganya, sebab memang tidak semua hal yang kita tahu atau dengar perlu untuk diceritakan. Seperti sebuah perkataan bahwa orang yang tak bisa menjaga rahasia adalah budak, sebaliknya yang bisa menjaga rahasia adalah orang merdeka.
Memang benar bahwa perkataan seseorang itu mencerminkan siapa dirinya. Seperti filosofi sebuah teko dia hanya akan menuangkan apa yang ada di dalamnya, jika dia berisi susu maka diapun hanya akan menuangkan susu, tidak mungkin teh.
Hingga untuk bisa mengenali seseorang, tak perlu kau bersusah payah mencari tahu kesana kemari, cukuplah kau kumpulkan tiap serpihan kata2nya, dengan begitu tampaklah wujudnya secara utuh, siapa dia, orang macam apa dia de el el.
Karena itu kita harus menjaga lisan kita dari mengucapkan hal2 tak berguna apalagi perkataan buruk. Apalagi ada 2 makhluk yang selalu mencatat setiap perbuatan, termasuk perkataan kita. Coba kita bayangkan jika ada yang merekam semua perkataan kita, tentu kita akan berusaha sebisa mungkin untuk berkata hanya yang baik2, apalagi jika rekaman itu akan diputar ulang di kemudian hari dimana hari itu seluruh orang akan turut menyaksikannya.
Allahu a’lam. Semoga saya menjadi orang yang pandai menasehati diri sendiri.
“Tembok pun dapat berbicara”, ku rasa penggalan peribahasa itu tidaklah berlebihan. Dari pengamatanku memang demikianlah adanya –tentu yang kumaksud bukan temboknya bisa bicara beneran-.
Misalnya saja dari pengalamanmu atau orang lain, ketika kau berkeluh kesah pada seorang temanmu, mengghibah atau sekedar celetukan2 tanpa makna, bukan tidak mungkin suatu saat –bahkan segera setelah kau berlalu dari hadapannya- temanmu akan membeberkannya pada orang lain, dengan atau tanpa disadarinya. Terlebih jika temanmu adalah orang yang gemar “bersiul”. Dan ketika pembicaraan itu sampai pada orang ke3 pun, masih sangat mungkin “kabar” itu akan berlanjut ke orang ke 4, 5, 6 dst, hingga jadilah ia “kabar berantai”.
Apalagi jika sudah berantai dari orang ke 2 ke orang ke 3 dst, sangat mungkin ada tambahan “bumbu2 penguat rasa” dengan ataupun tanpa disengaja. Contoh mudahnya saja jika kau pernah melakukan permainan bisik2 berantai, dari orang pertama sampai ke2 mungkin kalimatnya masih sama, tapi jika sudah berlanjut sampai orang ke 4 dst biasanya akan berbeda bukan?
Dan tiba2 kau mendapati dirimu terkaget2 ketika rahasiamu akhirnya menjadi rahasia umum.
Apalagi jika “curhatmu” menyangkut orang lain, maka akan menjadikan keadaaan yang tak nyaman antara kau dan dia, bisa jadi menimbulkan salah paham, atau jika sebelumnya hubunganmu sudah tak baik bisa2 tambah runyam.
Itu jika curhatmu kau dilakukan pada 1 orang, maka bagaiman pula jika keluh kesah atau ghibah itu dilakukan dalam bentuk forum curhat bebas di forum umum dan terbuka semacam FB?
Kegemaran berkeluh kesah pada manusia pun bukanlah suatu hal yang baik, karena seringkali didalamnya kita mengadukan takdir Allah pada kita, yang secara tidak langsung menunjukkan ketidak-ridho-an kita akan takdir itu. Saya jadi teringat sebuah kalimat bijak dari seorang salafus sholeh –saya lupa orangnyna-, yang begini kurang lebih bunyinya: “orang bodoh adalah orang yang mengadukan Allah pada manusia, sedangkan orang bijak adalah orang yang mengadukan manusia pada Allah”
Yuk curhat pada Allah!! Sebab manusia ada kalanya bosan jika terus menerus kita curhati (curhat yang tidak mengandung unsur2 buruk tentu), kalaupun perlu curhat mari selektif memilih objek yang kita jadikan “tempat sampah” (baca: tempat curhat).
Jika kita dalam posisi “tempat sampah”, kita pun harus benar2 bisa menjaga rahasia si “klien”, bahkan pun tanpa ada instruksi darinya untuk menjaganya, sebab memang tidak semua hal yang kita tahu atau dengar perlu untuk diceritakan. Seperti sebuah perkataan bahwa orang yang tak bisa menjaga rahasia adalah budak, sebaliknya yang bisa menjaga rahasia adalah orang merdeka.
Memang benar bahwa perkataan seseorang itu mencerminkan siapa dirinya. Seperti filosofi sebuah teko dia hanya akan menuangkan apa yang ada di dalamnya, jika dia berisi susu maka diapun hanya akan menuangkan susu, tidak mungkin teh.
Hingga untuk bisa mengenali seseorang, tak perlu kau bersusah payah mencari tahu kesana kemari, cukuplah kau kumpulkan tiap serpihan kata2nya, dengan begitu tampaklah wujudnya secara utuh, siapa dia, orang macam apa dia de el el.
Karena itu kita harus menjaga lisan kita dari mengucapkan hal2 tak berguna apalagi perkataan buruk. Apalagi ada 2 makhluk yang selalu mencatat setiap perbuatan, termasuk perkataan kita. Coba kita bayangkan jika ada yang merekam semua perkataan kita, tentu kita akan berusaha sebisa mungkin untuk berkata hanya yang baik2, apalagi jika rekaman itu akan diputar ulang di kemudian hari dimana hari itu seluruh orang akan turut menyaksikannya.
Allahu a’lam. Semoga saya menjadi orang yang pandai menasehati diri sendiri.
LASKAR LEBAH
oleh Lif Syifa pada 10 Oktober 2011 jam 22:12
Sekedar ingin berbagi tentang “warna-warni” anak-anak didikku, para laskar lebah. Mengapa lebah? karena lebah adalah makhluk yang mengajarkan filosofi hidup yang indah, memakan hanya yang baik2 –sari bunga, itupun tidak asal bunga- dan mengeluarkan yang baik pula –madu-, tahu balas budi –menyerbukkan bunga2 yang dia ambil sarinya-, juga menebarkan manfaat bagi makhluk2 disekitarnya –manusia salah satunya-. Dan aku berharap anak-anakku bisa mengambil filosofi itu.
Anak-anak yang polos, apa adanya dan masih bersih. Merekalah aset berharga jika disepuh dengan benar, oleh orang yag tepat. Aku seperti melihat serpihan2 diriku ada pada mereka.
Anak-anak kelas 2 Habasyah, inilah mereka:
Ihsan si si gendut n temperamen; lantang suaranya sangat cocok disuruh menertibkan teman2nya untuk memimpin doa dan baris berbaris, cocok menjadi pemimpin walaupun sepertinya ia akan memimpin secara otoriter dan dengan cara militer, emosional memang jika marah suka berteriak dan memukul. Namun suatu ketika aku bertanya tentang cita2, rupanya ia ingin menjadi ustadz, karena itu ketika ia mulai temperamen ku katakan padanya “katanya mau jadi ustadz, ga boleh pukul temannya”. (dari sisi emosionalnya dia seperti aku, walaupun caraku mengekspresikan tak sama)
Nabila si cerewet dan hiperaktif; cerewetnya minta ampun, kalau sudah bicara ga ada titik koma dan sangat panjang. Sangat hiperaktif kayak cacing kepanasan, sukanya nggelibet dan sangat suka tampil. Juga cengeng; gampang menangis tapi cepat redanya, walaupun juga cerdas terutama masalah mengaji en hafalan surat serta doa2. Nakal tapi manja. (tadinya aku berpikir anak yang nakal itu tidak manja dan suka menangis, ternyata sebaliknya, justru anak2 yang pendiam atau standar2 malah yang jarang atau bahkan tak pernah menangis di sekolah)
Mukhlis si pemalu; disuruh memimpin doa saja tidak pernah mau, padahal teman-temannya seringkali berebut jika tak ditunjuk. Jika diibaratkan pria dewasa, dia adalah pria tampan yang pemalu namun cerdas. Tapi juga masih cengeng, kalau sudah nangis bisa seharian –lebih tepatnya setengah hari- ga berhenti.
Aji si proporsional; cerdas (baik akademik maupun agama), kritis; suka bertanya dan rasa ingin tahunya tinggi terutama masalah2 agama, berani tampil, juga cakap berbicara.
Abid si mr R; tak bisa melafalkan huruf R dengan jelas, ditambah suaranya yang pelan hingga ketika berbicara suaranya terdengar lucu. (he3, akupun tak bisa melafalkan huruf itu dengan jelas). Melihat sorot matanya pun membuatku merasa iba, dan memang dia sering dijadikan kalah2an oleh ihsan.
Shinta; si cerdas yang tak terlalu menonjolkan diri, lucu rambutnya seringkali menyembul dari balik jilbabnya dan suka memakai gelang warna-warni, ditambah lagi kalau tersenyum –karena memang dia murah senyum- gigi2nya yang tak lagi utuh karena karies gigi berebut menampakkan diri.
Devina si pendiam; tak banyak bicara dan tak banyak tingkah.
Lutfia si lamban; suaranya sangat pelan, tubuhnya juga ringkih tidak seenerjik teman-temannya, juga lamban. Menatap matanya membuat ku merasa iba. (dari sisi ketidak energikannya, aku seperti melihat sepotong diriku padanya)
Afi si cerewet; 11 12 lah dengan nabila, kalau bicara medok banget dan mimik wajahnya lucu ketika bercerita karena bibirnya sampai monyong-monyong kalau bercerita. Juga cukup cengeng, jika bertengkar dengan temannya ujung-ujungnya nangis.
Wahyu si lucu, wajahnya benar2 polos khas anak2, pipinya tembem, kalau berbicara mimiknya lucu, dan masih sering ingusan. (pertama melihatnya saya pikir dia agak “kurang cerdas”, ternyata tidak). Kalau sudah menangis –misalnya ketika diejek temannya saat dia BAB di celana- maka dia akan ngambek dan susah sekali didiamkan.
Mauas, jika sudah dibuat jengkel temannya muncul sifat ngambeknya, hingga dia akan memunculkan aksi manyunnyaj sambil matanya memicing melihat orang yang membuatnya jengkel. Sebenarnya mauas itu adalah singkatan dari namanya yang panjang bak kereta api, nama panjangnya adalah Muhammad Abu Bakar Umar Usman Ali Abdus Salam.
Faiz sosok yang sedang2 saja menurutku, tidak terlalu nakal dan tidak terlalu pendiam.
Ian sosok yang paling bongsor di kelas, karena memang dia sempat tidak naik kelas, kalau lagi ga mood bisa2 dia hanya akan menulis sebaris dua baris.
Deva anak baru pindahan dari sekolah negeri; dalam hal kecepatan menerima pelajaran dia setali tiga uang dengan ian. Mungkin karena background sekolah asalnya, dia tidak begitu familiar dengan doa2 de es be. Dia bahkan belum hafal bacaan sholat sebagaimana teman lainnya, begitu pula dengan mengaji dan hafalan surat pendeknya.
Vickar si medok, asli jawa banget. Dia baru 2 minggu ini masuk, setelah 2 bulan cuti ke jawa. Wajahnya juga lucu apalagi jika dia memulai aksi mangapnya, mulutnya membulat dan tampangnya polos banget. Entah wajahnya seperti tokoh kartun yang mana, atau kalau wajahnya dijadikan kartun pasti lucu. (jika melihat wajah anak2 seringkali aku merasa beberapa dari mereka mirip tokoh2 kartun, ha3 mungkin ini sedikit kesintinganku)
Hikma si kalem, tidak cerewet dan juga tidak pendiam, jika sedang menulis atau mengerjakan tugas mimik mukanya sangat serius sampai berkerut jidatnya (ha3, dari sisi ini dia sepertiku, bahkan salah seorang temanku sampai heran melihat ekspresiku ketika sedang serius mengerjakan sesuatu. Bahkan ketika itu ada yang berceloteh “lihat! Ustadzah serius!!”, ketika aku sedang asyik bernetbookria).
Bagaimanapun adanya mereka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kurasa mereka semua berpotensi, berpotensi untuk menjadi baik. Dan bukankah memang kita diciptakan berwarna-warni untuk kemudian memanfaatkan potensi masing2 untuk kebaikan? Dan bukankah sejarah mereka belum berakhir? Hingga tak boleh dan tak perlu kita memvonis mereka yang saat ini tampak tak berbakat suatu saat tak akan menjadi sukses, mereka yang saat ini tampak nakal suatu saat tak akan menjadi baik, begitupun sebaliknya. Akupun dulu ketika masih kelas 2 SD –seingatku- aku bahkan belum pandai membaca dan menulis, hingga ketika guruku mencatat di papan tulis, ditambah lagi tulisannya yang bersambung, kuikuti saja tulisan itu dan kuukir di buku tulisku, setiba dirumah ketika ditanya itu tulisan apa dan bagaimana bacanya, aku akan menjawab tak tahu, bodoh sekali ya? Ho3
Melihat dan berkumpul dengan mereka adalah hiburan tersendiri, semoga aku bisa mendidik mereka dengan baik, menjadikan mereka anak-anak yang shaleh-shalehah dan cerdas. Walau terkadang cukup geram juga dibuatnya, apalagi jika mereka mulai berulah; ribut, bertengkar, berkelahi, “baku pukul”, menangis de el el. Butuh kesabaran ekstra memang untuk mendidik mereka.
Namun bahagia sekali rasanya ketika melihat mereka bisa melafalkan doa, bisa berwudhu dengan benar dan sangat antusias jika dijelaskan tentang din ini. Seringkali harus menyamakan frekuensi dengan cara berpikir mereka jika ingin memahamkan mereka, seringkali harus menjadi anak-anak agar bisa menyatu dengan mereka. Walau masih perlu banyak belajar agar bisa benar-benar memahami mereka dan bisa
Aku juga malu pada mereka yang masih kelas 2 tapi hafalan surat pendeknya sudah banyak, mungkin karena mereka masih bersih, untuk membuat mereka hafal satu surat pun tak butuh waktu lama. Berbeda sekali dengan gurunya yang tumpul sekali kalau disuruh menghafal dan mungkin juga faktor banyaknya dosa.
Juga satu hal yang kupelajari dari mereka; bagaimanapun tadinya mereka berkelahi, memukul, atau saling mengejek, tapi setelah itu mereka akan kembali akur seperti tak pernah terjadi apa-apa, tidak ada dendam. Tidak seperti orang dewasa yang sangat suka memendam kesumat, indah sekali jika kita bisa menjadi anak kecil dalam beberapa hal, termasuk dalam hal memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain.
______________________
Kalau ini anak-anak 2 Thoif, kelas sebelah yang juga ku ajar dalam beberapa pelajaran;
Imron; kalau sudah ngambek dia akan diam mematung tak berkedip dan tak mau beranjak dari tempat dia berdiri, aku dan rekanku sempat bingung ketika pertama kali menghadapi aksinya, kami pikir dia kesurupan sampai diruqyah segala dan ga mempan –karena memang dia ga kesurupan, ha3-. Dia juga cerdas dalam hal mengaji dan hafalan doa serta surat2 pendek. Di sela2 waktu senggangnya, ketika teman2nya asyik bermain, beberapa kali aku memergokinya –emangnya maling? He3- sedang membaca Al Qur’an. Dan ketika kudekati dan kukatakan aku ingin mendengarnya mengaji, dia malah berhenti.
Teguh; wajahnya lucu khas anak2 banget, sangat suka melihatnya, kadang masih ingusan dan sangat suka nggelibet –mungkin karena itu pernah temannya berceloteh kalau aku suka padanya, ha3 ada-ada saja- . Dia juga yang pernah menegurku saat kakiku terlihat.
Ariel si bongsor; hingga tadinya ku sempat berfikir dia lebih tua dari teman-temannya.
Abel si cantik dan kalem, juga cerdas.
Fajri wajahnya polos sekali dan ketika dewasa nanti ku pikir dia akan menjadi pria yang tampan, sangat suka ekspresinya ketika sedang serius sampai mangap dan membulat mulutnya dan membulat matanya.
Fidhal sosok yang cerdas juga cakap.
Hira si tembem; pipinya sangat tembem dan wajahnya sangat lucu, cara bicaranya pun masih sangat anak-anak, sifatnya pun lebih kekanakkanakan dibanding teman-temannya. Dia juga seringkali bertengkar dengan teman-temannya. Kalau menulis sangat lamban, tapi ternyata dia cukup cerdas dalam hal hitung2an –asal ga usah nulis soalnya dulu- (hmm, orang yang lamban dalam satu hal, memang tak selalu lamban dalam hal lain)
Dewi si vokal; sangat suka bercerita atau menanggapi hal-hal yang berhubungan dengan apa yang sedang aku jelaskan. Dia tak bisa menyebutkan huruf “s” dengan jelas, dan akan terdengar seperti “ts” atau ﺚ
Andini si kalem, tidak banyak bicara dan tak banyak tingkah, namun juga cukup cerdas.
Nashwa n nashita si kembar yang tidak identik sebenarnya, namun aku masih sering salah membedakan keduanya.
Ola, cukup besar dibanding teman2nya, namun rada lamban.
Dzikra, ekspresinya lucu ketika mengerjakan tugas.
Farid, diwajahnya ada bekas luka –sepertinya- yang tampak seperti tompel (ternyata setelah kuklarifikasi lebih lanjut, itu adalah bekas terkena obat nyamuk bakar, hmm waktu kecil aku juga pernah terkena obat nyamuk bakar), lucu, sosok yang tampak biasa2 saja namun cukup cerdas ternyata.
Kifli sosok yang sedang2 saja.
Akmal si bengal, tak pernah mau disuruh maju memimpin doa.
__________________
Kisah anak2ku yang lain, yang rata2 masih kelas 1;
Meskipun setingkat, namun mereka berbeda2 tingkat kedewasaannya (dan ternyata orang dewasa pun demikian, orang yang lebih tua belum tentu lebih dewasa, seperti kata orang: menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa belum tentu) ada yang sudah “ngerti” bisa disuruh mengerjakan tugas de es be, ada yang masih “sangat anak2” hingga perlu perhatian lebih agar mereka tidak kabur ketika sibuk mengurusi yang lain.
Ada yang ketika mengaji saat dia sedang berusaha mengingat2 huruf yang dibaca atau lupa, dia akan berekspresi sangat lucu, tangannya akan bergerak2 ga jelas atau memukul2 bukunya.
Ada yang sangat kesusahan mengucapkan suatu huruf, dan ekspresinya jadi lucu ketika sedang bersusah payah berusaha mengucapkan huruf itu.
Ada yang suaranya sangat pelan, hingga aku harus memasang telingaku baik2 ketika giliran dia membaca. Juga masih berjiwa TK, kabarnya dia sering keluyuran pada jam pelajaran untuk menangkap kodok. Ketika aku “ngetes” bertanya tentang perburuan kodoknya, dia tampak sangat antusias.
Ada yang rada tulalit walau badannya sangat bongsor.
Ada yang wajahnya lucu, pipinya tembem dan di pinggir bibirnya selalu nampak seperti orang “berengen” walaupun tidak sebenarnya. Namun juga cukup cerdas dan dewasa.
Ada yang ketika mengaji lancar2 saja, bisa mengucapkan huruf dengan benar tanpa bersusah payah.
Ada yang wajahnya lucu sekaligus melas.
_________________
De el el deh, udah puanjang banget, hmm mungkin lain kali ku sambung lagi.
Love U all deh ^^b
Moga jadi anak sholeh sholehah
Belum nikah aja udah punya anak segini banyak, he3
Allahu a’lam
Sekedar ingin berbagi tentang “warna-warni” anak-anak didikku, para laskar lebah. Mengapa lebah? karena lebah adalah makhluk yang mengajarkan filosofi hidup yang indah, memakan hanya yang baik2 –sari bunga, itupun tidak asal bunga- dan mengeluarkan yang baik pula –madu-, tahu balas budi –menyerbukkan bunga2 yang dia ambil sarinya-, juga menebarkan manfaat bagi makhluk2 disekitarnya –manusia salah satunya-. Dan aku berharap anak-anakku bisa mengambil filosofi itu.
Anak-anak yang polos, apa adanya dan masih bersih. Merekalah aset berharga jika disepuh dengan benar, oleh orang yag tepat. Aku seperti melihat serpihan2 diriku ada pada mereka.
Anak-anak kelas 2 Habasyah, inilah mereka:
Ihsan si si gendut n temperamen; lantang suaranya sangat cocok disuruh menertibkan teman2nya untuk memimpin doa dan baris berbaris, cocok menjadi pemimpin walaupun sepertinya ia akan memimpin secara otoriter dan dengan cara militer, emosional memang jika marah suka berteriak dan memukul. Namun suatu ketika aku bertanya tentang cita2, rupanya ia ingin menjadi ustadz, karena itu ketika ia mulai temperamen ku katakan padanya “katanya mau jadi ustadz, ga boleh pukul temannya”. (dari sisi emosionalnya dia seperti aku, walaupun caraku mengekspresikan tak sama)
Nabila si cerewet dan hiperaktif; cerewetnya minta ampun, kalau sudah bicara ga ada titik koma dan sangat panjang. Sangat hiperaktif kayak cacing kepanasan, sukanya nggelibet dan sangat suka tampil. Juga cengeng; gampang menangis tapi cepat redanya, walaupun juga cerdas terutama masalah mengaji en hafalan surat serta doa2. Nakal tapi manja. (tadinya aku berpikir anak yang nakal itu tidak manja dan suka menangis, ternyata sebaliknya, justru anak2 yang pendiam atau standar2 malah yang jarang atau bahkan tak pernah menangis di sekolah)
Mukhlis si pemalu; disuruh memimpin doa saja tidak pernah mau, padahal teman-temannya seringkali berebut jika tak ditunjuk. Jika diibaratkan pria dewasa, dia adalah pria tampan yang pemalu namun cerdas. Tapi juga masih cengeng, kalau sudah nangis bisa seharian –lebih tepatnya setengah hari- ga berhenti.
Aji si proporsional; cerdas (baik akademik maupun agama), kritis; suka bertanya dan rasa ingin tahunya tinggi terutama masalah2 agama, berani tampil, juga cakap berbicara.
Abid si mr R; tak bisa melafalkan huruf R dengan jelas, ditambah suaranya yang pelan hingga ketika berbicara suaranya terdengar lucu. (he3, akupun tak bisa melafalkan huruf itu dengan jelas). Melihat sorot matanya pun membuatku merasa iba, dan memang dia sering dijadikan kalah2an oleh ihsan.
Shinta; si cerdas yang tak terlalu menonjolkan diri, lucu rambutnya seringkali menyembul dari balik jilbabnya dan suka memakai gelang warna-warni, ditambah lagi kalau tersenyum –karena memang dia murah senyum- gigi2nya yang tak lagi utuh karena karies gigi berebut menampakkan diri.
Devina si pendiam; tak banyak bicara dan tak banyak tingkah.
Lutfia si lamban; suaranya sangat pelan, tubuhnya juga ringkih tidak seenerjik teman-temannya, juga lamban. Menatap matanya membuat ku merasa iba. (dari sisi ketidak energikannya, aku seperti melihat sepotong diriku padanya)
Afi si cerewet; 11 12 lah dengan nabila, kalau bicara medok banget dan mimik wajahnya lucu ketika bercerita karena bibirnya sampai monyong-monyong kalau bercerita. Juga cukup cengeng, jika bertengkar dengan temannya ujung-ujungnya nangis.
Wahyu si lucu, wajahnya benar2 polos khas anak2, pipinya tembem, kalau berbicara mimiknya lucu, dan masih sering ingusan. (pertama melihatnya saya pikir dia agak “kurang cerdas”, ternyata tidak). Kalau sudah menangis –misalnya ketika diejek temannya saat dia BAB di celana- maka dia akan ngambek dan susah sekali didiamkan.
Mauas, jika sudah dibuat jengkel temannya muncul sifat ngambeknya, hingga dia akan memunculkan aksi manyunnyaj sambil matanya memicing melihat orang yang membuatnya jengkel. Sebenarnya mauas itu adalah singkatan dari namanya yang panjang bak kereta api, nama panjangnya adalah Muhammad Abu Bakar Umar Usman Ali Abdus Salam.
Faiz sosok yang sedang2 saja menurutku, tidak terlalu nakal dan tidak terlalu pendiam.
Ian sosok yang paling bongsor di kelas, karena memang dia sempat tidak naik kelas, kalau lagi ga mood bisa2 dia hanya akan menulis sebaris dua baris.
Deva anak baru pindahan dari sekolah negeri; dalam hal kecepatan menerima pelajaran dia setali tiga uang dengan ian. Mungkin karena background sekolah asalnya, dia tidak begitu familiar dengan doa2 de es be. Dia bahkan belum hafal bacaan sholat sebagaimana teman lainnya, begitu pula dengan mengaji dan hafalan surat pendeknya.
Vickar si medok, asli jawa banget. Dia baru 2 minggu ini masuk, setelah 2 bulan cuti ke jawa. Wajahnya juga lucu apalagi jika dia memulai aksi mangapnya, mulutnya membulat dan tampangnya polos banget. Entah wajahnya seperti tokoh kartun yang mana, atau kalau wajahnya dijadikan kartun pasti lucu. (jika melihat wajah anak2 seringkali aku merasa beberapa dari mereka mirip tokoh2 kartun, ha3 mungkin ini sedikit kesintinganku)
Hikma si kalem, tidak cerewet dan juga tidak pendiam, jika sedang menulis atau mengerjakan tugas mimik mukanya sangat serius sampai berkerut jidatnya (ha3, dari sisi ini dia sepertiku, bahkan salah seorang temanku sampai heran melihat ekspresiku ketika sedang serius mengerjakan sesuatu. Bahkan ketika itu ada yang berceloteh “lihat! Ustadzah serius!!”, ketika aku sedang asyik bernetbookria).
Bagaimanapun adanya mereka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kurasa mereka semua berpotensi, berpotensi untuk menjadi baik. Dan bukankah memang kita diciptakan berwarna-warni untuk kemudian memanfaatkan potensi masing2 untuk kebaikan? Dan bukankah sejarah mereka belum berakhir? Hingga tak boleh dan tak perlu kita memvonis mereka yang saat ini tampak tak berbakat suatu saat tak akan menjadi sukses, mereka yang saat ini tampak nakal suatu saat tak akan menjadi baik, begitupun sebaliknya. Akupun dulu ketika masih kelas 2 SD –seingatku- aku bahkan belum pandai membaca dan menulis, hingga ketika guruku mencatat di papan tulis, ditambah lagi tulisannya yang bersambung, kuikuti saja tulisan itu dan kuukir di buku tulisku, setiba dirumah ketika ditanya itu tulisan apa dan bagaimana bacanya, aku akan menjawab tak tahu, bodoh sekali ya? Ho3
Melihat dan berkumpul dengan mereka adalah hiburan tersendiri, semoga aku bisa mendidik mereka dengan baik, menjadikan mereka anak-anak yang shaleh-shalehah dan cerdas. Walau terkadang cukup geram juga dibuatnya, apalagi jika mereka mulai berulah; ribut, bertengkar, berkelahi, “baku pukul”, menangis de el el. Butuh kesabaran ekstra memang untuk mendidik mereka.
Namun bahagia sekali rasanya ketika melihat mereka bisa melafalkan doa, bisa berwudhu dengan benar dan sangat antusias jika dijelaskan tentang din ini. Seringkali harus menyamakan frekuensi dengan cara berpikir mereka jika ingin memahamkan mereka, seringkali harus menjadi anak-anak agar bisa menyatu dengan mereka. Walau masih perlu banyak belajar agar bisa benar-benar memahami mereka dan bisa
Aku juga malu pada mereka yang masih kelas 2 tapi hafalan surat pendeknya sudah banyak, mungkin karena mereka masih bersih, untuk membuat mereka hafal satu surat pun tak butuh waktu lama. Berbeda sekali dengan gurunya yang tumpul sekali kalau disuruh menghafal dan mungkin juga faktor banyaknya dosa.
Juga satu hal yang kupelajari dari mereka; bagaimanapun tadinya mereka berkelahi, memukul, atau saling mengejek, tapi setelah itu mereka akan kembali akur seperti tak pernah terjadi apa-apa, tidak ada dendam. Tidak seperti orang dewasa yang sangat suka memendam kesumat, indah sekali jika kita bisa menjadi anak kecil dalam beberapa hal, termasuk dalam hal memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain.
______________________
Kalau ini anak-anak 2 Thoif, kelas sebelah yang juga ku ajar dalam beberapa pelajaran;
Imron; kalau sudah ngambek dia akan diam mematung tak berkedip dan tak mau beranjak dari tempat dia berdiri, aku dan rekanku sempat bingung ketika pertama kali menghadapi aksinya, kami pikir dia kesurupan sampai diruqyah segala dan ga mempan –karena memang dia ga kesurupan, ha3-. Dia juga cerdas dalam hal mengaji dan hafalan doa serta surat2 pendek. Di sela2 waktu senggangnya, ketika teman2nya asyik bermain, beberapa kali aku memergokinya –emangnya maling? He3- sedang membaca Al Qur’an. Dan ketika kudekati dan kukatakan aku ingin mendengarnya mengaji, dia malah berhenti.
Teguh; wajahnya lucu khas anak2 banget, sangat suka melihatnya, kadang masih ingusan dan sangat suka nggelibet –mungkin karena itu pernah temannya berceloteh kalau aku suka padanya, ha3 ada-ada saja- . Dia juga yang pernah menegurku saat kakiku terlihat.
Ariel si bongsor; hingga tadinya ku sempat berfikir dia lebih tua dari teman-temannya.
Abel si cantik dan kalem, juga cerdas.
Fajri wajahnya polos sekali dan ketika dewasa nanti ku pikir dia akan menjadi pria yang tampan, sangat suka ekspresinya ketika sedang serius sampai mangap dan membulat mulutnya dan membulat matanya.
Fidhal sosok yang cerdas juga cakap.
Hira si tembem; pipinya sangat tembem dan wajahnya sangat lucu, cara bicaranya pun masih sangat anak-anak, sifatnya pun lebih kekanakkanakan dibanding teman-temannya. Dia juga seringkali bertengkar dengan teman-temannya. Kalau menulis sangat lamban, tapi ternyata dia cukup cerdas dalam hal hitung2an –asal ga usah nulis soalnya dulu- (hmm, orang yang lamban dalam satu hal, memang tak selalu lamban dalam hal lain)
Dewi si vokal; sangat suka bercerita atau menanggapi hal-hal yang berhubungan dengan apa yang sedang aku jelaskan. Dia tak bisa menyebutkan huruf “s” dengan jelas, dan akan terdengar seperti “ts” atau ﺚ
Andini si kalem, tidak banyak bicara dan tak banyak tingkah, namun juga cukup cerdas.
Nashwa n nashita si kembar yang tidak identik sebenarnya, namun aku masih sering salah membedakan keduanya.
Ola, cukup besar dibanding teman2nya, namun rada lamban.
Dzikra, ekspresinya lucu ketika mengerjakan tugas.
Farid, diwajahnya ada bekas luka –sepertinya- yang tampak seperti tompel (ternyata setelah kuklarifikasi lebih lanjut, itu adalah bekas terkena obat nyamuk bakar, hmm waktu kecil aku juga pernah terkena obat nyamuk bakar), lucu, sosok yang tampak biasa2 saja namun cukup cerdas ternyata.
Kifli sosok yang sedang2 saja.
Akmal si bengal, tak pernah mau disuruh maju memimpin doa.
__________________
Kisah anak2ku yang lain, yang rata2 masih kelas 1;
Meskipun setingkat, namun mereka berbeda2 tingkat kedewasaannya (dan ternyata orang dewasa pun demikian, orang yang lebih tua belum tentu lebih dewasa, seperti kata orang: menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa belum tentu) ada yang sudah “ngerti” bisa disuruh mengerjakan tugas de es be, ada yang masih “sangat anak2” hingga perlu perhatian lebih agar mereka tidak kabur ketika sibuk mengurusi yang lain.
Ada yang ketika mengaji saat dia sedang berusaha mengingat2 huruf yang dibaca atau lupa, dia akan berekspresi sangat lucu, tangannya akan bergerak2 ga jelas atau memukul2 bukunya.
Ada yang sangat kesusahan mengucapkan suatu huruf, dan ekspresinya jadi lucu ketika sedang bersusah payah berusaha mengucapkan huruf itu.
Ada yang suaranya sangat pelan, hingga aku harus memasang telingaku baik2 ketika giliran dia membaca. Juga masih berjiwa TK, kabarnya dia sering keluyuran pada jam pelajaran untuk menangkap kodok. Ketika aku “ngetes” bertanya tentang perburuan kodoknya, dia tampak sangat antusias.
Ada yang rada tulalit walau badannya sangat bongsor.
Ada yang wajahnya lucu, pipinya tembem dan di pinggir bibirnya selalu nampak seperti orang “berengen” walaupun tidak sebenarnya. Namun juga cukup cerdas dan dewasa.
Ada yang ketika mengaji lancar2 saja, bisa mengucapkan huruf dengan benar tanpa bersusah payah.
Ada yang wajahnya lucu sekaligus melas.
_________________
De el el deh, udah puanjang banget, hmm mungkin lain kali ku sambung lagi.
Love U all deh ^^b
Moga jadi anak sholeh sholehah
Belum nikah aja udah punya anak segini banyak, he3
Allahu a’lam
MENGENDUS BAU
oleh Lif Syifa pada 10 Oktober 2011 jam 21:09
Alhamdulillah meskipun hanya beberapa –lebih dari 1 sudah bisa disebut beberapa kan? Meski hanya 2- orang (yang aku tahu), setidaknya ada yang mengendus juga “bau”ku sebenarnya. Walaupun aku tidak pernah menproklamirkan pada mereka, apalah artinya pengakuan, yang hanya sekedar pengakuan tanpa bukti. Salah seorang narasumber menyatakan dia bisa mengendus “bau”ku karena memperhatikan gerak-gerikku, wah berasa dimata-matai nih. Bahkan narasumber lain, tanpa basa-basi langsung main tuding.
Yah, memang perlu penciuman yang tajam agar bisa mengendus dengan benar “bau” seseorang, juga kacamata yang jernih agar tidak salah menilai karena seringkali orang tertipu oleh kemasan atau packaging, padahal tidak selalu kemasan mewakili substansi sebenarnya.
Sebagai contoh saja, jika dulu anda adalah preman, namun sekarang sudah bertaubat dengan taubat nasuha. Tentu anda tidak akan suka jika masih ada yang mengendus “bau” preman pada tubuh anda.
Atau misalnya (hanya contoh, tanpa ada maksud rasisme) anda berasal dari suku jawa, tentu anda pun merasa kurang nyaman jika orang2 mengendus anda sebagai orang papua hanya karena anda berkulit gelap dan tinggal di lingkungan serta berteman dengan orang2 Papua.
Contoh konkretnya; kisah seorang kakak yang diberi buku oleh adiknya, mungkin karena hanya melihat sampulnya sekilas, dia pun buru2 menyimpulkan, kira2 begini dialognya “mambu2 ***** iki (dia menyebut sebuah manhaj)”. Padahal dia salah mengendus tuh.
240911
NB: mungkin aku yang terlalu naif menyangka tak banyak yang mencium, sepertinya memang “bau”ku sudah sedemikian menyengat.
Alhamdulillah meskipun hanya beberapa –lebih dari 1 sudah bisa disebut beberapa kan? Meski hanya 2- orang (yang aku tahu), setidaknya ada yang mengendus juga “bau”ku sebenarnya. Walaupun aku tidak pernah menproklamirkan pada mereka, apalah artinya pengakuan, yang hanya sekedar pengakuan tanpa bukti. Salah seorang narasumber menyatakan dia bisa mengendus “bau”ku karena memperhatikan gerak-gerikku, wah berasa dimata-matai nih. Bahkan narasumber lain, tanpa basa-basi langsung main tuding.
Yah, memang perlu penciuman yang tajam agar bisa mengendus dengan benar “bau” seseorang, juga kacamata yang jernih agar tidak salah menilai karena seringkali orang tertipu oleh kemasan atau packaging, padahal tidak selalu kemasan mewakili substansi sebenarnya.
Sebagai contoh saja, jika dulu anda adalah preman, namun sekarang sudah bertaubat dengan taubat nasuha. Tentu anda tidak akan suka jika masih ada yang mengendus “bau” preman pada tubuh anda.
Atau misalnya (hanya contoh, tanpa ada maksud rasisme) anda berasal dari suku jawa, tentu anda pun merasa kurang nyaman jika orang2 mengendus anda sebagai orang papua hanya karena anda berkulit gelap dan tinggal di lingkungan serta berteman dengan orang2 Papua.
Contoh konkretnya; kisah seorang kakak yang diberi buku oleh adiknya, mungkin karena hanya melihat sampulnya sekilas, dia pun buru2 menyimpulkan, kira2 begini dialognya “mambu2 ***** iki (dia menyebut sebuah manhaj)”. Padahal dia salah mengendus tuh.
240911
NB: mungkin aku yang terlalu naif menyangka tak banyak yang mencium, sepertinya memang “bau”ku sudah sedemikian menyengat.
PANEN SEMANGKA
oleh Lif Syifa pada 10 Oktober 2011 jam 20:39
Catatan ini ditulis dengan sudut pandang seorang anak kelas 2 SD berumur 7 tahun.
Hari jumat lalu (300911) aku bersama teman2 dan ustadz ustadzah pergi ke kebun, tak lupa kami memakai kostum petani lengkap dengan aksesorisnya, seperti caping dan pacul dari kardus, kayu de es be. Setiba disana kami pun mendengarkan instruksi cara menanam bibit semangka yang benar dari Pak Lukito sang empunya kebun. Setelah itu mulailah kami melepas daun yang digunakan membungkus bibit, kemudian menanamnya dengan memasukkan bagian akar bibit itu ke tanah yang sudah dilubangi dan meratakan tanah di sekitarnya. Tangan kami belepotan tanah, bagitupun halnya dengan kaki kami belepotan lumpur. Bahkan ada teman kami yang sendalnya terendam di lumpur.
Selang beberapa menit kemudian kami langsung bisa memanen semangka, hebat bukan? He3, tapi tentunya yang kami panen bukanlah bibit yang barusan kami tanam, melainkan yang sudah ditanam sendiri oleh pak tani beberapa minggu atau bulan yang lalu. Kami memilih dan memanen sendiri semangka yang kami mau, karena kami kecil kami pun memilih semangka yang kecil agar tak keberatan. Seorang temanku –yang memang ringkih- bahkan sampai keberatan dan meminta ustadzah membawakan untuknya, tapi kemudian ustadzah menyuruhnya membawa sendiri karena beliau keberatan sudah membawa semangkanya sendiri yang juga berat. Setelah itu semangka kami timbang dan langsung kami bayar. Ada yang semangkanya 2 kg, 3 kg, bahkan sampai 5 kg dan 6 kg.
Setelah memanen ria kami mencuci tangan di sumur yang berada di area kebun, sebagian berganti pakaian karena bajunya sudah sangat kotor. Jadi seperti kata iklan, “berani kotor itu baik”. Ada juga yang kemudian memakan bekal yang tadi dibawa, ada yang memotong semangkanya dan dimakan ramai-ramai.
Selanjutnya kami bersiap2 melanjutkan perjalanan menuju masjid terdekat untuk sholat jumat. Semangka kami, kami masukkan ke dalam tas hingga berat sekali tas kami dibuatnya. Selepas sholat kami pun mulai kelaparan n kehausan, apalagi bekal kami sudah habis sejak tadi. Dan senang sekali ketika akhirnya makanan kami datang, kami pun makan siang dengan lahapnya. Setelah kenyang, kami membersihkan area masjid dan bersiap2 pulang.
Hari yang melelahkan tapi sekaligus menyenangkan. Sampai berpeluh2, kata upin & ipin ^_^
Catatan ini ditulis dengan sudut pandang seorang anak kelas 2 SD berumur 7 tahun.
Hari jumat lalu (300911) aku bersama teman2 dan ustadz ustadzah pergi ke kebun, tak lupa kami memakai kostum petani lengkap dengan aksesorisnya, seperti caping dan pacul dari kardus, kayu de es be. Setiba disana kami pun mendengarkan instruksi cara menanam bibit semangka yang benar dari Pak Lukito sang empunya kebun. Setelah itu mulailah kami melepas daun yang digunakan membungkus bibit, kemudian menanamnya dengan memasukkan bagian akar bibit itu ke tanah yang sudah dilubangi dan meratakan tanah di sekitarnya. Tangan kami belepotan tanah, bagitupun halnya dengan kaki kami belepotan lumpur. Bahkan ada teman kami yang sendalnya terendam di lumpur.
Selang beberapa menit kemudian kami langsung bisa memanen semangka, hebat bukan? He3, tapi tentunya yang kami panen bukanlah bibit yang barusan kami tanam, melainkan yang sudah ditanam sendiri oleh pak tani beberapa minggu atau bulan yang lalu. Kami memilih dan memanen sendiri semangka yang kami mau, karena kami kecil kami pun memilih semangka yang kecil agar tak keberatan. Seorang temanku –yang memang ringkih- bahkan sampai keberatan dan meminta ustadzah membawakan untuknya, tapi kemudian ustadzah menyuruhnya membawa sendiri karena beliau keberatan sudah membawa semangkanya sendiri yang juga berat. Setelah itu semangka kami timbang dan langsung kami bayar. Ada yang semangkanya 2 kg, 3 kg, bahkan sampai 5 kg dan 6 kg.
Setelah memanen ria kami mencuci tangan di sumur yang berada di area kebun, sebagian berganti pakaian karena bajunya sudah sangat kotor. Jadi seperti kata iklan, “berani kotor itu baik”. Ada juga yang kemudian memakan bekal yang tadi dibawa, ada yang memotong semangkanya dan dimakan ramai-ramai.
Selanjutnya kami bersiap2 melanjutkan perjalanan menuju masjid terdekat untuk sholat jumat. Semangka kami, kami masukkan ke dalam tas hingga berat sekali tas kami dibuatnya. Selepas sholat kami pun mulai kelaparan n kehausan, apalagi bekal kami sudah habis sejak tadi. Dan senang sekali ketika akhirnya makanan kami datang, kami pun makan siang dengan lahapnya. Setelah kenyang, kami membersihkan area masjid dan bersiap2 pulang.
Hari yang melelahkan tapi sekaligus menyenangkan. Sampai berpeluh2, kata upin & ipin ^_^
Selasa, 08 November 2011
keSOMBONGan terselubung
Hmm, dari mana ya memulainya?
Dari sini aja deh, he3...
Sebuah ini cerita tentang “kesombongan terselubung” kalau boleh saya istilahkan begitu. Mungkin terkadang kita lupa bahwa yang disebut dengan sombong, selain merendahkan orang lain, juga tidak mau menerima kebenaran.
Dan seharusnya kita bisa menerima kebenaran, dari manapun datangnya kebenaran itu. Dari orang yang paling “buruk”, dari seorang pendusta atau bahkan dari setan sekalipun. Jika perkataannya benar maka tak ada alasan untuk menolaknya. Kebencian kita padanya tidak boleh menghalangi kita menerima kebenaran yang disampaikannya.
Seperti kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang mencuri harta zakat, setan tersebut berkata,
“Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah memberimu manfaat dengannya. Jika engkau berangkat tidur, bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”
Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata,
“Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-Bukhari no. 2187)
Dan berdakwah atau menyampaikan kebenaran, tidaklah mensyaratkan kesempurnaan si da’i. Berdakwah adalah satu hal dan mengerjakan (atau tidak) apa yang si da’i dakwahkan adalah hal lain. Berdakwah adalah baik, sedangkan tidak mengerjakan apa yang dia dakwahkan adalah buruk, 2 hal yang berbeda. Seseorang yang belum mengerjakan (perintah) atau meninggalkan (larangan), bukan berarti lantas dia dilarang berdakwah. Bahkan pun sesama pelaku maksiat tetap harus saling menasehati.
Karena di pelosok dunia manapun, kita tak akan menemukan orang yang sempurna tanpa cela. Karena kita hanyalah manusia biasa yang tak luput dari dosa, bukan Nabi atau Rasul yang ma’shum –terpelihara dari dosa-. Dan kalau hanya orang yang sempurna yang boleh berdakwah, maka tidak akan ada amar ma’ruf nahy munkar. Kita bersaudara untuk saling mengisi, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Hingga jadilah masing2 kita adalah cermin bagi lainnya. Sifat cermin adalah jujur, jika dandanan kita sudah bagus maka dia akan mengatakan bagus, jika dandanan kita masih berantakan dia pun akan memberitahukannya pada kita. Dan setelah itu dia pun tak membeberkan keburukan dandanan kita pada orang yang bercermin setelah kita.
Hingga tak perlulah kita mencari-cari kesalahan atau ketidakkonsistenan si da’i terhadap apa yang dia dakwahkan. Walaupun memang, idealnya seseorang yang berdakwah juga mengerjakan apa yang dia dakwahkan.
Dan semoga kita tidak hanya bersemangat mendakwahi orang lain, tapi juga bersemangat didakwahi -menerima kritikan atas kesalahan2 kita-. Seperti filosofi sebuah gelas, agar airnya tidak tumpah ada kalanya si gelas perlu menuangkan isinya, dan agar tidak kosong ada kalanya juga ia perlu menerima air dari gelas lain.
Seharusnya jika memang kita belum mampu mengerjakan suatu perintah atau meninggalkan larangan, lebih baik mengaku saja salah tanpa mencari-cari alasan atau dalil sebagai pembenaran kesalahan kita. Bukankah bermaksiat saja sudah dosa? Maka bagaimana pula jika kita tambahi dengan merekayasa agar kesalahan kita mendapat justifikasi, sehingga kesalahan kita seakan-akan tampak benar? Hendak menipu Allah, orang lain atau diri kita sendiri? Apalagi jika kita adalah orang yang paham atau bahkan mengaku sebagai da’i.
Semoga kita tidak lupa bahwa orang yang dihatinya ada kesombongan sekecil apapun tidak akan bisa masuk surga. Dan kesombonganlah yang membuat iblis merasa “lebih” dari nabi Adam ‘alaihissalam, sebab ia diciptakan dari api, sedangkan nabi Adam ‘alaihissalam dari tanah. Kesombongan pulalah yang menjadi sebab terusirnya iblis dari surga dan menjadi makhluk terkutuk.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi kesombongan.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya bagaimana jika seseorang menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)
Semoga hati-hati kita dilapangkan untuk bisa menerima kebenaran dari manapun datangnya, semoga kita diselamatkan dari sifat sombong, dan semoga kita tidak menjadi orang yang suka merekayasa kesalahan sehingga tampak benar, amin.
Allahu a’lam
Dari sini aja deh, he3...
Sebuah ini cerita tentang “kesombongan terselubung” kalau boleh saya istilahkan begitu. Mungkin terkadang kita lupa bahwa yang disebut dengan sombong, selain merendahkan orang lain, juga tidak mau menerima kebenaran.
Dan seharusnya kita bisa menerima kebenaran, dari manapun datangnya kebenaran itu. Dari orang yang paling “buruk”, dari seorang pendusta atau bahkan dari setan sekalipun. Jika perkataannya benar maka tak ada alasan untuk menolaknya. Kebencian kita padanya tidak boleh menghalangi kita menerima kebenaran yang disampaikannya.
Seperti kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang mencuri harta zakat, setan tersebut berkata,
“Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah memberimu manfaat dengannya. Jika engkau berangkat tidur, bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”
Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata,
“Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-Bukhari no. 2187)
Dan berdakwah atau menyampaikan kebenaran, tidaklah mensyaratkan kesempurnaan si da’i. Berdakwah adalah satu hal dan mengerjakan (atau tidak) apa yang si da’i dakwahkan adalah hal lain. Berdakwah adalah baik, sedangkan tidak mengerjakan apa yang dia dakwahkan adalah buruk, 2 hal yang berbeda. Seseorang yang belum mengerjakan (perintah) atau meninggalkan (larangan), bukan berarti lantas dia dilarang berdakwah. Bahkan pun sesama pelaku maksiat tetap harus saling menasehati.
Karena di pelosok dunia manapun, kita tak akan menemukan orang yang sempurna tanpa cela. Karena kita hanyalah manusia biasa yang tak luput dari dosa, bukan Nabi atau Rasul yang ma’shum –terpelihara dari dosa-. Dan kalau hanya orang yang sempurna yang boleh berdakwah, maka tidak akan ada amar ma’ruf nahy munkar. Kita bersaudara untuk saling mengisi, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Hingga jadilah masing2 kita adalah cermin bagi lainnya. Sifat cermin adalah jujur, jika dandanan kita sudah bagus maka dia akan mengatakan bagus, jika dandanan kita masih berantakan dia pun akan memberitahukannya pada kita. Dan setelah itu dia pun tak membeberkan keburukan dandanan kita pada orang yang bercermin setelah kita.
Hingga tak perlulah kita mencari-cari kesalahan atau ketidakkonsistenan si da’i terhadap apa yang dia dakwahkan. Walaupun memang, idealnya seseorang yang berdakwah juga mengerjakan apa yang dia dakwahkan.
Dan semoga kita tidak hanya bersemangat mendakwahi orang lain, tapi juga bersemangat didakwahi -menerima kritikan atas kesalahan2 kita-. Seperti filosofi sebuah gelas, agar airnya tidak tumpah ada kalanya si gelas perlu menuangkan isinya, dan agar tidak kosong ada kalanya juga ia perlu menerima air dari gelas lain.
Seharusnya jika memang kita belum mampu mengerjakan suatu perintah atau meninggalkan larangan, lebih baik mengaku saja salah tanpa mencari-cari alasan atau dalil sebagai pembenaran kesalahan kita. Bukankah bermaksiat saja sudah dosa? Maka bagaimana pula jika kita tambahi dengan merekayasa agar kesalahan kita mendapat justifikasi, sehingga kesalahan kita seakan-akan tampak benar? Hendak menipu Allah, orang lain atau diri kita sendiri? Apalagi jika kita adalah orang yang paham atau bahkan mengaku sebagai da’i.
Semoga kita tidak lupa bahwa orang yang dihatinya ada kesombongan sekecil apapun tidak akan bisa masuk surga. Dan kesombonganlah yang membuat iblis merasa “lebih” dari nabi Adam ‘alaihissalam, sebab ia diciptakan dari api, sedangkan nabi Adam ‘alaihissalam dari tanah. Kesombongan pulalah yang menjadi sebab terusirnya iblis dari surga dan menjadi makhluk terkutuk.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi kesombongan.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya bagaimana jika seseorang menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)
Semoga hati-hati kita dilapangkan untuk bisa menerima kebenaran dari manapun datangnya, semoga kita diselamatkan dari sifat sombong, dan semoga kita tidak menjadi orang yang suka merekayasa kesalahan sehingga tampak benar, amin.
Allahu a’lam
TENTANG KACAMATA DAN GAJAH
Ingin sejenak merebahkan tubuh ini, ku coba tuk memejamkan mata namun tak sepicingpun mata ini mau terpejam. Dada ini masih sesak rasanya. Akhirnya kuputuskan menyalakan netbook baruku –he3- dan seperti yang kau baca saat ini, aku mulai memijit tuts keyboard si netbook yang sudah beberapa hari belakangan ini tak kusentuh (hmm, rupanya sampai saat ini aku belum memberinya nama, kira2 apa ya nama yang cocok? “_”? ).
Aih, prolog yang melankolis sekali nampaknya. Tapi tenang kawan, aku tidak sedang ingin menceritakan kisah seseorang yang sedang patah hati karena ditinggal nikah -atau yang lebih tragis- ditinggal mati kekasihnya, seseorang yang sedang kasmaran, atau segala yang berbau merah jambu.
101011Tapi aku akan sedikit berbicara tentang “kacamata”. Hmm apa ya? Jadi bingung.
Aku sadar aku hidup dalam masyarakat yang majemuk, yang berasal dari latar belakang, pemahaman, sudut pandang atau kacamata yang berbeda. Selama tidak bersinggungan –selama lo kagak nyenggol gue, bahasa gaulnya- dan tidak ada sesuatu yang salah i’ts ok lah. Walaupun akan lebih bagus jika kami memiliki kacamata yang sama, sehingga dapat melihat objek yang sama dengan sudut pandang yang sama pula.
Seperti kisah gajah yang dilihat (baca: dipegang) dengan sudut pandang yang berbeda. Yang oleh beberapa orang yang ditutup matanya dan memang sebelumnya belum pernah melihat gajah, masing2 disuruh memegang gajah. Seorang memegang hanya ekor, seorang lainnya memegang belalai, seorang memegang kaki, seorang memegang gading dan seorang memegang telinganya. Jika disuruh mendeskripsikan tentang gajah, tentu masing2 akan mendeskripsikan hal yang berbeda dan hanya bersifat parsial. Akan berbeda hasilnya jika seseorang yang tidak ditutup matanya disuruh memegang sekaligus melihat si gajah, tentu dia akan dapat mendeskripsikan gajah dengan lengkap, detail dan utuh, tidak sepotong2. Duh jadi ngelantur tentang gajah nih.
Namun, jika ada sesuatu yang tidak sesuai –menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya misalnya- tentu menjadi tugas sesama muslim untuk mengingatkan hal itu. Bukankah tidak mungkin peran itu diserahkan pada orang kafir? Apakah bisa dibenarkan jika aku diam saja melihat seorang ibu yang mengenakan baju yang sedemikian kedodoran pada anak bungsunya yang ceking dan di sisi lain mengenakan baju yang begitu kekecilan pada si sulung yang tambun? Tentu tidak bukan.
Tapi memang tak semua orang suka mendengarkan, kebanyakan lebih suka berbicara. Padahal kita diciptakan dengan 2 telinga dan 1 mulut, yang kalau mau dipikir dengan akal-akalan yang dangkal sekalipun kita akan bisa menyimpulkan bahwa semestinya kita lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Ketika aku berusaha mengingatkan dengan bahasa yang sehalus mungkin, dia malah berkomentar “menurut bapaknya; baju si bungsu tidak kedodoran dan baju si sulung juga tidak kekecilan kok”. Hingga aku hanya bisa bergumam “itu kan kata bapaknya, jelas aja matanya bermasalah”. Dan ketika aku baru berucap sepatah dua patah kata, dia langsung menceramahiku panjang lebar, dan mencercaku dengan menyebutkan kesalahan2ku (menurut versi dia tentunya) dan membeberkan semua citra buruk tentangku (yang entah dia kumpulkan dari mana). Hingga seakan2 akulah yang menjadi si bersalah. Akulah yang menjadi si terdakwa yang duduk di kursi pesakitan.
Dan memang katanya seperti yang pernah kudengar; mereka yang masih “bersih” lebih mudah untuk menerima kebenaran jika kebenaran itu disampaikan padanya, bahkan mereka akan berterima kasih sudah ditunjukkan. Berbeda halnya dengan mereka yang sudah terkontaminasi dengan “ideologi” tertentu, mereka akan merasa tahu pdahal salah paham, sehingga ketika disampaikan kebenaran padanya pun mereka akan kekeuh dengan pendiriannya. Dan berdasarkan penelitian kecil-kecilanku itu terbukti!! Yah seperti kisah si ibu tadi yang lebih percaya pada pendapat suaminya, padahal jelas2 suaminya rabun.
Yah begitulah, setidaknya aku sudah menyampaikan apa yang seharusnya kita sampaikan. Karena hanya itu yang bisa ku lakukan, karena aku tak mampu menukar baju si bungsu dengan si sulung, sebab mereka tak berada dalam “kekuasaan”ku, melainkan dalam “kekuasaan” ibunya.
Dan cukup lega sudah bisa mengungkapkan apa yang sudah beberapa bulan ini kupendam, yah daripada jadi bisul (kata orang kalau terlalu lama memendam “rasa” bisa jadi bisul, tapi sepertinya perlu pembuktian lebih lanjut deh, kalau bisul di pikiran mungkin iya sampai mengakar malah), dan walaupun hasilnya tidak memuaskan. Rasanya seperti berhasil mengeluarkan sebongkah batu yang sudah lama mencekat kerongkongan –lebay.com-
Semoga saja si ibu dibuka hatinya untuk bisa segera mengganti kacamatanya yang sudah rusak itu dengan kacamata yang pas agar bisa melihat dengan jelas bahwa baju yang dikenakan pada kedua anaknya tidaklah pas. Dan tak begitu saja percaya pada “pandangan” si bapak yang memang penglihatannya sudah rabun.
Allahu a’lam
NB: kisah tentang si ibu dan aku diatas hanya sekedar ilustrasi, entahlah sepertinya ilustrasi itupun masih belum benar2 mengena.
(Sebenarnya ini nulis ulang, yang harusnya sudah selesai sejak sebelum maghrib (cape’ deh “-_- ) setelah tadi entah bagaimana ceritanya note yang kutulis di ms word langsung ku cut dan ku paste ke catatan di FB en karena loadingnya yang lambat ga ke posting2, di simpan di draft pun tak tersimpan)
Aih, prolog yang melankolis sekali nampaknya. Tapi tenang kawan, aku tidak sedang ingin menceritakan kisah seseorang yang sedang patah hati karena ditinggal nikah -atau yang lebih tragis- ditinggal mati kekasihnya, seseorang yang sedang kasmaran, atau segala yang berbau merah jambu.
101011Tapi aku akan sedikit berbicara tentang “kacamata”. Hmm apa ya? Jadi bingung.
Aku sadar aku hidup dalam masyarakat yang majemuk, yang berasal dari latar belakang, pemahaman, sudut pandang atau kacamata yang berbeda. Selama tidak bersinggungan –selama lo kagak nyenggol gue, bahasa gaulnya- dan tidak ada sesuatu yang salah i’ts ok lah. Walaupun akan lebih bagus jika kami memiliki kacamata yang sama, sehingga dapat melihat objek yang sama dengan sudut pandang yang sama pula.
Seperti kisah gajah yang dilihat (baca: dipegang) dengan sudut pandang yang berbeda. Yang oleh beberapa orang yang ditutup matanya dan memang sebelumnya belum pernah melihat gajah, masing2 disuruh memegang gajah. Seorang memegang hanya ekor, seorang lainnya memegang belalai, seorang memegang kaki, seorang memegang gading dan seorang memegang telinganya. Jika disuruh mendeskripsikan tentang gajah, tentu masing2 akan mendeskripsikan hal yang berbeda dan hanya bersifat parsial. Akan berbeda hasilnya jika seseorang yang tidak ditutup matanya disuruh memegang sekaligus melihat si gajah, tentu dia akan dapat mendeskripsikan gajah dengan lengkap, detail dan utuh, tidak sepotong2. Duh jadi ngelantur tentang gajah nih.
Namun, jika ada sesuatu yang tidak sesuai –menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya misalnya- tentu menjadi tugas sesama muslim untuk mengingatkan hal itu. Bukankah tidak mungkin peran itu diserahkan pada orang kafir? Apakah bisa dibenarkan jika aku diam saja melihat seorang ibu yang mengenakan baju yang sedemikian kedodoran pada anak bungsunya yang ceking dan di sisi lain mengenakan baju yang begitu kekecilan pada si sulung yang tambun? Tentu tidak bukan.
Tapi memang tak semua orang suka mendengarkan, kebanyakan lebih suka berbicara. Padahal kita diciptakan dengan 2 telinga dan 1 mulut, yang kalau mau dipikir dengan akal-akalan yang dangkal sekalipun kita akan bisa menyimpulkan bahwa semestinya kita lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Ketika aku berusaha mengingatkan dengan bahasa yang sehalus mungkin, dia malah berkomentar “menurut bapaknya; baju si bungsu tidak kedodoran dan baju si sulung juga tidak kekecilan kok”. Hingga aku hanya bisa bergumam “itu kan kata bapaknya, jelas aja matanya bermasalah”. Dan ketika aku baru berucap sepatah dua patah kata, dia langsung menceramahiku panjang lebar, dan mencercaku dengan menyebutkan kesalahan2ku (menurut versi dia tentunya) dan membeberkan semua citra buruk tentangku (yang entah dia kumpulkan dari mana). Hingga seakan2 akulah yang menjadi si bersalah. Akulah yang menjadi si terdakwa yang duduk di kursi pesakitan.
Dan memang katanya seperti yang pernah kudengar; mereka yang masih “bersih” lebih mudah untuk menerima kebenaran jika kebenaran itu disampaikan padanya, bahkan mereka akan berterima kasih sudah ditunjukkan. Berbeda halnya dengan mereka yang sudah terkontaminasi dengan “ideologi” tertentu, mereka akan merasa tahu pdahal salah paham, sehingga ketika disampaikan kebenaran padanya pun mereka akan kekeuh dengan pendiriannya. Dan berdasarkan penelitian kecil-kecilanku itu terbukti!! Yah seperti kisah si ibu tadi yang lebih percaya pada pendapat suaminya, padahal jelas2 suaminya rabun.
Yah begitulah, setidaknya aku sudah menyampaikan apa yang seharusnya kita sampaikan. Karena hanya itu yang bisa ku lakukan, karena aku tak mampu menukar baju si bungsu dengan si sulung, sebab mereka tak berada dalam “kekuasaan”ku, melainkan dalam “kekuasaan” ibunya.
Dan cukup lega sudah bisa mengungkapkan apa yang sudah beberapa bulan ini kupendam, yah daripada jadi bisul (kata orang kalau terlalu lama memendam “rasa” bisa jadi bisul, tapi sepertinya perlu pembuktian lebih lanjut deh, kalau bisul di pikiran mungkin iya sampai mengakar malah), dan walaupun hasilnya tidak memuaskan. Rasanya seperti berhasil mengeluarkan sebongkah batu yang sudah lama mencekat kerongkongan –lebay.com-
Semoga saja si ibu dibuka hatinya untuk bisa segera mengganti kacamatanya yang sudah rusak itu dengan kacamata yang pas agar bisa melihat dengan jelas bahwa baju yang dikenakan pada kedua anaknya tidaklah pas. Dan tak begitu saja percaya pada “pandangan” si bapak yang memang penglihatannya sudah rabun.
Allahu a’lam
NB: kisah tentang si ibu dan aku diatas hanya sekedar ilustrasi, entahlah sepertinya ilustrasi itupun masih belum benar2 mengena.
(Sebenarnya ini nulis ulang, yang harusnya sudah selesai sejak sebelum maghrib (cape’ deh “-_- ) setelah tadi entah bagaimana ceritanya note yang kutulis di ms word langsung ku cut dan ku paste ke catatan di FB en karena loadingnya yang lambat ga ke posting2, di simpan di draft pun tak tersimpan)
Jumat, 30 September 2011
ISLAMI YANG TAK ISLAMI??
Dalam strategi pemasaran, packaging atau pengemasan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap laris tidaknya suatu produk. Dan begitupun halnya dalam pemasaran produk maksiat dan bid’ah, seringkali packagingnya dibuat semenarik mungkin hingga berhasil mengelabui pelanggan, atau mantan pelanggan yang tadinya sudah tak mengkonsumsi produk maksiat itu, agar kembali menjadi pelanggan.
Musik islami
Ambil contoh saja, musik yang –jika kita mau jujur- hukumnya adalah haram, namun jika musik itu dikemas dengan lagu-lagu yang syairnya islami, penyanyinya memakai baju koko (laki-laki) dan berjilbab (perempuan) –dengan jilbab ala kadarnya tentu- mereka2 yang tak tahu hukum musik akan menggandrunginya. Dan seakan-akan jadilah jenis hiburan yang satu ini menjadi halal.
Bukan hanya status haramnya musik ini yang menjadi masalah, tak jarang dalam “musik islami” ini syair2nya mengandung bidah, sebut saja contohnya lagu2 shalawatan –yang lafadz shalawatnya tidak pernah diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam-, atau bahkan yang isi syairnya menyimpang.
Adapun nasyid –syair saja tanpa diiringi musik- boleh2 saja sebenarnya jika memenuhi syarat2nya, yaitu:
- Tanpa musik
- Isinya tidak menyimpang
Isinya mengajak mengingat Allah, mencintai Islam de es be. Dan tidak mengajak kepada kemaksiatan dan penyimpangan.
- Dibawah Al quran
Tidak berlebihan, cukuplah sesekali ketika jenuh atau untuk penyemangat, serta jangan sampai kegemaran pada nasyid melebihi kegemaran pada Al Qur‘an
- Cara penyampaiannya tidak seperti orang2 fasiq, misalnya dengan joget2 ga jelas.
Para sahabat pun pernah menyenandungkan syair, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak melarangnya. Bahkan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam pun menyenandungkan nasyid ketika sedang membangun masjid nabawi. Juga ketika menggali parit untuk perang khandaq, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu anhum saling bersahut-sahutan nasyid.
Produk riba -dan turunannya- beserta kawan2nya.
Kalu dulu produk2 riba dijual dengan menggunakan wajah dan nama aslinya, transparan tanpa ditutup2i. Namun seiring meningkatnya kesadaran umat akan agamanya, mereka pun semakin selektif, termasuk dalam hal2 yang berbau riba.
Dan kini marak beredar produk2 “ekonomi“ yang berlabel syariah, tapi apa benar label itu mewakili substansi
sesungguhnya? Kalau kita mau menelusuri produk2 (berlabel) syariah tersebut, ternyata banyak sekali yang hanya merubah nama menjadi nama2 islami, sedangkan secara esensi akadnya tak beda dengan sebelumnya, tanaman uang yang berbunga riba.
Sebut saja diantaranya adalah produk2 perbankan berlabel syariah, yang secara nama akadnya (mudharabah, musyarakah, murabahah) adalah benar ada dalam sistem ekonomi islam, dibahas panjang lebar oleh para ulama, dan ada tuntunannya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Namun yang jadi masalah adalah jika nama itu hanya sekedar nama, tanpa penerapan yang benar. Begitupun halnya dengan KPR, asuransi, de el el yang seringkali hanya memasang label syariah.
Perayaan2 islami
Umat islam sekarang punya banyak sekali perayaan2 yang diabadikan dalam kalender dan dijadikan hari libur nasional, padahal hari raya kita sebenarnya hanya ada dua; idul fitri dan idul adha.
Sebut saja diantaranya; tahun baru hijriyah, maulid nabi, isra’mi’raj, nuzulul qur’an, de el el. Yang oleh para penggemarnya, mereka mengklaim seorang tokoh besar Islam sebagai pelopor salah satu perayaan itu. Tapi apakah benar demikian?? Kalau seandainya benar pun, bukankah semua perkataan manusia bisa diterima dan ditolak, kecuali perkataan Rasulullah shalallahu ‚alaihi wasallam??
_____
Thus, kita benar2 harus jeli dalam memilih, nama yang isami saja tak cukup, perlu kita telusuri hakikat “produk“ itu sesungguhnya. Apakah benar islami ataukah islami bohongan. Untuk itu kita perlu ilmu dan kacamata yang jernih agar tidak mudah dikelabui.
Namun jangan juga apatis terhadap segala yang berlabel syariah, jika memang benar2 syariah ya kita konsumsi, jika tidak ya buang saja.
Jangan sampai kita mengikuti jejak yahudi yang mencoba mengelabui Allah dengan mengutak-atik syariat, sehingga seakan2 yang haram tampak menjadi haram.
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal;-hal yang diharamkan Allah dengan sedikit tipu muslihat." (Riwayat Ibnu Batthah dan dihasankan oleh Ibnu Katsir serta disetujui oleh al-Albani)
Segala yang marak dan ladzim di masyarakat bukanlah dalil bahwa sesuatu itu benar menurut syariat, karena dalil benar tidaknya sesuatu adalah sesuai atau tidaknya dengan Al Qur’an dan sunnah. Sehingga ketika kebenaran sesungguhnya terungkap dihadapan kita, walaupun terasa aneh dan asing (karena kedangkalan ilmu kita) kita harus menerimanya dengan lapang dada.
Bukankah jika kita berselisih, harus dikembalikan pada Al Qur‘an dan sunnah?? Dan jika kita mengaku beriman harus menjadikan rasul sebagai pemutus perkara?? Jadi, seharusnya ada lagi alasan untuk ngeyel.
Allahu a’lam, semoga bermanfaat
Musik islami
Ambil contoh saja, musik yang –jika kita mau jujur- hukumnya adalah haram, namun jika musik itu dikemas dengan lagu-lagu yang syairnya islami, penyanyinya memakai baju koko (laki-laki) dan berjilbab (perempuan) –dengan jilbab ala kadarnya tentu- mereka2 yang tak tahu hukum musik akan menggandrunginya. Dan seakan-akan jadilah jenis hiburan yang satu ini menjadi halal.
Bukan hanya status haramnya musik ini yang menjadi masalah, tak jarang dalam “musik islami” ini syair2nya mengandung bidah, sebut saja contohnya lagu2 shalawatan –yang lafadz shalawatnya tidak pernah diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam-, atau bahkan yang isi syairnya menyimpang.
Adapun nasyid –syair saja tanpa diiringi musik- boleh2 saja sebenarnya jika memenuhi syarat2nya, yaitu:
- Tanpa musik
- Isinya tidak menyimpang
Isinya mengajak mengingat Allah, mencintai Islam de es be. Dan tidak mengajak kepada kemaksiatan dan penyimpangan.
- Dibawah Al quran
Tidak berlebihan, cukuplah sesekali ketika jenuh atau untuk penyemangat, serta jangan sampai kegemaran pada nasyid melebihi kegemaran pada Al Qur‘an
- Cara penyampaiannya tidak seperti orang2 fasiq, misalnya dengan joget2 ga jelas.
Para sahabat pun pernah menyenandungkan syair, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak melarangnya. Bahkan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam pun menyenandungkan nasyid ketika sedang membangun masjid nabawi. Juga ketika menggali parit untuk perang khandaq, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu anhum saling bersahut-sahutan nasyid.
Produk riba -dan turunannya- beserta kawan2nya.
Kalu dulu produk2 riba dijual dengan menggunakan wajah dan nama aslinya, transparan tanpa ditutup2i. Namun seiring meningkatnya kesadaran umat akan agamanya, mereka pun semakin selektif, termasuk dalam hal2 yang berbau riba.
Dan kini marak beredar produk2 “ekonomi“ yang berlabel syariah, tapi apa benar label itu mewakili substansi
sesungguhnya? Kalau kita mau menelusuri produk2 (berlabel) syariah tersebut, ternyata banyak sekali yang hanya merubah nama menjadi nama2 islami, sedangkan secara esensi akadnya tak beda dengan sebelumnya, tanaman uang yang berbunga riba.
Sebut saja diantaranya adalah produk2 perbankan berlabel syariah, yang secara nama akadnya (mudharabah, musyarakah, murabahah) adalah benar ada dalam sistem ekonomi islam, dibahas panjang lebar oleh para ulama, dan ada tuntunannya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Namun yang jadi masalah adalah jika nama itu hanya sekedar nama, tanpa penerapan yang benar. Begitupun halnya dengan KPR, asuransi, de el el yang seringkali hanya memasang label syariah.
Perayaan2 islami
Umat islam sekarang punya banyak sekali perayaan2 yang diabadikan dalam kalender dan dijadikan hari libur nasional, padahal hari raya kita sebenarnya hanya ada dua; idul fitri dan idul adha.
Sebut saja diantaranya; tahun baru hijriyah, maulid nabi, isra’mi’raj, nuzulul qur’an, de el el. Yang oleh para penggemarnya, mereka mengklaim seorang tokoh besar Islam sebagai pelopor salah satu perayaan itu. Tapi apakah benar demikian?? Kalau seandainya benar pun, bukankah semua perkataan manusia bisa diterima dan ditolak, kecuali perkataan Rasulullah shalallahu ‚alaihi wasallam??
_____
Thus, kita benar2 harus jeli dalam memilih, nama yang isami saja tak cukup, perlu kita telusuri hakikat “produk“ itu sesungguhnya. Apakah benar islami ataukah islami bohongan. Untuk itu kita perlu ilmu dan kacamata yang jernih agar tidak mudah dikelabui.
Namun jangan juga apatis terhadap segala yang berlabel syariah, jika memang benar2 syariah ya kita konsumsi, jika tidak ya buang saja.
Jangan sampai kita mengikuti jejak yahudi yang mencoba mengelabui Allah dengan mengutak-atik syariat, sehingga seakan2 yang haram tampak menjadi haram.
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal;-hal yang diharamkan Allah dengan sedikit tipu muslihat." (Riwayat Ibnu Batthah dan dihasankan oleh Ibnu Katsir serta disetujui oleh al-Albani)
Segala yang marak dan ladzim di masyarakat bukanlah dalil bahwa sesuatu itu benar menurut syariat, karena dalil benar tidaknya sesuatu adalah sesuai atau tidaknya dengan Al Qur’an dan sunnah. Sehingga ketika kebenaran sesungguhnya terungkap dihadapan kita, walaupun terasa aneh dan asing (karena kedangkalan ilmu kita) kita harus menerimanya dengan lapang dada.
Bukankah jika kita berselisih, harus dikembalikan pada Al Qur‘an dan sunnah?? Dan jika kita mengaku beriman harus menjadikan rasul sebagai pemutus perkara?? Jadi, seharusnya ada lagi alasan untuk ngeyel.
Allahu a’lam, semoga bermanfaat
Langganan:
Postingan (Atom)